Saat Alana mencoba melupakan Alan, dirinya selalu dihantui dengan bayang-bayang Alan. Amigdalanya pun selalu mencoba mengingatkan setiap kenangan yang telah dia lakukan bersama pria itu.
Setelah kejadian itu, Alana memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan melanjutkan S2 di New York. Alana sadar bahwa dia tidak bisa terus-terusan hidup dengan menyalahkan diri sendiri dan merendahkan dirinya.
Selama beberapa minggu ini Alana memang hidup dengan diselimuti kesedihan dan kesalahan yang sangat besar. Dia seakan tidak percaya diri dengan dirinya, merasa rendah, dan juga merasa tidak pantas untuk dimiliki siapa pun setelah mendengarkan perkataan Alan dan persepsi Alan selama ini terhadap dirinya.
Bukan hanya perkataan Alan, perkataan Bagas pun seketika muncul di benaknya. Perkataan yang membuat Bagas pergi meninggalkannya.
Untuk saat ini, Alana sepertinya sudah cukup untuk mengasihani dirinya sendiri. Dia harus berubah dan melupakan masa lalunya bersama Alan. Bagaimana pun juga, dia harus melanjutkan pendidikan serta mimpinya.
I wish that I could wake up with amnesiaAnd forget about the stupid little thingsLike the way it felt to fall asleep next to youAnd the memories I never can escapeCause I'm not fine at all....
Alana berada di sebuah coffee shop yang terletak di rooftop dengan view-nya yang sangat menyejukkan, santai, nyaman, dan dapat melihat pemandangan langit dengan indah sembari mendengarkan lagu Amnesia - 5 Seconds of Summer. Tampaknya Coffee shop yang memiliki live music memang tempat yang selalu Alana kunjungi ketika dia sedang patah hati.
"Lo yakin mau ninggalin Jakarta?" Tanya Lily yang menyadarkan Alana dari lamunannya.
"Iyaaa." Jawab Alana sembari menggenggam cangkir yang berisikan caramel latte.
"Yah, terus lo resign dong?"
"Iya, Ly. Alana udah ngomong ke HR Manager dan udah urus resign beberapa hari yang lalu." Jawab Tasya yang memang satu kantor dengan Alana
"Lagian gue kan emang pengen ngelanjutin S2 juga, Ly." Sambung Alana.
"Iya gue tau. Tapi tahun depan, kan? Waktu itu lo bilang ke gue kalo lo mau ambil S2 tahun depan dan tahun ini lo nyari pengalaman kerja dulu."
Alana menghela napas dalam "Gue berubah pikiran."
"Emang Alan ngomong apa aja sih ke elu? Pasti salah satu alasannya karna dia." Tanya Tasya menatap Alana sinis.
"Ada deh. Intinya sih dia bilang gue gak pantes buat dia." Alana enggan menceritakan kata-kata Alan yang begitu menyakitkan kepada teman-temannya. Selain itu Alana juga merasa malu dengan semua kejadian ini karena dia sudah jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya
"Lagian dia memang bener sih. Gue cuma karyawan biasa. Gak setara dengan dia. Dia juga berhak kok untuk memilih pasangan hidup dia. Gue menghargai itu. Dia udah susah payah ngedapetin posisinya kaya sekarang, otomatis dia juga pasti cari pendamping yang gak malu-maluin kalo di bawa kemana-mana." Sambung Alana dengan senyum terpaksa.
"Tapi, Al. Lo kan gak malu-maluin, gue gak setuju sama lo. Lo punya kakak yang punya bisnis sampe ke luar negeri, punya orangtua yang berkecukupan. Terus, fisik lo juga menarik. Lo gak ada malu-malunya sama sekali. Udah deh, jangan insecure kaya gitu." Komentar Lily kesal.
Alana tertawa sinis mendengar komentar Lily "Yang sukses kan kakak gue, bukan gue. Dan, yang berkecukupan juga orangtua gue. Mungkin dia mikir gue gak pinter dan cuma ngandalin fisik doang."
"Yaudah sorry gue nanya tentang privasi lu. Yang penting lu baik-baik ya di New York, kalo bisa ntar cari cowonya yang bener disana." Ucap Tasya memberi saran.
"Kayanya untuk saat ini gue gak mau untuk kenal cowo dulu di hidup gue."
"Kenapa? Ya maksud gue biar lo lupa sama Alan, Al."
"Awalnya gue deketin Alan untuk ngelupain Bagas. Kalian inget, nggak? Tapi akhirnya berujung tragis." Alana tertawa sinis.
"i-iya sih. Gue yakin lo bakalan lupa sama Alan. Sama Bagas aja lo bisa lupa. Apalagi Alan yang baru kenal beberapa bulan."
