Share

Chapter 9 - Hormon Cinta

Alan pulang berbondong-bondong membawa beberapa groceries yang sudah penuh di kedua tangannya. Alana langsung menghampiri Alan dan mengambil groceries tersebut dari tangan pria itu.

Wajah Alan terlihat begitu lelah. Alana dengan sikap keibuannya langsung mengambil air mineral dan memberikannya kepada Alan. 

Saat Alan dan Alana sedang duduk di sofa bersama, Alana memutuskan untuk mengatakan kepada Alan bahwa dia ingin menjalani hubungan yang serius bersamanya.

"Alan, aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Ucap Alana dengan menatap Alan yang berada di samping kirinya.

"Iyaaa Al. ngomong aja." Jawab Alan sembari tersenyum.

"Hmm--" Alana sepertinya tampak ragu mengutarakan kalimat yang akan dia katakan "Kita kan udah tinggal di apartment bareng selama satu bulan ini. Sementara kita masih belum ada hubungan apa-apa. Di samping itu, kita malah udah berhubungan terlalu jauh." Alana menghela napas

"Aku-- hmm-- Aku mau kita punya komitmen dan pacaran. Bukan hanya sebatas teman atau sekedar friends with benefit." Tegas Alana.

"Kamu sadar sama omongan kamu?" Alan meninggikan suaranya dan terlihat raut wajah Alan berubah drastis setelah Alana menghujaninya dengan harapan dan keinginannya menjalin hubungan yang serius dengan Alan.

"Maksudnya? Bukannya kita udah saling nyaman satu sama lain?" Tanya Alana bingung.

"Kamu harusnya ngerti dong kalo aku masih gak bisa lupain Fina." Ucap Alan dan bergegas berdiri dari sofa

Alana pun ikut berdiri dari sofa dan menegaskan kalimatnya. Seakan tak terima dengan penolakan Alan. Lagipula, siapa yang ingin ditolak jika dari awal sudah di berikan harapan dan juga berhubungan terlalu jauh.

"Tapi yang selama ini ada buat kamu itu aku, Alan. Bukan mantan kamu." Tegas Alana.

"Oh-- gitu?" Alan mendekat dan menatap Alana "Kalau pun aku harus lupain Fina, aku akan milih pengganti yang lebih baik dari dia. Pastinya itu bukan kamu, Al. Karna kamu gak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia. Apalagi, aku belum terlalu mengenal kamu, bisa aja kamu udah tidur dengan beberapa lelaki. Tidur sama aku aja kamu gampang! Anggap aja sekarang kita hanya senang-senang sesaat aja. Aku gak akan mau terjebak dengan kamu. Jadi, gak ada istilah komitmen diantara kita!"

Alana merasa sangat perih sekali mendengar setiap perkataan yang terlontar dari mulut Alan. Rasanya seperti tersayat dan teriris secara perlahan

"Ohh--" Ucap Alana dengan susah payah menelan ludahnya. Berusaha memberikan senyum walau pahit "Iya kamu bener banget, Alan. Harusnya aku sadar aku siapa. Aku sama sekali gak pantes untuk kamu. Aku itu cuma wanita biasa yang gak sepantaran dengan Fina atau pun wanita lainnya." 

Alana menghela napas, berusaha menahan tangis "Aku salah banget udah mengemis sama kamu. Kamu lupain aja apa yang udah aku omongin barusan. Kamu tenang aja, kamu gak akan terjebak sama aku, kok." Ucap Alana dengan lembut.

Alana pun melangkah mundur dengan perlahan untuk keluar dari apartemen itu "Semoga kamu mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari Fina, ya, Alan. Terima kasih udah mau kenal dengan aku. Aku pastikan kamu gak akan terjebak dengan aku. Good Bye." Alana tidak dapat menahan air matanya. Dia langsung meninggalkan apartemen dan meninggalkan Alan yang masih belum sempat menjawab pernyataan Alana.

Alana bergegas menuju ke salah satu toilet yang ada di gedung apartemennya. Dia memblokir semua kontak Alan sembari menangis tersedu-sedu.

Selama ini Alan tidak menyadari kehadiran Alana dan sangat tidak pernah memandang setiap usahanya. Alana ternyata hanya terbuai dan berharap dengan setiap perkataan dan janji manis yang di berikan oleh Alan dulu.

