Share

3. Dislokasi

Kalau kutinggal sendiri, kamu nggak apa-apa?

-Pemuda di alam mimpi-

---

  Bila hidup yang telah dijalani, memang apa saja opsi sebelumnya? Kematian? Sebelum hidup tentu saja mati, oh atau mungkin saja ini semua terbalik? hidup itu adalah kematian dan kematian adalah kehidupan yang abadi? Sebelum terlahir dan menjadi hidup begini kita disebut apa? Tidak mati dan tidak hidup? hahh,, aku tidak percaya ini adalah pikiran yang muncul tepat setelah aku membuka mata dipagi hari pukul sembilan lebih sepuluh menit. Mataku melirik ke sekeliling dan merasa lega masih berada di tempat yang sama. Kantung mata rasanya sudah semakin merosot. Aku benci menua.

Hoam… kantuk ini terasa bagus, tidak seperti biasanya.

  Aku meregangkan tubuh dan lamat-lamat berusaha menurunkan kedua kaki ke permukaan lantai. Berjalan membuka tirai gorden—menyapa sinar mentari yang terasa ceria luar biasa.

Watsab bro? Ada kabar baik apa pagi-pagi begini? Kelihatannya ceria sekali,” sapaku dengan santai, namun ia hanya tersenyum lebar. Semakin bersinar.

  Di luar, dengan penglihatan yang masih setengah buram, aku melihat seorang pemuda tengah berbicara dengan bu Ros, (pemilik kos,) di halaman. Meski nyatanya aku sering tidak peduli, tapi kali ini berbeda. Auranya mendominasi. Aku bisa memastikan itu hanya dengan sekali pandang. Nampaknya tampan.

  Jika kutelaah, sudah pasti ia adalah penyewa baru kamar sebelah. Jika benar ia tampan, mungkin saat kami punya kesempatan bertemu pandang, berbincang-bincang … maka aku akan—hm, apa ya?  melihat lagi objek yang sama, entah kenapa seolah-olah mendatangkan tekad. Pokoknya jika benar-benar tampan… maka aku akan… apa, ya?

  Akhirnya, dengan memasang tampang pemalas, aku mendesis, “Sudahlah, bukan apa-apa.”

***

  Sore hari, berdiri tepat di depan Café Larasa dengan selembar CV yang dibungkus amplop coklat bertali, aku mengumpulkan energi untuk menjadi berani. Tidak sulit. Hanya tinggal masuk dan berikan ini kepada Managernya, oke? oke!                  

  Kakiku melangkah dengan gesit. Aroma roti yang baru keluar dari panggangan menguar diudara tepat saat membuka pintu kacanya. Memicingkan mata guna melihat menu di atas dinding kasir dari kejauhan, aku meraba kantong celana Blackhawk yang kukenakan untuk memastikan beberapa lembar rupiah yang terselip di sana. Aman.  

“Selamat sore, selamat datang di Larasa. Mau pesan apa?”

  Ah, sapaan yang klasik. Kukira akan lebih bervariasi. Tapi, terlepas dari itu, aku jadi bingung plus gerogi karena kasirnya laki-laki. Tampan lagi. Berbicara dengan pemuda mode Korean style dengan surai kecoklatan juga mata sipit idaman ciwi-ciwi k-popers begini, suka bikin jantung jadi cenat-cenut nggak karuan. Ini tidak bagus.

“Ah, satu Espresso Caramel Macchiato, dan… Toast bread cheese-nya, ya, satu.”

Ia tersenyum, matanya menghilang. Sekuat mungkin kutahan diri untuk tidak tertawa. Orang ini imut sekali ya ampun.   

“Tujuh puluh dua ribu lima ratus rupiah,” ucapnya pelan. Aku merogoh kantong dan memberikannya seratus ribu rupiah. Sementara ia tengah menyiapkan kembalian, aku melirik sekitar, mulai melancarkan modus lamaran.

“Mas, kira-kira, café ini sudah buka berapa lama, ya?”

  Ia terkejut. Terlihat seolah baru pertama kali ada yang bertanya begini sementara aku bersikukuh memasang tampang tak berdosa layaknya Wisatawan Asing yang bertanya di mana restorant terdekat. Ia buru-buru menjawab tak lupa dengan seulas senyuman.

“Baru-baru, kok, Mbak. Belum genap setahun.”

  Aku mengangguk. Menangkap objek yang tak jauh di belakangnya—dua buah mesin kopi besar dan satu karyawan perempuan sebagai Barista, dan dia sendiri. Kepercayaan diriku jadi naik seratus persen untuk bertanya lagi.

“Maaf bertanya lagi. Di sini, lagi butuh karyawan, nggak, Mas?”

  Ia menghentikan gerakan. Sejenak melirik amplop coklat yang kupegang dengan tatapan sinis. Kemudian sambil menyodorkan kembalian ia membalas, “tidak ada, Mbak,” sebagai bentuk akhiran sesi tanya-menanyaku hari ini. 