"Gak tau kenapa... Kali ini gue lebih susah untuk lupain Alan daripada Bagas."
"What? Seriously? Why? Dia cuma kenal beberapa bulan sama lo, Al. Kenal dari aplikasi bahkan."
"Untuk ngerasain nyaman gak perlu kenal sampe bertahun-tahun, kan? Sial! Gue nyaman dengan orang yang salah." Ucap Alana sembari meneteskan air mata.
"Al gue minta maaf ya udah ngajarin lu pake aplikasi itu. Coba aja kalo gue gak ajarin. Pasti lu gak akan tenggelam untuk kedua kalinya." Ucap Tasya menyesal.
"Iya gapapa. Setidaknya kalo gue tenggelam gue masih bisa bernapas kok karna kalian." Alana memberikan sedikit candaan.
"Yeee malah becanda. Ya udah deh. Selesain kuliah lo disana biar bisa cepet balik ke Jakarta." Sambung Lily
"Iya doain gue lulus, ya. Gue udah daftar, sih. Sekarang gue harus urus administrasi dan hal lainnya disana."
"Iya kita doain. Lo pasti lulus, kok." Jawab Lily meyakinkan
"Oh iya, tadi ada Alan loh di kantor. Biasa dia bareng Pak Harsono." Ucap Tasya memberitahu Alana.
"Iya pasti lah. Perusahaan dia dan perusahaan kita--" Alana menghentikan perkataannya sejenak dan menyeruput caramel latte-nya "Maksud gue perusahaan lo dan mantan perusahaan gue kan emang lagi kerja sama bareng perusahaan dia." Jelas Alana kepada Tasya
***
tok... tok... tok...
Tasya yang sedang asiknya menonton drama korea sembari menangis dikejutkan dengan apartemennya yang di ketuk dari luar.
"Siapa sih pagi-pagi dateng kesini. Ganggu weekend dan me time gue banget!" Tasya pun bergegas membuka pintunya dengan mata yang sembab.
"Loh, kok---" Tasya terkejut melihat Alan yang berada di depan pintunya dan bertanya-tanya bagaimana bisa pria itu tahu alamat apartemennya "Kok Pak Alan ada disini? Ada apa, Pak?"
"Alana dimana?" Tanya Alan tanpa basa basi.
"Alana udah pergi." Tasya menjawab singkat dan sinis sembari melipat kedua tangannya dengan angkuh. Bagaimana pun juga, Alan menjadi penyebab mengapa sahabatnya pergi meninggalkan Jakarta.
"Pergi?" Alan menatap Tasya dengan penuh tanya.
"Iya. Dia pergi ke luar negeri. Mau lanjutin S2."
"Luar negeri mana?" Alan bertanya dengan nada marah sembari menggenggam tangannya.
"Santai dong, Pak. Udah ngeganggu marah-marah lagi." Cetus Tasya.
Tasya menoleh ke belakang dan melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat beberapa menit "Alana harusnya ada di Bandara sekarang. Dia berangkat satu jam lagi. Keberangkatan ke Singapore."
"Singapore?" Tanya Alan terkejut dengan membelalakkan matanya.
“Iya. Alana mau lanjutin S2 ke New York. But, she has to transit in Singapore first.” Jelas Tasya dengan tatapan sinisnya.
"Thanks. I'll be there." Jawab Alan singkat dan langsung bergegas menuju Bandara.
"Udah gitu doang? Yee, lu kira keburu apa. Paling lo nyampe Alana udah di pesawat." Teriak Tasya kepada Alan yang berlari di lorong apartemennya. Alan pun tak menghiraukan setiap cetusan yang di lontarkan oleh Tasya. Yang terpenting, dia bisa segera sampai menuju ke bandara.
Alan membuka aplikasi map di ponselnya menuju ke Bandara. Namun, estimasi menuju ke Bandara dengan menggunakan mobil lebih kurang memakan waktu selama satu jam setengah.
Alan keluar dari mobil, meninggalkan mobilnya di apartemen Tasya dan memesan ojek online agar bisa terhindar sebentar oleh macetnya Kota Jakarta dan juga lebih cepat sampai ke Bandara.
Empat puluh menit kemudian...
Alana bergegas masuk ke dalam pesawat. Pesawatnya akan berangkat sekitar lima belas menit lagi. Alana melihat di sekeliling Bandara. Dia menghela napas dalam. Masih tidak menyangka kepergian dan keputusannya ke New York dilakukan secara mendadak.
Sementara Alan, dia baru saja sampai di Bandara dengan menggunakan taksi yang di berhentikannya di jalan saat sudah terhindar dari macet.