Alana bergegas meninggalkan gedung apartemen, mengambil mobilnya, dan mencari tempat tinggal sementara di sebuah kos-kosan dekat kantornya.

Dia tidak peduli dengan barang-barang dan bahkan pakaiannya yang masih tertinggal di apartemen. Dia berniat tidak akan pernah kembali ke apartemen itu lagi walaupun untuk mengambil barang-barangnya.

***

Banyak yang mengatakan cinta itu menggunakan hati, bukan menggunakan otak. Namun dengan zaman yang sudah modern ini para pakar psikolog dan kedokteran menyebutkan cinta itu memiliki hormon yang berada di pusat area kenikmatan di dalam otak atau istilah lainnya ventral pallidum. Sebut saja namanya 'hormon cinta'.

Jika memang benar seseorang yang jatuh cinta menggunakan otak, lalu mengapa setiap orang yang jatuh cinta seringkali tak menggunakan akal dan pikirannya secara normal?

Hampir semua orang, termasuk Alana bertanya-tanya akan hal itu. Mengapa otaknya tak bisa berpikir secara normal ketika berhadapan dengan orang yang di cintainya? Baik itu Alan maupun Bagas.

Ternyata penyebabnya ada di 'hormon cinta' yang merupakan bagian aktif ketika seseorang mengalami candu. Dikombinasikan dengan peningkatan hormon dopamine yang menyebabkan halusinasi dan hormon serotonin yang lebih rendah daripada orang normal yang mengakibatkan seseorang kecanduan dengan kekasih idamannya. 

Akibat aktivitas hormon tersebut, orang yang jatuh cinta mengalami candu, halusinasi, tidak nafsu makan, dan insomnia. Apabila tidak mendapatkan balasan cinta, maka akan bertingkah sama seperti seorang pecandu yang kesakitan mencari-cari obatnya.

Untuk saat ini, hal itulah yang di rasakan Alana. Walaupun Alan sudah menyakitinya dan menghinanya seperti wanita murahan, Alana tetap tidak bisa membencinya.

Alana terkadang berteriak dan menangis sendiri seperti orang yang depresi karena ingin bersama Alan, obatnya. Alan yang sudah mengobati rasa sakitnya ketika di tinggal dengan Bagas. Namun dirinya tidak bisa mewujudkan itu karena obatnya sudah berkhianat dan malah memberinya efek samping sakit yang lebih parah.

Dia membutuhkan Alan, sangat membutuhkannya. Tetapi bagaimana pun juga, Alana harus bisa melupakan Alan setidaknya.

Sudah hampir dua minggu berturut-turut Alana terpuruk dan menangis di kamar kosnya. Dia masih saja tidak menyangka perkataan Alan yang dilontarkan kepadanya begitu menyakitkan.

"Apa selama ini Alan menganggap aku wanita murahan yang bisa di pake gitu aja?" Tanya Alana dalam hati

Otaknya terus memutar dan bertanya-tanya apa yang salah dengannya dan mengapa Alan bersikap seperti ini kepadanya setelah melontarkan setiap harapan dan perkataan manis kepada Alana.

***

Sementara Alan, selama hampir dua minggu ini, dia menyesali setiap perkataannya yang menyakiti Alana. Dia memejamkan matanya sekilas dan tiba-tiba mendapati bayangan Alana yang tengah berada di sampingnya. Sesekali dia merindukan Alana yang sangat suka mengusap puncak kepala Alan.

Alan merasa harus mencari Alana saat ini. Dia harus meminta maaf kepada Alana. Satu-satunya wanita yang sudah tulus kepadanya.

Alan mengambil kunci mobilnya yang berada di meja ruang tamu. Seketika, Alan melihat catur dan ludo yang sering dimainkannya oleh Alana.

Alan memandangi permainan itu dengan tatapan nanar. Mengingat setiap tingkah konyol Alana ketika bermain.

Alan menghela napas dan wajahnya pun terlihat murung "Aku akan bawa kamu kesini lagi, Al." Bisiknya dan langsung bergegas mencari Alana.

Alan memutuskan untuk mencari Alana ke apartemen lamanya. Sayangnya, Alana tidak kembali kesana.

"Pak, apartemen ini dulu yang punya Alana Wijaya, ya?" Tanya Alan ke salah satu satpam yang berada di sekitar lantai enam.