   Aku melengung. Mencengkram amplop coklat itu kuat-kuat sambil mengambil kembalianku. Malu telah datang disaat yang tidak tepat. Aku tidak boleh berbalik badan dan meninggalkan tempat ini begitu saja. setidaknya dapatkan jawaban yang jelas dari pertanyaanmu sendiri adalah tindakan yang tepat. Kesampingkan rasa malu. Malu hanya melatihmu untuk menjadi gembel permanen. Orang di depanku ini, kendati ia tampan tapi tak lantas dapat mengubahku menjadi buruk rupa. Tidak ada pengaruhnya. Bicara saja. Hajar.

   “Saya mau melamar di sini, Mas. Ada posisi kosong?”

  Kubuat ia tercengang. Biar saja. Lagipula, apa alasannya bisa seenak jidat berkata kalau tidak butuh karyawan disaat jelas-jelas tengah kekurangan tenaga kerja begini? Ia menghela napas seperti orang kelelahan. Payah. Baru ku-gas sekali sudah sesak napas rupanya.

   “Nggak ada, Mbak… mohon maaf.”

  Aku mematung, masih belum terima. Entah kenapa jiwa tantang-menantangku kini mulai berkobar dalam dada. Aku harus tahu jawabannya kenapa.

   “Bukan, maksud saya, memangnya Mas tahu dari mana kalau café ini nggak butuh karyawan? Yah, walaupun Mas sendiri merasa nggak butuh, tapi yang tahu kan hanya atasan? Belum juga nanya Managernya, kan? Sekarang Managernya mana? Saya mau ketemu aja langsung sama Managernya!”

  Hening. Diam menggelanyuti kami. Dia diam, aku juga diam. Lama berdebat mata dengannya, ia akhirnya menuntun sorot netraku untuk melihat tulisan yang tertera pada dada sebelah kiri yang terbuat dari papan kecil persegi panjang di atas namanya. Aku melotot saat membacanya dengan keras di dalam hati dan mengutuk atas apa yang baru saja kuperbuat.

M-A-N-A-G-E-R.

Ia menundukkan kepala agar aku dapat melihat setengah wajahnya yang tertutup masker dengan jelas.

“Dengan saya sendiri,” lugasnya menahan emosi. Aku jadi malu setengah mati.

***

  Berusaha duduk nyaman, aku tidak berani melirik meja kasir tersebut dan kini sudah terlambat untuk menyelamatkan muka. Terlanjur memesan, jadi lebih baik kunikmati.

  Kesendirianku yang tak sepenuhnya damai, suasana asing, tatapan sinis orang lain bercampur aduk dengan aroma garing roti hangat, membuatku berpikir keras bahwa Manager itu jelas-jelas kekurangan karyawan sampai turun tangan menjadi kasir sendiri. Aku mengangguk-angguk paham. Alunan musik jazz pop yang mengalir pelan, ornamen biji kopi di dinding juga pada kaca transparannya yang menciptakan suasana café dengan kesan yang terbilang biasa, bisa kumaklumi. Untuk ukuran café kecil dengan pelanggan yang sedikit, kemudian rasa yang standar sampai biaya yang sudah tergelontor untuk semua ini, belum tentu mampu menghasilkan keuntungan setidaknya untuk kembali modal. Ini perlu ketahanan level ‘menderita’ dulu sebelum stabil. Aku pernah lihat ini di drakor, manager seperti itu biasanya pasti kesusahan sekali untuk membayar karyawan. Di satu sisi terlihat menyedihkan, tapi disatu sisi nampak memukau. Siapa yang tidak ingin sukses sedini mungkin? Tentunya dengan darah muda yang dimiliki Manager itu, ia sedang mewujudkan mimpi.

  Aku berpaling ke arah luar jendela. Berpikir akan menjadi apa jika tidak melakukan apa yang kuinginkan sekarang. Kenapa masa depan harus semenakutkan ini sampai membuatku khawatir setiap hari? Apa semua orang harus punya mimpi? Memang kenapa kalau tidak punya mimpi? Tidak, bukan tidak ada, sebagian memang mengabaikannya dan mengubur hasrat itu dalam-dalam. Aku sempat merasa seperti itu, dan rasanya seperti sedang mati dalam keadaan hidup. Bahkan kelabu dimataku tidak lagi dapat melihat warna awan dilangit cerah. Semuanya mendung dan suram. Tidak ada harapan.  

  Lama berangsur, aku terpaksa menelan cairan coffee dan mengunyah roti yang sama sekali tidak terasa enak dilidahku. Aku menghabiskan sore di sana. Rencana untuk melamar pekerjaan di hari pertama pun gagal. Tapi aku sedikit tenang karena entah mengapa merasa gagal lebih baik dibanding aku tidak melakukan apapun lalu gagal kemudian. Yang seperti itu aku bisa merasa menjadi pecundang yang sebenarnya seharian. Menyesal itu adalah hal yang paling tidak enak. 

