Share

JSO 6

Damar semakin kencang melajukan motornya. Ratih ketakutan, ia meremas jaket kulit Damar. Dalam hatinya berdoa, bermacam-macam doa ia panjatkan. Sampai akhirnya motor Damar berhenti di sebuah Klinik di pinggiran kota Yogyakarta.

Ratih gemetar, ia turun dari motor lalu jongkok sambil mendekap kaki. Ratih menangis, ia benar-benar ketakutan.

“Kumohon, kasihani aku. Aku masih punya dua anak yang harus aku hidupi. Tolong jangan sakiti aku!“ ucap Ratih gemetar, wajahnya menunduk, ia takut melihat Damar.

Damar ikut jongkok di depan Ratih. Ia menyentuh bahu Ratih, tetapi tangan Ratih menepisnya dengan cepat.

“Aku tidak akan menyakitimu, Ratih. Lihatlah! Aku membawamu ke klinik. Kita periksakan kakimu. Kakimu bisa infeksi kalau tidak dirawat.“

Ratih mengusap airmata lalu mendongak. Benar, ia membaca papan besar sebuah klinik kesehatan.

“Kenapa harus sejauh ini? Kamu benar nggak akan macam-macam, 'kan?“ tanya Ratih. Ia berdiri, lalu mengedarkan pandang.

“Memangnya tampangku seperti penjahat?“ Damar balik bertanya. Ratih menggeleng.

“Kalau kamu berdiri di dekatku, aku seperti pembantumu,“ ucap Ratih yang langsung membuat Damar terkekeh.

“Baik, aku akan berdiri di belakangmu, biar aku kayak body guard kamu.“

“Mana ada yang percaya aku punya body guard? Yang ada, orang ngira aku pelayan kamu.“

“Hahaha, sudah sudah, ayo masuk! Biar nanti pulangnya nggak kemaleman. Kasihan Rea dan Kinar hanya berdua di rumah,“ seru Damar. Membuat Ratih segera menyeret kakinya masuk ke dalam klinik.

“Hey, Damar! Apa kabar?“ sapa Dokter klinik itu. Dokter itu adalah teman Damar saat masih kuliah di Universitas Gajah Mada. Mereka beda fakultas, tetapi tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa. Mereka aktivis kampus yang digilai banyak wanita. Tampan dan cerdas.

“Baik, Sal. Kamu gimana?“

“Tentu baik. Kalau aku sakit siapa yang periksa orang sakit,“ sahut Dokter Faisal yang membuat keduanya tertawa. “Oiya, ini siapa?“ Dokter Faisal menunjuk Ratih yang berdiri di belakang Damar.

“Namanya Ratih, dia ... ehm, kakinya terluka. Tolong kamu obati, bisa 'kan?“

“Tapi nggak gratis 'kan?“ tanya Dokter Faisal cepat. Damar meninju lengan Dokter Faisal. Mereka berdua kembali tertawa.

Dokter Faisal menyuruhku berbaring di ranjang pasien. Ia mulai memeriksa, tidak lama, kepalanya menggelang pelan.

“Aku suntik, ya! Lukanya kotor, aku takut bisa kena infeksi.“ Dokter Faisal mengambil obat dan jarum suntik, lalu menyuntikku. Aku hanya menurut.

“Sudah, Sal? Bagaimana lukanya?“ tanya Damar.

“Sudah aku suntik. Nanti aku kasih obat untuk mencegah infeksi. Jangan kena air dulu ya, Mbak! Kalau mau mandi dibungkus plastik saja biar nggak kena air.“

Ratih mengangguk tanda mengerti. Ia tidak menyangka kalau lukanya bisa sebahaya itu.

“Baiklah, aku pulang dulu. Terima kasih atas bantuannya. Nanti kutransfer.“

“Oke, tapi, kapan-kapan kita harus ngopi bareng. Mumpung kamu cuti 'kan?“

“Kamu atur saja!“

Akhirnya mereka berpelukan sebentar. Mengucapkan salam, lalu Damar mengajak Ratih pergi.

“Sudah hampir Maghrib. Aku harus pulang,“ ucap Ratih.