"Iya benar, Pak. Kenapa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?"

"Sekarang dia tinggal dimana, Pak?"

"Wah saya kurang tau, Pak. Semenjak pindah, Bu Alana tidak pernah kembali ke apartemen ini lagi."

"Oh. Terima kasih, Pak." Ucap Alan dengan nada kecewa.

Terkadang seseorang seringkali mengabaikan orang yang peduli dengannya, Mereka lebih memilih untuk mengabaikan hal yang sebenarnya sudah ada di dekatnya. Namun, dia terlambat menyadari hal itu. Hingga suatu ketika seseorang itu pergi, dia menjadi tak berdaya dan bersusah payah mencari sumber kenyamanannya.

Alan merasa menjadi orang yang sangat bodoh dan menyesal telah melepaskan Alana. Seseorang yang mendengarkan, mengerti, dan ikut membantunya untuk meringankan beban ketika dia memiliki banyak masalah dan deadline pekerjaan. Berbeda dengan Fina yang seringkali hanya menuntut Alan dan jarang sekali meringankan beban yang ditanggungnya. Kini Alan sadar betapa dia membutuhkan Alana saat ini.

Ketika Alan keluar dari apartemen Alana, jalanan terlihat basah sehabis hujan. Momen ini mengingatkannya pada Alana yang sangat senang melihat hujan.

Beberapa waktu lalu di coffee shop tiba-tiba hujan membasahi kota Jakarta

"Al, hujan. Kita pindah yuk ke dalam."

"Nggak. Aku mau di sini. Kamu tau gak sih hujan ini ingetin aku dengan masa kecil aku. Aku sama temen kecil aku pasti seneng banget main hujan."

"Semua anak kecil memang seneng main hujan, Al. Pindah yuk."

"Kamu mau gak main hujan bareng sama aku?"

"Jangan aneh-aneh, Alana. Ntar sakit loh."

Suara klakson menyadarkan Alan dari lamunannya. Dia tampak sedang berdiri di tengah jalan parkiran seperti orang depresi.

"Maaf, Pak." Ucap Alan kepada seseorang yang wajahnya tampak kesal melihat Alan yang berdiri sesuka hati di jalanan. Alan pun bergegas masuk ke dalam mobilnya, dia memacu mobil dengan kecepatan tinggi dengan kembali mencari Alana sembari menghubungi Harsono.

Sayangnya, Harsono tidak bisa di hubungi dan Alan tidak tahu harus mencari Alana kemana lagi. Sementara dia tidak kenal dengan Tasya dan Lily, sahabatnya Alana.

***

Alan mengundur jadwal meeting-nya bersama klien menjadi pukul satu siang. Pagi ini, dia bergegas menuju ke kantor Alana. Sudah pasti Alana berada di sana.

Saat Alan berada di kantor Alana, Alan melihat mejanya kosong. Dia pun langsung bergegas menemui Tasya yang tampaknya sedang sibuk dengan beberapa file di mejanya.

"Loh, Pak Alan kenapa ada di sini? Bukannya hari ini kita gak ada meeting?" Langkah Alan terhenti saat dia mendengar suara Harsono menyapanya dari belakang. 

Alan pun memutar balikkan badannya "Oh. Saya mau cari Alana, Pak. Alana Wijaya."

"Oh, karyawan baru itu?" Tanya Harsono memastikan dan Alan pun menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

"Dia sudah resign tiga hari yang lalu. Sayang banget, ya. Padahal perkembangan karirnya lumayan bagus disini." Jawab Harsono sembari menghela napas.

Alan terkejut dengan susah payah menelan ludahnya. Bagaimana bisa Alana keluar dari pekerjaannya secepat itu? Dan mengapa?

"Kira-kira Bapak tau dia pindah kerja kemana?" Tanya Alan penasaran.

"Wah, saya kurang tau, sih. Yang tau bagian HR kalo soal itu. Emang kenapa, Pak? Pak Alan kenal dengan Alana karyawan baru itu?"

"Oh. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Terima kasih atas infonya." Alan bergegas pergi dan tak menjawab pertanyaan Harsono.

"Loh, kok malah pergi?" Hadeh ada-ada saja." Ucap Harsono keheranan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mrs. E
Alan knp egois bgt siii.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status