Dia bertanya kepada satpam untuk memastikan gate penerbangan menuju Singapore dan langsung bergegas menuju kesana.
"Pak, bapak mau kemana?" Salah satu petugas bandara menghentikan langkah Alan yang ingin masuk ke dalam gate.
"Ini gate menuju Singapore, kan?" Tanya Alan memastikan.
"I-iya, Pak. Tapi, pesawatnya baru aja take off lima menit yang lalu." Petugas bandara pun menunjukkan jadwal yang tertera di sampingnya.
Jakarta - Singapore - Take Off
Alan sangat kecewa, tubuhnya merasa lelah. Dia sudah kehilangan Alana begitu saja. Penyesalan pun pada akhirnya menghantui dirinya yang sudah menyia-nyiakan Alana.
Alana tak pernah menyangka perkataan Alan yang di lontarkan kepadanya akan sampai membawa takdirnya menuju New York. Mungkin ekspektasi untuk sekedar menjadi pasangan di hidup Alan adalah ekspektasi yang sangat tinggi sehingga tak mampu untuk menggapainya. Alana berharap, keputusannya itu adalah keputusan yang terbaik yang di ambilnya sekaligus bisa melupakan Alan dengan mudah. Alana pun tiba di New York City, orang-orang mengenal kota ini dengan kota terpadat di dunia yang terletak di Pantai Timur Amerika atau East Coast. Memiliki julukan kota ‘mewah’ dengan ‘The Manhattan’-nya. Saat tiba di Bandara, Alana bergegas menghampiri Paula, kekasih kakaknya, yang sudah menyiapkan apartemen untuk Alana tinggal di New York. Alana memang wanita mandiri, sehingga orangtua dan kakaknya tak terlalu khawatir membiarkan Alana mengurus segala sesuatunya sendirian. "Alana?" Seorang wanita menghampiri Alana yang tampak sedang menunggu taksi.
Dua Tahun kemudian... Alana kembali ke Indonesia dengan menyandang gelarExecutive Coaching and Organizational Consultingdan juga menjadi wanita berpengaruh sekaligus terhadap wanita-wanita di Indonesia untuk mewujudkan mimpi. Hal ini di lakukannya untuk membuktikan kepada Bagas bahwa dia bukan wanita yang tidak memiliki perkembangan. Dia juga membuktikan kepada Alan bahwa dia bukan wanita murahan polos yang bisa di permainkan hanya untuk pelampiasan saja. Tekadnya yang ingin menjadi wanita terpandang dan tidak direndahkan akhirnya tercapai dengan hasil kerja kerasnya. Ya, Alana saat ini bekerja di perusahaan Ezra yang memang sudah di janjikan ketika Ezra sering berkunjung ke New York dulu. Selain itu, dikarenakan menjadi wanita berpengaruh, Alana pun terikat kontrak menjadi influencer/pemberi pengaruhdi salah satu agensiternama di Indonesia. Tak jarang, Alana seringkali mengikutiphotoshoot
Alana akhirnya kembali ke ruangmeetingbersama Ezra. Seketika Alan terkejut melihat Alana yang tiba-tiba sudah datang bersama Ezra dengan matanya yang sedikit sembab. "Ada yang ketinggalan?" Tanya Alan kepada Alana dengan lembut. "Nggak, Pak. Saya gak jadi ke kantor. Tadi manager saya tiba-tiba membatalkan photoshoot-nya." Ucap Alana datar dan Alan hanya membalas dengan senyuman. Alan pun menjelaskan kerjasama yang akan mereka lakukan selama satu bulan ke depan. Sementara Alana menunjukkan sikap profesional dan mendengarkan penjelasan kerjasama yang dilakukan oleh Alan. Setelah selesai menjelaskan kerja sama yang akan dilakukan, Sanjaya memanggil Ezra dari pintu ruangmeeting. "Al, aku keluar sebentar, ya." Ucap Ezra dan langsung bergegas dari duduknya meninggalkan Alana berdua bersama Alan di ruangan itu. Alan tampak sekali tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara kepada Alana saa
Alan berdiri di depanreceptionisthotel sembari berbincang bersama dengan pemilik hotel. Sementara Alana duduk dan menunggu dilobbyhotel dengan jarak yang tak jauh darireceptionist. Alan dan pemilik hotel terlihat menghampiri Alana "Hey, Al. Udah nih. Yuk." "Haloo Mbak Alana." Pemilik hotel mengulurkan tangannya kepada Alana dan Alana pun bergegas bangun dari sofa dan mengulurkan tangannya "Semoga betah ya dengan pelayanan hotel kami. Kalo ada saran, kami sangat menerimanya dengan senang hati. Dan, jangan lupa reviewya mbak di Anstagram kalo Mbak Alana suka dengan fasilitas hotelnya." Status Alana yang sudah dikenal banyak orang memang seringkali di manfaatkan setiap pengusaha untuk mempromosikan bisnis mereka. Alana membalas dengan senyum "Baik, Pak. Terima kasih. Oh ya, saya permisi dulu, mau istirahat." Ucap Alana ramah. "Baik, Mbak. Selamat istirahat Mbak Alana