  Masih memandang ke arah luar, tak lama berselang seorang pemuda datang menghampiri sekelompok orang bertato yang duduk di bangku jalanan dengan ukulele. Outfit-nya kasual bergaya trendi. Surai hitam legam dengan cukuran Mohawk, kaus putih dibalut jaket denim dan ripped jeans juga—meski dilutut seperti habis dipakai ngesot (sobek-sobek tidak jelas), terpadu dengan kombinasi unik sepatu moofeat berwarna coklat muda. Saat ia bergerak sesekali, sehelai anting bulu ayam menjuntai lunglai di sebelah kiri telinganya. hanya sebelah kiri, aku jadi bisa melihat gambar tato kecil di belakang lehernya. Siapa sebenarnya orang ini? Memperhatikannya dengan seksama, sepertinya tidak asing. Bukannya itu pemuda yang tadi pagi mengobrol dengan Bu Ros? Mengingat-ingat dan memicingkan mata untuk memfokuskan subyek, aku mengangguk-angguk kecil. Memang benar, itu orang yang sama. Sedang apa dia di sini? orang-orang tua itu temannya? Aku berpikir sejenak. Jih, untuk apa juga peduli?

  Tapi tak lama, ia menepuk beberapa pundak dengan salam khas lelaki tangguh sebelum bergegas pergi. Memperhatikan langkahnya, ternyata ia mendekat ke arah sini, tempat dimana aku berada. Duh, mati. Ingin bersembunyi, tapi tak punya alasan. Lagi pula dia tidak mengenalku, dan aku juga tidak mengenalnya. Jadi, untuk apa harus khawatir? Tadi itu hanya dugaan, bisa saja salah. 

  Ia membuka pintu kaca dan kami bertemu pandang begitu saja. Sial. Sejenak, diam kami terasa membeku untukku tapi bukan apa-apa baginya. Ia lalu melenggang pergi begitu saja. Tangan kanannya menyapa dari tempat ia akan duduki sambil berkata kepada Manager yang merangkap sebagai kasir itu, “sob, kopi!” dengan gaya yang santai.

“Oke, siap.” Seperti sudah lama akrab, ia langsung dibalas dengan acungan jempol. Aku mendengus.

   Lain kali, saat aku sudah akrab dengan Manager yang merangkap sebagai kasir itu, aku juga akan mengatakan, ‘sob, kopi,’ sambil membuang muka ke arah luar. Itu mungkin terlihat biasa bagi orang lain, tapi bagiku, itu keren. Pemuda ini keren juga.

   Ia duduk berjarak tiga meter namun mengambil posisi berhadapan denganku. Tidak tahu apakah sengaja atau tidak sadar, tapi hanya karena itu, ia sukses membuatku tidak nyaman. Karena itu pula, aku jadi lekas mengangkat bokong untuk beranjak pergi. Berjalan melewati mejanya dengan sekuat tenaga melemaskan otot-otot wajah sebelum melangkah keluar café tersebut. Menapakan kaki di atas permukaan trotoar dari satu undakan anak tangga dan tidak tahu kenapa tiba-tiba saja, Brakk!! Trotoar sudah di depan mata. Aku tersungkur begitu saja.

Akh,,

  Tidak tahu menahu dengan kondisiku sendiri. Posisi kedua kaki menekuk bagai ikan duyung dan sedetik berselang, rasa sakit seketika menjalar cepat begitu mengejutkan.  

AAAKHH!!!

  Orang-orang spontan menghampiriku karena terkejut mendengarku menjerit. Geng bertato yang sempat kukritik dalam lamunanku tadi, tanpa disangka mereka semua menyebrang jalan dan tergupuh-gupuh datang dengan muka penasaran. Aku merintih kesakitan karena tidak dapat menggerakan kaki yang tertindih tubuh sendiri, mereka jadi bingung harus berbuat apa. Manager yang merangkap menjadi kasir itu juga keluar dengan raut panik. Aku melihat bagaimana bentuk lututku tidak seperti biasanya. Ada yang mencuat dari balik itu. Oh,Tuhan… ini sakit sekali.

“Lututku, lututku!” erangku kesakitan.

“Lututnya kenapa?!” tanya salah satu dari mereka. Masih tidak berbuat apa-apa.

 Merem-melek menahan sakit, menggigit bibir sambil mendongak pasrah. Aku tahu bahwa ini bukan sekadar keseleo. Ini dislokasi! Aku merintih lemah dan nyaris ingin pingsan kalau saja seseorang tidak segera mengangkat bagian atas tubuhku demi menselonjorkan kedua kaki. Yang bermasalah adalah kaki sebelah kiri. Terlihat bagaimana tulang pada lutut itu meleset dari tempat semulanya. Dari ujung kaki sampai ke ujung kepala terasa nyilu setengah mati. Namun samar-samar, aku dapat melihat seekor ikan sedang berenang dileher seseorang.

