Synda semakin kehilangan konsentrasinya dalam bekerja karena durasi keberadaan di apartemen Alexander yang bertambah. Hampir dua jam lamanya. Hanya sendirian.
Entah kapan dirinya bisa pergi, belum dapat diprediksi dengan tepat, sebab harus menunggu mantan kekasihnya itu kembali ke apartemen terlebih dahulu. Belum pasti.
Synda pun merutuki kejengkelan dirinya yang sudah beri izin pria itu meninggalkan apartemen karena tidak ingin dekat lama-lama dengan Alexander. Namun, menjadi bumerang baginya juga. Tidak dipikirkannya secara matang.
Tak ada hal bisa dilakukan, selain menanti sampai sang mantan kekasih kembali. Harusnya, ia senang. Tentram dalam menyelesaikan tugasnya tanpa ada gangguan. Tetapi, justru konsentrasi semakin mengalami perpecahan di dalam kepala.
Penyebab utama karena kembali terbangunnya memori kebersamaan dengan Alexander yang pernah dilalui, ketika mereka masih menjadi pasangan kekasih. Terutama, tentang percintaan panas yang kerap dilakuk
"Hei,Dad. Maaf, aku terlambat datang.Dadtidak lama menungguku bukan di sini?"Synda melemparkan tatapan sangat tajam ke sosok saudara sulungnya yang baru saja membuka pintu ruang kerja ayah mereka. Reaksi diperoleh dari Barret hanya berupa senyum tidak bersalah. Dan, hal tersebut sukses membuat Synda semakin kesal."Tidak lama.Dadtahu alasanmu terlambat karena apa kali ini. Dad akan memahami.""Dadmemang sangat memahamiku. Dan, apakah Dad sudah mengatakan pada adikku tentang proyek yang harus ditanganinya?""Benarkah,Dad? Wow, berita sangat bagus. Trims, Dad.""SudahDadberi tahu. Proyek akan berjalan sesuai rencana.Dadyakin adikmu dapat menangani dengan baik. Jika kau tidak ingin dikalahkan. Kau juga harus bekerja keras."Synda langsung membalas tatapan Barret dengan senyuman bangga yang terkesan juga sedikit angkuh. Memang sengaja untuk diperlihatkan agar saudara sulungnya it
Alexander langsung keluar dari kamarnya karena mendengar bel apartemen berbunyi. Menandakan tamu-tamu yang ditunggunya sudah datang. Hampir satu jam menanti.Dilangkahkan kaki dengan santai, tak perlu membukakan pintu. Baik, Synda maupun Barret sudah mengetahui sandi apartemen. Ia hanya perlu menyambut mereka berdua di ruang tamu. Beberapa meter lagi dicapai.Alexander pun memasang senyuman lebar pada wajah. Memang terlihat seperti sebuah seringai. Akan dipamerkan nanti ke Synda. Ia sudah terbayang bagaimana reaksi wanita itu, ekspresi kesal dan delikan mata."Hai, Kawan. Aku datang sendiri."Alexander spontan lebih membelalak akibat tak melihat sosok mantan kekasihnya. "Kau sendiri? Di mana Synda? Apa yang terjadi?""Hahaha. Kau kaget sekali, Kawan."Alexander tidak menjawab. Memilih duduk di sofa. Namun, tak dipindahkan pandangan dari Barret yang mendekatinya. Ia akan menunggu jawaban tanpa harus bertanya lagi. Barret pasti akan buka
"Hmm, harus aku perjelas lagi.""Kau ingin memperjelas tentang apa?" tanya Synda dengan nada canggung. Kian tidak nyaman. Namun, tetap tersenyum lebar.Sikap yang dirasanya harus ditunjukkan di hadapan Maxel agar tak menimbulkan rasa curiga. Bagaimana pun, hubungan di antara mereka sebagai teman menjadi prioritas.Ya, terlepas dengan apa yang hendak pria itu sampaikan. Synda yakin akan menyangkut hal-hal lebih pribadi. Namun, belum mampu untuk diterka-terka. Lebih baik menunggu.Pergantian detik demi detik terasa lama juga bagi Synda dengan belumnya diungkap oleh Maxel keinginan pria itu. Ia semakin gugup. Kurang percaya diri bisa menjawab dengan tepat atau sesuai yang dikehendaki Maxel."Ada apa, Synda? Kau kenapa?"Digelengkan kepala secara cepat. "Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya se--""Aku suka kau, Synda. Aku mencintaimu."Maxel merasakan debaran jantungnya yang meningkat. Reaksi sangat wajar karena ia baru
"Kau pasti lelah, ya? Maaf, kau harus ke sini, setelah bekerja. Harusnya aku membujuk Barret, tapi kau sudah tahu sendiri dia keras kepala. Tidak akan bisa mendengarkan apa yang aku katakan atau saran aku berikan."Synda Sydney menggeleng pelan. Tawanya turut terlolos karena gaya bicara dari Aldora Adams yang lucu, kekasih hati sang kakak. Raut kesal wanita itu tampak jelas di wajah. Namun, Synda justru merasa terhibur."Tenang saja, Aldora. Aku tidak apa-apa ke sini," jawabnya dengan lembut. Senyuman yang lebar dipatrinya. "Aku bisa beristirahat nanti. Aku juga tidak terlalu lelah hari ini."Selepas menjawab, Synda sudah tidak lagi memusatkan pandangan pada sosok Aldora. Ia pun memandang kembali lurus ke depan. Sedangkan, kedua kakinya masih melangkah dengan anggun menuju ke teras belakang rumah mewah kakak sulung laki-lakinya.Tangan kanan dan kiri memegang dua buah kantong plastik yang berisi beberapa jenis makanan siap saji diminta Barret Sydney."Ada