Tepat pukul sebelas malam, Alan masih memindahkan laporan hasil kunjungan yang akan di presentasikannya ketika sampai di Jakarta. Sementara Alana sudah tertidur pulas di ranjang. Alan yang baru sadar Alana tertidur kemudian menatap dan menyelimutinya. Alan mendekatkan wajahnya ke wajah Alana. Dia mengusap kening Alana dengan raut wajah yang terlihat sangat menyesal karena pernah menyakiti Alana. "Harusnya aku gak ngomong kata-kata yang sangat menyakitkan ke kamu, Al." Bisik Alan pelan sembari mengusap puncak kepalanya. "Andai aja aku masih punya waktu. Aku akan bahagiain kamu dan gak akan pernah nyakitin kamu lagi." Sambungnya Alan melihat ponsel Alana yang tiba-tiba menyala. Ponselnya berisikan pemberitahuan pesanWazzAppdanreminderuntuk besok kembali ke Jakarta. Keegoisan serta keinginan Alan yang masih ingin bersama Alana akhirnya membuat dia berniat untuk mematikan pemberitahuan yang ada
Seketika suasana hening menghampiri Alan dan Alana yang masih berada direstaurant. Alana tampak menikmati sejuknya suasana yang ada direstaurantitu, suasanaoutdooryang memberikan ketenangan dan jauh dari hiruk pikuk keramaian dan kebisingan. Lampu-lampu yang bergantungan di setiap sudut membuat tempat outdoor-nya diterangi dengan lampu redup yang memang cocok dengan suasana romantis. "Alan, sebelum kita balik ke hotel. Aku cuma mau kamu jangan pernah berharap apa pun ke aku. Tujuan hidup kita udah beda dan kita ketemu pun takdirnya hanya sebatas teman atau rekan kerja aja." Ucap Alana menjelaskan kepada Alan saat pria itu tertangkap tengah memerhatikan wajah Alana. "Aku memang gak bisa dapetin satu kali kesempatan dari kamu, Al?" Tanya Alan dengan tatapan memohon. "Kita gak akan bisa sama-sama lagi, Alan. Aku gak akan bisa menjalin hubungan dengan orang yang udah nyakitin aku."
Alana tersenyum dan wajahnya tampak bahagia sekali melihat tulisan Alan. Dia langsung membaringkan dirinya di atas sofa dan mengabaikan lantainya yang masih berserakan itu. "Aku udah terima nih kopinya. Thanks, ya." -Alana "Sama-sama, Al. Semoga kamu suka." -Alan "By the way, kamu minta baristanya nulis di note?" -Alana "Iya, Al. Untung aja baik ya." -Alan "Kalo aku jadi baristanya mah aku gak mau." -Alana "Yee, aku kasi tips kali." -Alan "Bodo amat." -Alana Mereka berdua tampaknya sudah mulai terbiasa memberikan candaan di setiap pesannya. Alana pun sepertinya sudah mulai nyaman membalas pesan kepada Alan. Namun lagi-lagi egonya mengatakan dia tidak bisa terus-terusan nyaman mendengarkan kata-kata Alan. Bagaimana pun juga, Alan sudah merendahkan dirinya. *** Sudah beberapa hari setelah kepulangan mereka dari Yogyakarta
Alan menghadiri acaraanniversaryyang diadakan oleh perusahaan Ezra di salah satuBallroomhotel yang berada di Jakarta Pusat. Acara tersebut tampak di hadiri oleh beberapa kalangan seperti Pengacara, Psikolog, Dokter, hingga Pengusaha. LuasnyaBallroomyang berada di hotel itu membuat Alan susah payah mencari wujud Alana. Matanya selalu memandang di setiap sudut ruangan. Langkah Alan terhenti melihat Alana yang tampak tengah duduk dengan seorang pria di sebuah meja yang berada di tengah ruangan. Alan pun terlihat cemburu melihat Alana dan pria yang memakai jas hitam itu berbincang bersama. Namun sepertinya pria itu mungkin hanya rekan kerja. Lagi pula, pekerjaan Alana memang memiliki banyak koneksi pikirnya. Alan pun langsung di hampiri oleh Sanjaya dan Lita untuk duduk di salah satu meja yang berada berseberangan dengan meja Alana. "Halo, Alan." Sapa Lita kepada Alan yang sedari