Bli, ini dislokasi,” katanya kepada seseorang dengan wajah sedikit panik. 

  Menyadarkan diri untuk kembali pada realita, aku melihat seorang Paman plotos yang dipanggil bli oleh pemuda bertato ikan—yang juga memiliki tato nyaris menutupi seluruh permukaan kulitnya itu, juga mirip dengan Indro warkop itu, ia menaikan satu alis karena merasa bingung. “Dislokasi?”

“Iya, bli. Biasanya tulang sendi yang keluar dari engselnya itu, namanya dislokasi.”

  Aku mengangguk-angguk tak berdaya. Benar, itu memang benar. Masih dengan menopang punggungku, pemuda itu berkata, “coba hubungi orang tuamu dulu, bisa?”

“Nggak ada,” jedaku sejenak, menarik napas. “Orang tuaku nggak ada di sini.”

“Siapa keluarga yang bisa kamu hubungi?” tanya seseorang lagi di belakang kepala yang sulit untuk kutengok keberadaannya.

“Nggak ada. Saya tinggal sendiri.”

  Semua orang bungkam seketika. Beberapa saat membiarkanku mencoba bersusah payah mengatur napas dan tak lama menyodorkan sebotol air putih yang tutupnya telah dibuka.

“Minum dulu. Side tinjot (kamu kaget) kayaknya.” (Side dengan pengucapan ‘si’ untuk sipit dan ‘de’ untuk delima. Memiliki artian ‘kamu’ dalam bahasa Sasak,) oleh seseorang penduduk lokal. Tapi belum juga sanggup kuterima, si tato ikan sudah mengambilnya duluan. Ia membantuku minum. 

“Terima kasih,” ucapku takut-takut, tapi ia tidak menjawab, atau mungkin saja tidak mendengar. Sampai akhirnya, seseorang berkata lagi dengan lantang. “Ayo! bawa ke tempat urut saja!”

Tanpa sengaja ingatan seseorang jadi terpancing. “Saya tahu di mana tempat urut yang ahli.”

Kemudian di susul orang yang tidak sabaran.

“Sudah! ke sana saja langsung!”

Membuat yang paling berpengaruh diantaranya jadi mengambil keputusan.

“Saya juga tahu tempatnya. Kalau begitu, biar saya bawa langsung saja pakai mobil,” katanya. Paman bertato yang dipanggil ‘bli’ oleh pemuda bertato ikan tadi, dengan cepat berlari ke dalam gang rumahnya guna mengambil mobil pribadi.

Beberapa lama tak terasa senja mulai turun. Malam telah tiba.

“Tapi itu benar-benar bisa menangani dislokasi, kan?” kali ini pemuda bertato ikan bertanya ragu, seolah ingin memastikan diriku ditangani dengan baik. “Soalnya kalau bukan ahlinya, ini bisa tambah parah, pak.”

“Iya, saya jamin. Jangankan dislokasi, patah tulang pun, jadi.”

Jadi apa? Kali ini aku yang bertanya ragu di dalam hati, namun orang-orang itu, setelah melihat mobil yang dibawa paman bertato datang dan tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, mereka dengan spontan menggotongku beramai-ramai. Aku sontak mengerang terkejut.

“a-akhh!!!”

“Oh! tunggu, tunggu!” jeda si pemuda bertato ikan. Semua orang jelas tahu kalau ini rasanya sangat menyakitkan namun aku tidak habis pikir kenapa cara menggotongnya asal-asalan begitu? Iya, benar, aku sangat berterima kasih sudah dibantu, tapi maaf-maaf saja ya, sakitnya ini terasa seperti mau mati. Air mataku menitik. Mereka menaruhku kembali dan aku berpegangan erat pada bahu si tato ikan. Berbisik dengan tertahan kalau rasa sakitnya ini bukan main. Ia tertegun beberapa saat. Mencoba menetralkan kondisi sebelum akhirnya menyelipkan satu tangan pada punggungku dan satunya lagi pada kedua kaki. Tanpa disangka ia bisa mengangkatku perlahan seorang diri, meski dengan wajah yang nyaris meledak karena beratnya hidup—digaris bawahi. Bukan karena aku yang berat, lho, ya. Enak saja.

  Tidak kuat bertahan, semua orang dengan cepat membukakan pintu sementara pemuda bertato langsung memasukan dirinya sekaligus denganku. Tidak membiarkan jeda, pintu langsung tertutup dan mobil segera melaju ke tempat tujuan.

