Share

Gadis Dua Belas Digit
Gadis Dua Belas Digit
Penulis: Suharni

The King Hotel

The King Hotel

“Kau benar-benar payah, Mark! Dua malam kau tidur di samping gadis itu, tapi tidak sedikit pun menyentuhnya. Kau ini normal atau tidak?”

Lelaki yang bernama Mark itu tak mengambil pusing cemoohan yang dikeluarkan oleh Richard, lelaki satunya yang berprofesi sebagai germo itu.

"Aku bukan dirimu! Lagi pula aku bukan pecinta anak remaja!" sanggah Mark dengan santainya. Namun, sukses membuat lelaki itu tersindir.

Tak lama, Mark dan lelaki germo itu melangkah menuju sebuah kamar, di mana terdapat gadis yang sedari tadi jadi topik perbincangan mereka.

Dialah Maria, gadis berusia sembilan belas tahun yang terperangkap ke dalam tipu daya mucikari tersebut.

Maria yang semula diimingi pekerjaan di kota, tidak tahu kalau dia sedang ditipu. Bukan bekerja kantoran, atau jadi ART … dia justru berakhir disekap, juga disiksa karena terus memberontak saat tahu nasibnya yang hanya akan berakhir di ranjang lelaki hidung belang.

Langkah kedua lelaki itu kian mendekat. Sementara Maria semakin ketakutan dan merapatkan tubuhnya di tempat persembunyian, terlebih tatkala pintu kamarnya terbuka.

‘Tuhan, tolong selamatkan aku,’ batin Maria ketakutan sembari membekap mulutnya sendiri.

Langkah Mark semakin dekat, aroma parfum pun kian menyengat. Baunya sungguh wangi, tetapi Maria tidak peduli. Benak gadis malang itu dipenuhi ketakutan. 

Bug!

Maria hendak menghantam bahu lelaki tersebut. Naas, kaki jenjangnya harus terbentur nakas. Hingga kehilangan keseimbangan.

Tubuh ramping Maria menindih Mark. Bersamaan dengan itu, lampu kamar pun menyala. Hingga keduanya saling menatap satu sama lain.

Sesaat, Maria terpana menatap wajah tampan lelaki yang berada di bawahnya. Wajah Mark memang jauh dari seram untuk dikatakan sebagai orang jahat. Begitu pula yang dipikirkan Maria.

Namun, tak lama … dia langsung mengenyahkan pikiran bodoh itu saat teringat posisinya yang sedang dalam bahaya.

"Apa kau sudah puas menatapku?" ucap lelaki itu.

"Ha?" Maria hanya bisa tercengang bagai orang bodoh. Tangannya menempel tepat di depan dada lelaki bertubuh kekar tersebut.

"Menyingkirlah, aku tidak suka anak bau kencur."

Seketika Maria menarik diri. Menundukan kepala sembari meremas jemari. Perasaan gadis itu berkecamuk. Ada rasa takut dan juga kesal.

"Apa kau tidak sekolah? Mengapa menjadi gundik di tempat ini?” Mark beranjak, merapikan kemeja hitamnya.  “Anak seusiamu seharusnya masih menempuh pendidikan. Kau malah menjual tubuh!"

Pertanyaan itu membuat Maria merasa terhina, hingga sukses menghujam jantung. Bukan keinginan Maria hidup dalam kemelaratan. Bukan pula kehendaknya menjadi gadis malam yang diperjualbelikan. Melainkan takdir kejam yang tak dapat ia ubah. Richard telah menipu dirinya.

"Mungkin di rumah Anda tidak tersedia roti tawar murahan. Sehingga menganggap semua manusia mempunyai nasib yang sama!" seru Maria dengan mata berkaca-kaca.

Harga diri gadis itu kian terluka. Kalimat hina itu kerap ditujukan kepadanya. Namun, entah mengapa kali ini ia merasa sangat terluka hingga berdarah.

"Ehem!" Lelaki itu berdehem sembari membenarkan posisi jas. Lantas kembali berucap, "Itu karena kau dan keluargamu sangat malas untuk berusaha!"

Belum kering luka yang ditorehkan Richard, kini muncul lelaki lain menghina dirinya.

"Siapa namamu?" tanya lelaki itu kemudian.

“….”

Namun, Maria tidak menyahut. Ia terlalu sakit hati.

