Share

2. Run Away

"Elias? Dia juga ikut?!"

Crystal memutar bola mata mendengar suara terkejut Xavier. Mereka duduk di sofa panjang, tepat di balik tembok kaca besar yang membatasi ruangan kaca itu dengan area panahan. Aiden sudah berada di sana—bersiap untuk membidik. Terlihat sangat bertekad membuktikan bahwa  sayembara gila Javier Leonidas adalah kesalahan, dan rengekan Crystal sepanjang malam tidak sia-sia.

"Memangnya apa yang kau pikirkan? Aku Crystal Leonidas! C-R-Y-S-T-A-L! Hanya orang bodoh dan gila yang akan melewatkan kesempatan untuk bisa menikahiku!"

"Semua orang boleh ikut, tidak dengan Elias. Tugasnya adalah menjaga Axelion dan Aurora!" Xavier berdiri dengan gelisah, mata biru yang sebening milik Crystal memicing ke arah pria berambut pirang yang juga tengah membidik—Elias Parks, bodyguard-nya sendiri. "Christian. Cari tahu, dengan identitas apa Elias mendaftar."

Sang  tangan kanan, yang selalu berjaga di samping Xavier mengangguk patuh. "Baik, Tuan muda."

"Kenapa kau memerintah hal tidak berguna begitu? Seharusnya, kau memerintahkan agar kegilaan ini dihentikan!" Crystal menyusul berdiri di sebelah Xavier dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Aku tidak habis pikir dengan kau dan  dan Daddy. Kalian selalu bilang sayang padaku, ingin yang terbaik, tetapi memberi kesempatan pada lelaki tidak jelas, alih-alih langsung mengizinkan Aiden—"

"Mereka bukan bachelor sembarangan. Christian sudah menyelidiki latar belakang keluarga mereka sebelum mengizinkan—"

“Oh ya? Kalau begitu kenapa Elias bisa lolos, dan kau tidak tahu kenapa dia bisa ikut?” Crystal menghentakkan kedua kaki dengan kasar, lalu memandang kesal ke area panahan. "Dan parahnya, aku tidak kenal mereka!"

"Termasuk Aiden?"

"Kecuali dia! Aku sudah mengenal Aiden seumur hidupku! Jika bukan karena kau dan Daddy, tentu saja aku sudah menikah dengan Aiden sejak dulu!"

"Memangnya seberapa besar kau mencintainya?" desak Xavier, sambil menatap Crystal dengan satu alis terangkat. "Apa kau rela kehilangan posisimu di Inquireta untuk dia?"

"A—apa?! Pertanyaan macam apa itu!" Inquireta adalah salah satu anak perusahaan Leonidas International yang berfokus di fashion dan perhiasan. Sudah hampir empat tahun lebih Crystal mengendalikannya. "Aiden dan Inquireta, dua-duanya milikku!"

"Jawabanmu mengecewakan."

"Memangnya apa yang kau harapkan? Aku rela melepas Inquireta untuk Aiden? Sekarang aku tanya, apa kau rela melepaskan Leonidas International untuk—"

"Untuk Istriku? Tentu saja." Tidak ada kompromi di mata Xavier. "Jangankan Leonidas International, aku bahkan rela memorak-porandakan dunia untuk mendapatkannya kembali."

Ada kilat di mata Xavier yang tidak bisa diabaikan. Tulang punggung Crystal menegang melihat keseriusan Xavier. Dia sendiri menjadi saksi bagaimana kepergian Aurora mengubah kakaknya selama bertahun-tahun. Lebih dingin, kejam—tidak tersentuh. Bahkan Crystal sekalipun tidak bisa menggapai Xavier, keadaan menjadi lebih baik ketika Aurora kembali.

Crystal diam. Menarik napas panjang dan menatap jauh ke tempat sayembara pertama terselenggara. Meski enggan mengakui,  Xavier dan Javier adalah dua sosok yang membuat Crystal percaya cinta sejati itu ada. Bagaimana seorang pria bisa mencintai wanitanya dengan sangat. Mereka membuat Crystal bermimpi mendapatkan pangeran, yang ia temukan pada Aiden. Namun, kenapa mereka malah membuat ini sulit?

"Aku tidak pernah mencintai orang lain selain diriku, tapi sekarang aku mencintai Crystal Leonidas."

"Crystal ... you are my everything."

Crystal mengingat tiap kata yang pernah Aiden ucapkan padanya. Tersenyum tipis melihat tembakan panah Aiden nyaris menyentuh bullseye. Namun, rasa resah merayapi Crystal mendapati nama Aiden ada di nomor dua papan skor, tepat di bawah nama Rhysand Leonard.

Rhysand Leonard? Siapa dia?