***

   Jalanan malam begitu ramai. Meski tidak melihatnya dengan jelas, aku tahu kondisinya sedang macet. Lututku sudah ngilu tidak karuan sementara parahnya adalah: aku sedang berpura-pura tidur. Menahan bagaimana keras rasa sakit itu berkedut-kedut dilutut seperti seseorang tengah mencoba memotong tulang sapi dengan badik, aku merasa seperti tengah sakit keras. Melirik sekitar, orang-orang asing ini tengah kerepotan karenaku. Belum lagi pemuda yang tiba-tiba menjadi tenang ini masih memangku tubuhku di atas kedua kakinya tanpa memasang ekspresi keberatan sedikitpun.

  Aku menggerakkan kepala, merasakan dadanya yang bidang sedang kupakai bersandar. Manusia pasti pernah merasa ‘nggak enak’ dengan kebaikan orang lain yang membuatnya nyaman. Tapi, alih-alih menolak, lebih baik menerima dulu sebelum berkata ‘jadi nggak enak’ sebagai bentuk proteksi atas kerakusan diri. Tapi aku tidak. Aku tidak pernah merasakan itu, sebab aku tidak menerima kebaikan orang lain secara Cuma-Cuma.

 “Tempatnya jauh sekali, ya?”

  Ia terkejut. Bahunya terlonjak.

“Kenapa?”

  Wajahnya begitu dekat tanpa disadari, tepat di atas wajahku. Jika mendongak sedikit, aku bisa melihat bibirnya.

“Bisa, tidak, aku di taruh di sebelah situ?” aku menunjuk ke sebelahnya. Ia menoleh ke arah itu.

“Di sini?” tanyanya memastikan, kemudian ia jadi sedikit bingung. “Tapi kakimu belum boleh ditekuk.”

   Benar juga. Ia punya alasan untuk melakukan ini, bukan sepertiku yang egois hanya mementingkan perasaan pribadi. Seharusnya aku tidak berpikir macam-macam. Tapi mungkin berkat permintaanku, ia jadi kepikiran macam-macam. Jari-jarinya terasa bergerak gugup di bawah sana dan nyatanya ia hanya mengatur posisi kami agar sama-sama merasa nyaman. 

“Kamu, nggak nyaman?” tiba-tiba dia bertanya dengan nada rendah sekali, tapi aku langsung menjawab, “iya,” tanpa ragu.

“Nggak nyaman karena posisinya?”

“Bukan,” sergahku pelan, kemudian memberitahukannya sebuah fakta memalukan. “Nggak nyaman karena aku ini berat.”

  Aku yakin ia terkejut, tapi bahunya bergerak. Bermurah hati menunjukkan sebuah reaksi atas informasi konyol itu sebelum berakhir membuang napas panjang.

“Tapi memang sedikit berat, sih,” liriknya jenaka, memasang tampang pura-pura mengeluhnya sebelum kubalas tidak terima. “Tapi tenang aja. Sudah biasa, kok.”

“Sudah biasa apa?”

“Mengangkat yang berat-berat.”

Lumayan berani juga ia mengataiku begitu. Dia kira aku ini barang?

“Tapi tenang aja. Kamu nggak terlalu berat, kok. Masih lebih berat kulkas yang tiap pagi kuangkat.”

  Ekspresinya tentram seperti pecinta kedamaian. Tapi sadar atau tidak sadar, ia sudah membandingkanku dengan sebuah kulkas. Inti sari perkataannya barusan adalah: mau tidak mau, kamu itu sebenarnya kembarannya kulkas. Menyebalkan sekali.

“Rumah kamu di mana?”

“Memangnya kenapa?”

Ia melirikku sambil menatap tak percaya.

“Jadi kamu bisa pulang sendiri, nih?”

“Bisa.”

“Oh, ya sudah.”

  Kemudian percakapan berakhir begitu saja. Ia terdiam jadi sekali dan aku tidak mau kalah. Anehnya berselang beberapa detik kemudian, diamnya berubah menjadi sangat biasa. Seperti tidak ada yang terjadi dan tidak ada yang perlu dirasa pergi. Aku menelan saliva. Memandangnya bingung.   

“Sudah kubilang kalau aku berat, bisa taruh di sebelah saja kan?”

  Napasnya berhembus pelan. Matanya masih berkedip dengan normal. Tanpa alasan, aku jadi tertantang untuk mengetahuinya lebih banyak dari ini. Seperti, membuatnya bicara detik itu juga?

  Aku masih menunggu. Ia tanpa sengaja melirikku dengan mimik serupa. Tatapannya yang kosong tengah mencari-cari sesuatu dan tanpa ancang-ancang, “sudah makan?” tanyanya serius. Oh, astaga. Mataku terbelalak. Barusan apa yang ia katakan, sudah makan?  

  Pemuda ini agaknya berbeda dari jenis manusia yang lain, tapi pura-pura sajalah seperti tidak tahu.