"Kau sudah makan atau belum?"Synda menggeleng pelan. Namun, tak ingin memberi respons imbuhan lewat kata-kata untuk pertanyaan yang dilontarkan sang kakak. Synda yakin jika sudah bisa dipahami oleh saudara sulungnya itu, walau dirinya tak menjawab dengan jelas atau detail."Kenapa tidak cicipi ayam dan pasta, jika kau belum makan? Nanti kau bisa sakit. Dapat berpengaruh untukku juga. Pekerjaan akan dilimpahkan kepadaku, saat kau sakit."Synda memilih meneguk wine yang tersisa banyak di dalam gelasnya, dibandingkan ia harus meladeni Barret Sydney yang sedang mabuk. Ia bisa memaklumi jika sang kakak akan lebih banyak mengoceh, ketika sudah dipengaruhi oleh minuman beralkohol.Suasana hatinya juga tengah tak baik akibat harus berada di satu tempat dengan mantan kekasihnya. Benar, mereka masih duduk di teras belakang. Dirinya, sang kakak, Aldora, dan Alexander. Hanya berempat saja."Ayolah, Adikku. Kau harus makan. Apa kau tahu? Tubuhmu semakin kurus
"Aku bisa berjalan sendiri. Kepalaku tidak terlalu pusing. Jadi, kau tidak perlu jug--"Synda segera menangkap tubuh Alexander yang baru beberapa detik lalu dilepaskan dari pegangannya. Ia tidak ingin sampai pria itu terjatuh ke lantai. Walau, bukan masalah yang mudah juga menghadapi penolakan pria itu untuk diantarkan ke dalam kamar.Dirinya pun cukup keberatan. Namun, tidak mungkin mengingkari janji yang sudah ia buat pada Aldora Adams. Synda menepati apa yang sudah dikatakan. Dan, diabaikan status di antara dirinya dan Alexander."Lepaskan aku. Tadi, sudah aku bilang jika aku bisa ke dalam sendiri. Kau bisa pe--""Bisakah kau jangan terus bersikap seolah kau tetap kuat? Kau mabuk. Kau tidak akan bisa berjalan sendiri ke kamar dengan baik. Kau hanya perlu diam," potong Synda cepat."Jika kau terus menolak bantuanku. Paling kau akan sering terjatuh ke bawah dan kau pasti mencium lantai," imbuh wanita itu.Kemudian, dihelanya napas. Ia berupaya ta
Synda hanya dapat mengerjap-ngerjapkan mata sembari melakukan penarikan serta juga pembuangan napas beberapa kali. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Misalkan saja menggerakkan tubuhnya, terasa sangat mustahil. Walau, sudah pernah dicobanya.Dekapan Alexander terlalu kuat. Tidak ada celah baginya menunjukkan perlawanan. Berbaring di atas kasur bersama yang tentu membuat Syinda sangat merasa tak nyaman. Mereka berdua tidak memiliki jarak sama sekali memisahkan. Ia pun dapat merasakan napas halus dan teratur Alexander Dominiq yang sedang tertidur dengan nyenyaknya.Sudah hampir selama dua jam, tidak mampu Synda untuk melakukan perubahan posisi mereka. Pelukan pria itu belum berkurang. Masih kencang lengan-lengan kokok sang manta kekasih memerangkapkan tubuhnya.Synda lelah. Beragam cara telah berupaya ia lakukan. Namun, tak ada yang berhasil. Dan tidak ada pilihan lain lagi. Synda memilih menyerah. Membiarkan Alexander untuk memeluknya terus. Ia juga sudah mulai l
"Jadi, kau tidak ingat sama sekali apa yang sudah kalian lakukan kemarin malam di dalam kamar?" Barret bertanya dengan rasa ingin tahu yang semakin bertambah besar."Aku tidak ingat. Kau boleh percaya ataupun tidak jawabanku. Terserah padamu saja.""Aku tidak percaya. Walaupun, aku mabuk. Aku masih ingat bagaimana aku dan Aldora menghabiskan malam panas. Dia yang mengerang dengan suara seksi p--""Bisakah kau jangan menceritakan secara detail? Itu adalah privasi kita. Kau tidak bisa membukanya kepada orang lain, tanpa ada persetujuan dariku dahulu. Mengerti?"Barret mengangguk dengan gerakan santai dan memperlebar senyuman ke arah sang kekasih guna menanggapi permintaan dari wanita itu. Ia juga mengedipkan mata.Barret tak akan melakukan rayuan apa pun untuk menenangkan Aldora yang sedang kesal. Kekasihnya tak benar-benar marah. Dari raut wajah tampak jelas menunjukkan rasa malu. Ada semburat warna merah pada kedua pipi. Hanya suara Aldora saja yan