Share

Kemarau Di Ujung Senja
Kemarau Di Ujung Senja
Author: Serindu Mentari

Pagi Bersama Umi

Gus Iqbal

"le, yang daftar jadi santri di pesantren kita makin banyak ya?"

Umi menghampiriku yang tengah menikmati secangkir kopi moka yang panas.

Hari ini, sebenarnya aku menginginkan untuk meminum kopi hitam, hanya saja aku cari di dapur tidak ada. Dan di dapur, yang ada hanya kopi susu sama kopi moka dalam kemasan instan. Maka kupilih yang ada di dapur saja. Dari pada, tidak meminum kopi sama sekali.

Lantai tiga, bagaikan tempat bersantai paling nyaman. Angin seakan berembus dua kali lipat. Dan di sini, dapat pula menikmati pemandangan lautan biru kehijauan bersama pasir putih yang berjarak kurang lebih delapan hingga sepuluh kilo dari sini. 

 Meski sesaat di balik kediaman yang melambat. Dan waktu yang memang terasa berjarak. Panorama yang terlihat, seakan mengambil jenuh yang pernah berpijak. 

"Nggih e Umi, Kulo sampai kebingungan buatin data sebanyak itu. Apa perlu kita buat tarjet tetap di setiap tahun? Kalau kita, tidak membatasi jumlah santri bisa-bisa kita semakin banyak menerima santri setiap tahunnya."

Aku menghadap ke Umi, sambil menaruh secangkir kopi yang barusan aku seruput sedikit. Sementara Umi mulai menduduki bangku rotan yang berada tepat di utara sofa. Dan Umi menatapku dengan wajah yang menujukan penuh tanya.

Mungkin Umi juga memikirkan sama halnya denganku, memikirkan para santri.

"Le, ya memang benar kalau memang sameannya mutusin itu, tapi kalau kita ngasih tarjet, bagaimana dengan para orang tua yang sudah jauh-jauh ke sini untuk memondokkan anaknya bila tidak keterima? Malah kecewa nanti, jadinya."

Aku tersenyum tipis sejenak.

Umi ada benarnya memang. Tidak salah.

"Umi ... teknologi dunia sekarang semakin canggih, kulo hanya perlu menginformasikan melalu media sosial. Mengumumkan pula kriteria dan aspek-aspek yang harus dipenuhi santri. Bukankah banyak santri luar kota datang ke sini, melalui informasi yang kulo buat di media sosial? Sebelum kakek buyut wafat dulu, pernah berpesan. Kalau kita harus menjaga pondok pesantren untuk tetap berkembang, namun kakek buyut tidak menyuruh untuk mencari santri banyak, melainkan santri yang bisa kita jaga dan kita lindungi itu sudah cukup sebagai kewajiban kita."

"Kalau samean mantapnya begitu, terus dan lanjutin saja. Umi sama Abahmu tetap dukung terus."

Belakangan ini, Umi agak sakit-sakitan. Abah juga, tetapi kalau Abah sedikit lebih kuat dari Umi jadi tidak begitu terlalu.

Hampir setiap malam hari aku dengar, kalau Umi batuknya tiada henti. Kemarin periksa ke dokter, katanya Umi kecapekan. Mungkin sudah saatnya, aku menjaga Umi lebih maksimal. Karena Umi adalah malaikatku di dunia ini yang pertama sebelum Abahku. Menjaga Umi agar tetap sehat itu adalah kewajibanku, di samping aku juga yang harus menjaga Abah. Apalagi aku anak yang paling di eman.

"Le, nanti samean ngajar di Madrasah Diniah?"

"Nggih, Umi. Masa tidak mengajar!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status