“Hm, belum. Cuma sarapan tadi pagi.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa belum makan?”

Kok, bertanya seperti itu, sih? Aku jadi bingung. Tanpa diduga hanya karena sebiji pertanyaannya jadi membuatku repot-repot berpikir.

“Yah, karena insiden ini kan?”

“Insiden?”

  Aku tak percaya telah mendengarnya. Ekspresi murni tanpa zat kimia itu terasa tak menyehatkan sama sekali. Ia hanya berakting atau berpura-pura akting, sih? Itu sama saja tapi aku bodoh dalam membaca kebenaran. Sepersekon detik kemudian, aku menunjuk lututku yang masih berkedut-kedut.

“Dislokasi,” ujarku padanya. Kemudian melempar arah telunjuk jauh keluar jendela. “Harus pergi diurut dulu.”

“Oh,” katanya. Selesai.

  Aku tercenung. Anggukan pelannya seolah-olah mengatakan bahwa jiwanya baru hadir di sini dan ia sedang bingung dengan kondisi sekitar lalu bertanya. Seseorang memberitahunya dan ia berlalu begitu saja. Hanya ingin tahu dan sekadar ingin lewat.

“Kakak nggak apa-apa, kan?” tanyaku lagi saat tatapan kami secara kebetulan bertemu. Memasang raut khawatirku, ia mengangkat alis.

“Apanya?” 

 Aku jadi ragu padahal tadi sudah yakin. “Ah, nggak ada.”

  Ia mengangguk lagi, membiarkannya berlalu. Namun tak lama, ia menoleh untuk memastikan sesuatu.

“Ka—kak?”

Aku mengangguk. “Kakak kelihatannya lebih dewasa soalnya.”

“Memangnya umur kamu berapa?”

“Dua puluh.”

“Dua puluh berapa?”

“Dua puluh pas.”

“Oh, berarti kamu lebih muda dariku.”

“Memang kelihatan begitu, kok. Kakak umur berapa?”

“Dua puluh tiga, tapi bukan berarti tua. Bukan berarti harus dipanggil kakak juga, sih. Aku kan bukan kakakmu.”

“Iya, sih, tapi aku tidak bilang kakak tua, aku bilangnya kakak itu dewasa. Dan orang Korea suka panggil yang lebih dewasa dengan sebutan ‘kakak’.”

“Orang korea? Apa hubungannya?”

“Nggak ada hubungannya. Tapi aku Cuma bilang kalau orang Korea suka panggil yang lebih dewasa dengan sebutan, ‘kakak’.”

“Kamu orang korea?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Tapi aku K-popers.”

 “Apa lagi itu?”

“Penggila Korea.”

“Penggila Korea?” ia terheran-heran. “Kenapa begitu? Memangnya Korea itu setampan apa sampai digilai segala?”

  Aku menghela napas. “Kakak ini benar-benar nggak tahu atau selama ini hidup di dalam goa, sih? K-pop itu, Korean pop. K-popers, adalah sebutan bagi penggemar k-pop. K-pop sendiri berasal dari Korea selatan. Tempatnya Super junior dan Girls generation di lahirkan. Boyband and girlband terkenal. Tapi sekarang ada BTS yang sedang booming.”

“Oh, si ‘itu’,” ujarnya sambil mendecih pelan.

“Si ‘itu,’ apa maksudnya?” aku bertanya sewot.

“Si ‘BTS,’ itu.”

“Iya, nama grup mereka, ‘BTS’ ya, bukan si ‘itu’. Kakak hati-hati kalau bicara.”

“Hati-hati?” matanya terbelalak sebelum menyemburkan tawa. “Memangnya mau menyebrang jalan pakai hati-hati segala? Kamu ini suka membesar-besarkan masalah, ya?”

“Nggak, kok. Aku ini orang yang suka cari masalah.”

“Iya, betul, itu maksudnya. ”

“Dan kakak itu tukang memancing keributan.”

“Salah, salah besar itu. Aku tukang mancing ikan, bukan keributan.”

“Oh, itu mangkanya ada gambar ikan lele di lehernya, ya?”

“Heh sembarangan bilang ini ikan lele!” sontaknya terkejut sambil memegang leher sendiri dengan erat.

“Terus?” tanyaku, enteng.

“Ini ikan kerapuh!”

“Ikan kerapuh? Ikan apa itu?”

  Ia merotasi bola matanya dengan jengah sebelum melanjutkan, “ikan yang hidup di dalam air, deh, intinya. K-pop dibela-belain setengah mati. Ikan kerapuh nggak tahu.”

“Eh itu nggak ada urusannya, ya.”

“Satu sama. K-pop tadi juga nggak ada urusannya sama obrolan.”

“Kakak pendendam, ya?”

“Bukan. Aku pemancing.”