Crystal berusaha tidak meringis ketika tatapannya bertemu lelaki berperawakan gendut dengan rambut botak yang sedang tersenyum padanya, berkedip menjijikkan seraya menunjukkan busur panah. Sial. Kalau sampai lelaki itu yang bernama Rhysand Leonard, Crystal bersumpah akan kabur dari sini, meninggalkan nama belakang Leonidas—lalu menolak pulang sampai Daddynya membatalkan semua hal tentang sayembara bodoh ini.

Namun, kenapa nama Leonard terasa tidak asing? 

"Tuan muda."

Crystal ikut menoleh, ketika Christian kembali dengan tergesa lalu bicara dengan suara panik. "Elias menggunakan nama aslinya; Rhysand Keith Leonard, agar bisa lolos seleksi tahap awal. Dia merupakan salah satu dari putra Ares Leonard, terlahir dari istri kedua Ares Leonard. Kedua kakaknya; Liam dan Lukas Leonard juga ada di kapal pesiar ini."

"Elias sialan! Dia melupakan kata-katanya sendiri." Xavier mengerang, lalu bergegas keluar dari ruangan diikuti Christian.

Kemudian, Crystal mengingat siapa itu Leonard. Keluarga Leonard.

Kekuasaan keluarga itu sebelas dua belas dengan Leonidas. Selain pada Leonidas, percaturan ekonomi dunia ada pada kendali mereka. Keduanya sama-sama tidak membutuhkan kerja sama dengan billionaire-billionaire lain, karena berdiri sendiri saja sudah membuat mereka kokoh. Satu-satunya yang bisa menghancurkan Leonidas, mungkin hanyalah Leonard—begitu pula sebaliknya. Namun, selama ini keduanya memilih diam tanpa saling mengusik, dibanding mengeluarkan energi untuk suatu hal yang tidak perlu. Karena itu, mereka seperti menjalankan aturan tidak tertulis, Leonidas terus menguasai Amerika, sementara Leonard menguasai Eropa—kecuali Spanyol—yang memang menjadi markas besar Leonidas.

Crystal gemetar. Berurusan dengan mereka sama saja dengan memicu masalah. Bagaimana jika putra keluarga mereka yang menang? Perbandingan kekuasaan keluarga Leonard dan Lucero sangat jauh. Bisakah dia dan Aiden melawan mereka untuk tetap bersama?

Crystal masih berkutat dengan pikirannya, ketika tanpa sengaja tatapannya bertemu mata harimau Elias. Gila. Ini benar-benar gila. Padahal Elias hanya menatapnya tanpa ekspresi, tapi tetap saja membuat lutut Crystal lemas. Seketika pikiran Crystal dibanjiri banyak pertanyaan; kenapa Elias dengan latar belakang keluarga sehebat itu mau menjadi bodyguard kakaknya? Kenapa dia mau mengikuti sayembara bodoh yang dibuat ayahnya? Apa lelaki itu memang mengincarnya dari awal?

Belum ada perubahan di papan skor ketika Crystal memeriksanya lagi, sekaligus memutuskan tatapannya dari Elias. Kekhawatiran Crystal meningkat tajam. Persetan dengan Rhysand dan wajah malaikatnya. Sekalipun dia bukan lelaki bertubuh gendut yang tadi, tetap saja dia bukan Aiden. Bagaimana bisa prince charming-nya digantikan oleh lelaki asing?

Kabur. Crystal segera menyelinap keluar dari ruangan itu tanpa berpikir dua kali.

Sejak awal, sayembara ini adalah hal terbodoh di hidupnya. Persetan jika daddy dan kakaknya ingin meneruskan ini. Jika pemenangnya bukan Aiden—jangan harap Crystal Leonidas akan kembali.

***

"Crystal, is that you?!"

Crystal menarik napas panjang lalu berbalik, menatap perempuan cantik berambut coklat gelap dengan balutan gaun hitam beraksen merah dengan belahan tinggi. Samantha Emerald Ederd, pewaris utama keluarga Emerald, ia salah satu pemasok berlian untuk Inquiereta. Crystal mengulas senyum kecil, meski Samantha menunda rencana 'kabur' Crystal setelah dengan susah payah lepas dari pengawasan Xavier dan Javier. 

"Ah, Sam! Kau juga datang?"

Dengan langkah ceria, Samantha menghampiri lalu menggandeng Crystal dengan akrab. "Tentu saja! Aku penasaran sekali dengan keponakan kembarmu! Ternyata tidak sia-sia aku ke sini! Alistair dan Adrianna benar-benar lucu sekali! Aku jadi tidak sabar mempunyai bayi-bayi kecil sendiri!"