“Iya, aku akan mengantarmu pulang.“

“Nggak usah sampai rumah!“

“Kenapa?“

“Aku nggak mau anak-anak bertanya siapa kamu. Sekarang kita sudah ketemu, 'kan? Kalau memang ini menjadi pertemuan terakhir kita, aku mau mengucapkan terima kasih. Kamu nggak usah khawatir. Hutangku pasti kubayar, ditambah untuk periksa hari ini.“

“Kenapa kamu ngomong seperti itu? Aku nggak suka! Siapa yang menagih hutangmu? Dan siapa bilang itu hutang?“

“Aku, aku yang meminjam uang darimu. Jadi aku harus membayarnya.“

“Sudahlah, ayo kuantar pulang!“

Damar melajukan motornya menembus kota Yogyakarta yang mulai gelap. Gerimis pun mulai turun. Damar menawarkan kepada Ratih untuk berteduh, tetapi Ratih menolak. Ratih ingin segera sampai ke rumah agar tidak membuat kedua anaknya cemas.

Ratih minta diturunkan di pasar. Ia tak mau ada orang yang melihat ia berboncengan dengan laki-laki yang bukan saudaranya. Damar menuruti Ratih. Damar memanggil taksi, lalu memberikan uang lebih kepada sopir taksi itu.

“Aku naik ojek saja,“ tolak Ratih saat tahu Damar sudah memanggil taksi yang ada di pasar.

“Sudah kubayar, naiklah! Kasihan anak-anak menunggu di rumah. Gerimisnya juga bertambah deras. Kalau naik ojek, nanti kamu basah.“

Teringat pada Rea dan Kinar, Ratih pun menurut. Ia segera masuk ke taksi itu. Saat taksi sudah berjalan beberapa puluh meter. Ratih menoleh, tetapi Damar sudah tidak ada di tempat terakhir mereka berdiri.

Ratih mengusap dada. Segala rasa takut dan kecemasan sirna seketika.

“Bosnya baik, ya, Mbak. Saya dikasih uang banyak,“ ucap sopir taksi itu kepada Ratih. Ia melirik Ratih dari kaca spion.

“Bos?“ lirih Ratih. Namun, terdengar oleh sopir taksi itu.

“Itu Bosnya, Mbak, 'kan?“

“Eh, iya. Dia majikan saya. Dia memang baik.“

“Iya, baik banget, saya dikasih 500 ribu hanya untuk nganter Mbak ini. Padahal tarif sampai rumah Mbak hanya lima puluh ribu saja.“

Ratih melongo mendengar ucapan sopir taksi itu. 500.000 hanya untuk membayar taksi? Gaji ratih satu minggu saja tidak sebanyak itu, tetapi kenapa dengan mudah Damar memberikan uang itu hanya untuk mengantarnya pulang. Padahal kalau naik ojek hanya sepuluh ribu rupiah. Ratih menepuk jidat, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

***

Ratih berhenti di halaman. Mendengar suara kendaraan, pintu rumah Ratih segera terbuka. Rea dan Kinar muncul hampir bersamaan.

“Ibuk dari mana saja? Kenapa jam segini baru pulang?“ tanya Kinar dengan mimik wajah menyimpan kecemasan.

“Ibuk ada urusan sedikit di luar. Kalian sudah makan?“ Mendengar itu, kinar dan Rea menggeleng bersamaan. “Baiklah, ayo kita makan!“

“Buk, Rea mau telor dadar dikasih daun bawang!“ seru Rea.

“Baiklah, malam ini kita makan telor dadar pakai daun bawang ditambah sambal tomat. Nah, sekarang ayo masuk! Kalian salat dulu, biar Ibuk yang masak.“

Ratih gegas ke dapur. Rea dan Kinar melakukan apa yang diperintahkan ibunya. Usai itu mereka menata meja makan. Ponsel Ratih tertinggal di atas meja makan. Sebuah pesan whatapp masuk dan sekilas terbaca oleh Kinar.

[Makan yang banyak, jangan lupa minum obatnya!] Pesan dari Damar membuat kedua netra Kinar membola.

Kinar duduk menjauh dari ponsel Ratih. Namun, pikirannya melayang kemana-mana. Wajah Kinar berubah murung tidak seceria seperti tadi--seperti saat Ratih pulang. Kinar berpikir bahwa Ibunya sudah memiliki orang lain, selain dirinya dan Rea.

“Sudah matang semua, ayo kita makan!“ ucap Ratih sambil meletakkan lauk di meja.

***

Kinar sedang bergelut dengan pikirannya sendiri, ia penasaran, tetapi belum punya keberanian untuk bertanya lebih jauh. Sementara itu, di luar rumah. Seorang yang mengendarai motor ninja berwarna merah hitam sedang mengawasi rumah Ratih.

Orang itu tak lain adalah Damar. Tanpa membuka helm ia terus mengawasi rumah itu. Rupanya, ia mengikuti taksi tadi dari jauh.

Damar merogoh ponsel, ia mengambil foto rumah Ratih yang sangat mungil.

“Tunggu tanggal mainnya, Ratih! Aku pasti kembali.“

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status