“Jadi pemancing ikan lele aja bangga, eh!”

  Aku langsung mengatupkan bibir rapat-rapat saat bola matanya terlihat membesar. “Kubikin jadi pecel lele baru tahu rasa kamu,” tukasnya penuh dendam, tapi aku jadi antusias dan berakhir membuatnya dongkol setengah mati.

“Pecel lele boleh juga. Enak, tuh!”  

***

  Setelah 30 menit berlalu, kami semua tiba di suatu tempat yang sedikit menyeramkan. Kediaman pak Rumi, katanya, (Tukang ahli urut) yang posisi gang rumahnya ternyata dihimpit oleh kuburan Islam dan Kristen. Memberi kesan angker tersendiri meski dimuka gang tersebut berhadapan langsung dengan jalan raya. 

  Sampai di depan rumah, Paman bertato keluar lebih dulu untuk pergi mengetok pintu. Memastikan perjuangannya tidak sia-sia, seorang wanita akhirnya membukakan pintu sambil memperbaiki jilbabnya—berbicara dengan paman bertato. Tak lama, masih dengan cahaya mobil yang menyoroti mereka dengan terang benderang, beliau mengisyaratkan kami untuk keluar.

“Ayo, nak, kita keluar.” Seorang wanita paruh baya disamping kemudi yang sedari tadi menemani paman bertato itu, menengok keadaan dan berkata lagi kepada kami dengan suara yang lembut.

“Hati-hati, ya. Jangan sampai jatuh adiknya.”

Adik?

Belum juga menyahut: ‘bukan, saya bukan adiknya,’ namun si tato ikan sudah menyanggah dengan senyum yang kelewat ramah.

“Dia hanya orang asing yang baru tadi saya lihat, Bu. Dia bukan adik saya.” Membuat isi hati mendadak remuk. Pemilihan katanya benar-benar tepat sasaran.

***

“Nama kakak, siapa?” tanyaku disela-sela keseriusannya ingin cepat-cepat menyelesaikan ini.

“Memangnya, buat apa?”

  Dia pendendam sekali, benar-benar. Karena setelah tahu nama Ibu yang baik ini adalah Bu Ratna, dan paman bertato yang adalah suaminya itu bernama pak Made, si tato ikan ini jadi sensitif jika kutanyai tentang nama.

“Yah, supaya kalau ada apa-apa nanti, entah nyawaku selamat atau nggak, setidaknya aku ingat nama Bu Ratna, Pak Made, dan… kakak?”

“Esa,” ucapnya sambil mencopot kedua sepatu dengan mandiri sebelum melangkah masuk ke dalam rumah pak Rumi. “Dwiarso Paresa,” sambungnya lagi. Tidak ingin sampai aku kehilangan kesempatan untuk mengetahui nama lengkapnya yang berharga. Terdengar cukup bagus.

“Lagi pula, manusia nggak akan mati semudah itu hanya karena dislokasi. Jangan berlebihan.”

  Aku baru saja berpikir untuk membalas perkataannya, namun ia sudah bertanya lagi. “Memangnya kalau sudah meninggal, kamu masih punya ingatan?” yang sukses membuatku tercengang dan berakhir bungkam menggigit bibir bawah sendiri. Emosiku selalu terlatih untuk bertahan. Jadi, kubiarkan ia menang, hanya untuk kali ini.

  Ia meletakkanku di atas tikar pemilik rumah dengan sangat hati-hati. Menunggu Pak Rumi tiba di rumah setelah sang istri memberitahu kami bahwa beliau sedang pergi salat Isya di masjid. Bu Ratna sangat memaklumi itu sebab ia beragama Hindu, sama dengan suaminya. Tapi Pak Made terlihat biasa saja. Hanya Bu Ratna yang berusaha mencairkan suasana.

  Saat hening menerpa kami semua, aku dapat mendengar suara kipas angin yang berdebu dengan jelas karena tv-nya sedang tidak menyala. Di dinding, ada pigura yang berisi foto keluarga. Aku bisa menebak siapa saja yang ada di sana. Selain Pak Rumi dan istrinya, gadis dan bocah laki-laki itu pasti anaknya. Meski… aku tidak tahu pasti alasan kenapa mereka semua harus memasang senyum terpaksa begitu, seolah-olah tidak bahagia.

  Berdeham untuk sekian kali, Bu Ratna kembali mencairkan suasana. Dan bahkan, perbincangan mereka tidak lama menjadi lebih ramai dari suara kipas angin yang berdebu. Obrolan orang tua, biasa. Sangat membosankan. Aku melirik teh hangat yang tersaji di depan kami. Uap kecilnya menari-nari.

Dibandingkan penasaran tentang alasan di balik senyuman terpaksa foto keluarga itu, aku lebih penasaran dengan sosok manusia yang tengah duduk di sampingku ini. Ia hobi sekali berdiam diri kalau tidak diajak bicara.