"Dengar, belajarlah untuk menghormati yang lebih tua. Jangan diam saja, bukankah kau masih punya mulut untuk bicara?!" Mark mulai sinis. Namun, masih menjaga intonasi.

"Maafkan saya, Tuan," jawab Maria.

"Katakan siapa namamu? Dan mengapa kau bisa berakhir  sampai di sini? Apakah ada yang memaksamu untuk menjajakan tubuh?"

Maria pikir, mungkin lelaki itu bbisa menolongnya untuk keluar dari sini. Untuk itu, gadis itu tak takut untuk menjawab pertanyaan tersebut, meski kata-kata yang diucapkannya terdengar begitu pahit.

"Iya, lelaki bernama Richard yang telah memaksaku. Dia menipu kami." Maria mulai memberitahu. "Om, tolong bantu aku. Keluarkan aku dari sini. Aku ingin pulang. Aku tidak mau menjadi pelacur."

Maria mendekat, memohon pada lelaki itu.

"Apakah menurutmu wajahku layak dipanggil Om?"

“M-maaf.” Maria melepas lengan lelaki itu. Hatinya melemah. Seolah kehilangan harapan. Disangkanya dia akan mendapat pertolongan. Setidaknya lelaki itu tidak menodai harga dirinya.

"Panggil aku Mark. Aku tidak setua itu untuk menjadi Walimu!"

Maria semakin ketakutan. Dia telah melakukan kesalahan besar.

"Dengar, jika kau ingin keluar dalam keadaan utuh dari tempat ini. Minimal kau harus bekerja padaku." Mark duduk di kursi, menyilangkan kaki sembari mengisap cerutu.

"Aku akan melakukan apa saja. Asal aku bisa keluar dari sini." Ibarat mendapat angin segar, Maria kembali mendekat. Menarik tipis kedua sudut bibirnya. Ada setitik harapan di dalam sana untuk selamat.

"Kau jangan terlalu bersemangat. Pekerjaan ini tidak akan mudah bagimu," ucap Mark, memupus harapan Maria.

"Tidak masalah, asal Anda bersedia menepati janji." Tak ada lagi yang diinginkan Maria selain keluar dari tempat itu.

"Baiklah, sepertinya kau memang tidak menginginkan tempat ini," balas Mark.

"Katakan apa yang harus aku lakukan?"

"Kau terlalu terburu-buru, Nona. Apa kau tidak takut padaku?" Lagi-lagi Mark membuat nyali Maria menciut.

Tadinya wanita itu merasa lega, karena akhirnya dia bertemu seseorang yang bisa diandalkan.

"Aku bahkan lebih berbahaya dari Richard. Apa kau yakin ingin bekerja padaku? Kau tidak takut kesucianmu kurenggut? Atau bisa jadi aku menjual organ tubuhmu pada salah satu pemilik bank skin." Lihatlah betapa menakutkannya itu. "Pikirkan baik-baik keputusanmu. Sebab, begitu kau setuju, tidak akan ada jalan untuk kembali," imbuh Mark.

Maria terdiam lesu, dan berpikir. Apakah jika dia bersedia mengikuti perkataan lelaki itu, dia bisa kembali pada orang tuanya, atau justru berakhir semakin parah?

Namun jelas, pilihannya tak mungkin dia berdiam diri di tempat itu, di mana Richard bisa saja menjualnya pada lelaki hidung belang setiap saat.

Setelah melalui pemikiran panjang lagi matang, kini Maria mengangkat kepala. Membulatkan tekad dalam memilih.

"Baiklah, aku bersedia." Tidak ada jalan untuk kembali di dunia ini. Yang dijanjikan Tuhan adalah melangkah maju, agar tidak terjebak dalam rotasi yang sama.

"Pilihan yang bijak." Mark tersenyum menyeringai. Seolah rencananya telah berhasil.

Mark berdiri, merapikan jasnya yang kusut. Lantas memasukan kedua tangan kedalam saku celana. Lalu ia pun berkata, "Jadilah pelayanku, maka aku akan menjamin hidupmu."

Mata Maria membeliak sempurnah. Pilihan yang baru saja diambil, seolah menghantarnya pada kegelapan. Harapannya perihal hidup normal dengan impiannya telah sirna seiring dengan tawaran Mark yang begitu misterius.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status