Crystal tersenyum kaku. Berharap pembicaraan mereka cepat berakhir. Jika dalam kondisi biasa, Crystal pasti akan senang hati menanggapi celotehan Samantha, tapi kini masa depannya terancam. Sayangnya, keinginan Crystal tidak terkabul. Samantha terus saja berceloteh, bahkan memanggil suaminya—Justin Ederd untuk ikut berbincang bersama mereka. Pembicaraan melebar ketika mereka mendapati Justin adalah rekan bisnis Aiden.

Detik demi detik berjalan begitu lambat, tidak ada tanda-tanda perbincangan tidak penting ini berakhir. Crystal semakin was-was, khawatir sayembara bodoh itu berhasil menemukan pemenang yang tidak dia inginkan—sementara ia masih di sini. Bukannya Crystal meragukan Aiden, tetapi Elias ... seharusnya Aiden bisa mendapatkan posisi pertama di panahan karena itu keahliannya. Bagaimana bisa Rhysand Leonard itu mengalahkannya?

"Ngomong-ngomong ... aku sedikit kaget ketika Daddy-mu mengumumkan sayembara tadi. Padahal aku berpikir kau akan menikah dengan Aiden. Bukankah kau sudah berhubungan dengannya jauh sebelum aku dan Justin menikah?" tanya Samantha.

"Tepatnya, sejak aku JHS. Saat itu Aiden sudah SHS."

"Nah! Kalau begitu kenapa tidak langsung dengan Aiden saja?" Samantha mengernyit, menatap bingung. Perempuan ini pasti  berpikir sayembara ini adalah hal yang bodoh. Sangat amat bodoh. "Siapa yang tidak merestui kalian? Keluargamu? Keluarga Aiden?”

"Aku merasa seperti diinterogasi."

"Ah, maafkan aku. Aku hanya penasaran." Samantha menunjukkan raut menyesal. "Baiklah. Aku hanya akan mendoakan yang terbaik untukmu, Crys. Percayalah, aku merasa kau dan Aiden sangat serasi."

Semua orang berpikir sama, kecuali Javier dan Xavier. Sebenarnya apa yang mereka pikirkan?

Jantung Crystal bergemuruh. Sayembara pertama sepertinya sudah selesai. Dari ujung matanya,  Crystal melihat Javier, Nolan, dan rombongan lelaki yang mengikuti sayembara tadi keluar dari ruangan  menuju venue kedua. Raut muram di wajah Aiden seakan menjadi tanda baginya untuk segera pergi dari sini.

Crystal berpura-pura tidak melihat mereka. Barulah ketika orang-orang itu pergi dan Samatha pun ikut berpamitan, Crystal menarik napas lega.

Penjaga pintu berseragam pelaut menyentuh topi sebagai sapaan ketika Crystal keluar. Crystal mengabaikan si penjaga, sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi Quinn Jenner—sepupu jauhnya yang juga ada di kapal ini. "Di mana Helicoptermu?" tanya Crystal begitu panggilannya diangkat.

"Helicopterku? Untuk apa?"

"Tentu saja pergi dari sini, sialan! Kau tidak lihat apa yang terjadi?!"

Quinn terkekeh menyebalkan di ujung sana. "Maksudmu sayembara? Bukankah ini menyenangkan? Aku malah berpikir untuk ikut. Lumayan, sepertinya jika aku menang, nanti aku bisa menjadikanmu budak seumur hidupku.”

“Jangan macam-macam, atau aku akan membunuhmu!”

“Kau tidak boleh membunuh calon suamimu.”

“Quinn! Aku tidak bercanda!” 

"Baiklah, baik." Quinn masih tergelak. "Ada di atas, landasan nomor dua. Aku heran padamu, Aiden sedang berjuang, dan kau malah kabur. Benar kata Xavier, sepertinya kau begitu meragukan Aiden hingga—" 

Crystal menutup panggilan itu, enggan mendengar pembicaraan sampah lelaki itu. Crystal hanya butuh letak Helicopter Quinn, hal lain seperti cara masuk, membobol sistem keamanan helicopter serumit apa pun bisa Crystal tangani sendiri. Dia Crystal Princessa Leonidas, dia bisa semuanya—kecuali membobol sistem keamanan milik Xavier yang penjagaannya seperti neraka.

Wajah Crystal berubah muram, teringat bagaimana dulu Aiden mengajarinya cara hacking. Satu-satunya hal beresiko yang Aiden bolehkan. Aiden melarangnya belajar bela diri, menembak, apalagi mengemudikan Helicopter dengan alasan Crystal perempuan. Namun, tanpa sepengetahuan Aiden, ia mempelajari semuanya. Crystal berharap suatu hari dia bisa membuktikan jika semua itu masih bisa berguna meskipun  untuk perempuan. Hari ini, misalnya.