“Kak Esa,” panggilku, usil. Ia hanya bergeming. Dengan lekas kumiringkan tubuh ke arahnya untuk bertanya, “agama kak Esa, apa?” dengan raut penasaran. Ia melirikku sekejap. Terbesit raut ilfeel yang ditutup-tutupi dengan sempurna sebelum akhirnya bergumam, “nggak punya agama,” dengan raut enteng. Air mukanya bebal seolah kebal dosa.

“Astaga,” responku terkejut. Kedua tanganku bahkan sontak menutup mulut. Bu Ratna sekilas melihatku dengan mengangkat kedua alis, namun dengan cepat aku menggeleng tersenyum sebelum kak Esa balik bertanya dengan muka herannya.

“Kenapa?”

“Kakak kenapa ngomong begitu?”

“Ngomong bagaimana?”

  Mesti, deh. Kalau berbicara dengannya pasti harus diulang-ulang. Aku menaruh kembali cangkir tersebut, kemudian mendekatkan diri kepadanya. Bertanya hati-hati.

“Kakak pengidap amnesia, ya?”

  Ia melihatku. Bola matanya terpaku cukup lama sementara isi kepala sedang menstimulasi sejumlah data yang berkaitan dengan pertanyaan itu. Tring,, suara nada dering panggilan dari ponsel Bu Ratna membuyarkan lamunannya. Aku menoleh dan melihat beliau seperti baru saja mendapatkan kabar buruk dengan alis yang bertaut. Tak lama berselang setelah menutup telpon, Bu Ratna kemudian berdiskusi dengan suaminya. Kelihatannya masalah serius. Disisi lain aku masih menunggu. Kak Esa juga terlihat kesulitan entah dalam konteks apa. Rautnya sangat sulit dibaca dan tak lama sebelah matanya memekik, ia mendengus kesakitan.

“Kak—”

“Kami pamit dulu.” Mendadak bu Ratna dan pak Made berdiri.

 “Lho, kenapa?” tanya istri Pak Rumi yang kebetulan bertepatan dengan kehadiran Pak Rumi. Beliau juga jadi bertanya-tanya. “Ada apa ini?” sedangkan Bu Ratna seketika menitikan air mata.

  Aku kebingungan. Pak Rumi juga. Pak Made terdiam dan kak Esa mendadak pusing. Tapi pada akhirnya dengan kontrol diri yang baik, Pak Made menjelaskan pelan-pelan kepada kami bahwa, “anak kami, Putu, dia sedang sakit. Demamnya tidak turun-turun selama beberapa hari. Sudah dibawa ke dokter kemarin katanya hanya flu biasa. Tapi baru saja neneknya menelpon sekarang dia dibawa ke UGD karena muntah darah. Mangkanya Ibunya ini khawatir sekali. Kami harus ke sana sekarang.”

Aku jadi berkedip banyak, mendadak ikut khawatir. Pak Rumi menengok sang istri, mempertanyakan situasi yang terjadi namun sang istri tak lantas menggubris sebab ia memasang raut yang serupa dengan bu Ratna. “Oh, iya! iya! Tinggal saja pak, ndak apa-apa. mereka di sini nanti gampang diobati, kok. Putu lebih penting sekarang. Jangan khawatir.”  

“Terima kasih banyak, Bu. Nanti bagaimana-bagaimana pak Rumi bisa hubungi saya kalau anak ini sudah selesai di obati. Nanti saya jemput—”

“Oh, tidak usah bli! tidak usah, tidak usah. Kami bisa pulang sendiri nanti.” Kak Esa dengan cepat tanggap menghalau tawaran tersebut. Aku hanya diam saja. Membiarkan semuanya terjadi sampai keputusannya final.

“Ndak apa-apa, nak?” beliau bertanya padaku, aku gelagapan.

“Oh, ndak apa-apa, pak. Sudah dibawa ke sini saja saya bersyukur sekali. Terima kasih banyak.”

Pak Made menggoyangkan tangan kanan yang berarti itu bukan apa-apa sambil memberikan gestur mundur sedikit. Mereka berpamitan. Pak Made merangkul pundak sang istri. Aku dan kak Esa diam berdampingan namun ia berdiri. Kemudian mengkawal pak Made dan sang istri menuju mobilnya. Sekilas dalam kondisi tak seharusnya aku berpikir begini, aku iri. Putrinya tentu lebih penting dari siapapun saat ini. Aku mengerti, sangat mengerti. Tapi, punya ayah disamping kita saat kita tengah kesakitan itu rasanya pasti akan lebih baik, bukan? Aku merasa Putu mengambil perasaan nyamanku sebagai seorang putri yang tengah diperhatikan ayahnya. Dan aku jadi sedih karena tiba-tiba rindu ayahku sendiri.   

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status