Ketika Crystal berlarian kecil menaiki anak tangga, Quinn menelponnya lagi.

"Iya Quinn—" Crystal jatuh terjengkang tertabrak  seseorang. Crystal meringis, sikunya berhasil menahan tubuh agar tidak berguling ke bawah, tapi membentur lantai marmer sama menyebalkannya dengan berguling. Sama-sama sakit dan memalukan!

"Maaf. Aku tidak sengaja. Apa kau baik-baik saja?" Suara seseorang di depannya terdengar sopan dan halus, dengan suara serak yang membuat isi perut Crystal jungkir balik. Dia kenal suara ini, suara yang sama dengan yang pernah membuatnya berdebar beberapa tahun yang lalu.

Crystal mendongak. Terperangah.

Lelaki itu hanya mengenakan setelan kemeja putih dan jas abu-abu tanpa dasi. Tampak sangat pas di tubuhnya dengan satu kancing teratas kemeja dibiarkan terbuka. Tubuh jangkung, tegap, dan kokoh dibalik setelan itu membuatnya terasa lain. menyerang syaraf-syaraf Crystal dengan auranya yang luar biasa.

Crystal yakin, lelaki ini sama dengan pelayan yang ia temui ketika pergi ke restoran seafood di New York

bersama istri Xavier, sekaligus  bartender yang ia temui di kasino China empat tahun yang lalu. Debar jantung Crystal berpacu cepat. Dia masih mengingat jelas raut wajah lelaki ini. Rambut hitam berkilau, bibir yang tegas, hidung yang mancung, dan mata coklatnya yang ... tunggu. Seingat Crystal, mata lelaki ini berwarna biru, kenapa sekarang warnanya malah coklat?

Pertanyaan itu menghilang dari kepala Crystal, ketika mata tajam dan penuh perhitungan lelaki itu menatapnya. Mengunci fokusnya, hingga  Crystal tidak kuasa mengalihkan pandangan. Lelaki itu tampak lebih tua darinya, tapi masih tampak lebih muda dari Xavier—mungkin usianya sekitar 27, tapi tatapannya terasa lebih tua dari itu. Hangat tapi kelam. Menenangkan ... sekaligus menakutkan. Crystal merasakan sengatan, seakan ada kekuatan kuat yang lepas, menariknya dengan keras dan nyaris nyata.

Udara seakan berderak di antara mereka. Napas Crystal tersekat. Otaknya tidak bisa berpikir, apalagi aroma menggoda lelaki itu juga mengusiknya. Bukan aroma parfum, shampo, ataupun sabun mandi—Crystal tidak tahu apa itu. Tapi, apa pun itu sangatlah menggiurkan. Seolah ada tali tidak kasat mata yang menarik perhatian Crystal pada lelaki itu secara perlahan.

Butuh usaha keras untuk membuat Crystal bicara dengan suara gemetar. "Aku tidak apa-apa.”

Lelaki itu tidak menyahut, hanya mengamati Crystal dengan kening berkerut. Ketika lelaki mendekat, Crystal mengerjapkan mata sambil mengulurkan satu tangan, agar lelaki itu membantunya bangun.

Namun, tangannya pun diabaikan, lelaki itu mengangkat satu alis lalu menggeleng seolah yang dilakukan Crystal hal aneh. Kemudian, si lelaki menuruni satu tangga, membungkuk, dan memungut kandang plastik kecil.

Crystal mendengar suara ngeongan, lalu lelaki itu mengeluarkan seekor kucing cantik berrambut campuran putih dan coklat—yang langsung dibelai lembut. "Princessa ... are you okay? I'm so sorry." 

Seakan mengerti ucapan lelaki itu, si kucing  mengeong.

"Kau marah padaku?"

"Miaw!"

"Maafkan aku, setelah ini kau akan aku beri makanan paling enak dan mahal. Kau mau apa, Princessa?"

"Miaw!"

Crystal masih terduduk di lantai. Terdiam sembari melihat dua makhluk berbeda yang tampak bisa berkomunikasi satu sama lain itu. Tidak habis pikir dia diabaikan karena seekor kucing.

Kucing ... seketika otak Crystal kembali berfungsi. Wajah Crystal memanas. Ia bergegas bangkit dan menghampiri lelaki yang masih sibuk mengelus kucing sialnya dengan raut wajah menyesal. Seakan yang terluka adalah kucing itu.

Crystal merasa kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa sangat canggung, sementara lelaki ini begitu tenang? Lelaki itu bahkan melewati dan memilih menolong kucing dibanding membantunya. Sialan. Seakan tidak cukup di sana, lelaki itu juga memberi nama kucing jelek itu dengan nama tengah Crystal; Princessa.  Is he insane?

Damn it! Ini penghinaan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status