Share

1. Kembali ke Indonesia

Cuaca siang ini sangat panas seakan mampu membakar habis lapisan bumi. Begitu juga mungkin gambaran hati seorang pria yang baru saja keluar dari pintu kedatangan penumpang pesawat asal Korea Selatan. Wajahnya tampan sebagaimana pria muda Korea yang saat ini sangat digandrungi.

Pria itu bertubuh jangkung, berkulit putih pucat, memakai kaos putih, luaran kemeja hitam dan jeans warna coklat, lengkap dengan kacamata berwarna senada dengan celananya dan tas kecil yang ia kenakan. Di sisinya terdapat sebuah koper berukuran jumbo yang ia seret dengan santai sembari berjalan keluar bandara.

Pria itu berhenti sejenak, melepas kacamata yang ia kenakan. Pandangannya menyapu area bandara dengan tatapan nanar.

"Gue benar-benar balik!" batin pria itu tak suka.

Ia menghela berat, mencoba menerima situasinya saat ini.

"Den Yejun?!"

Seseorang mengagetkan pria itu, matanya menatap datar dua pria paruh baya berseragam hitam yang berdiri di hadapannya. Memperhatikan dengan seksama penampilan mereka dari atas sampai bawah.

"Siapa?" tanya pria itu bingung.

"Ini Den Yejun, betul?" sahut bapak itu bertanya kembali.

Pria itu hanya mengangguk heran.

"Saya Mang Ujang, dan ini Parjo."

Bapak itu mengkodekan kepalanya ke teman di sampingnya.

"Kita disuruh Nyonya menjemput Aden," sambung bapak bernama Ujang itu.

"Ayo, Den! Mari ke mobil!" ajaknya mempersilahkan.

Pria bernama Yejun itu kembali menghela berat. Entah sudah berapa kali hari ini ia melakukannya. Ia mengangguk saja menyetujui ucapan bapak itu. Kopernya sudah di bawa lebih dulu oleh Mang Parjo.

Yejun berjalan mengikuti Mang Ujang yang memandu jalan di depannya. Berhenti di samping sedan hitam yang pintunya sudah terbuka sejak tadi, pria itu masuk ke sana dengan pasrah.

***

Yejun melihat-lihat keluar jendela, memperhatikan keadaan kota yang sudah 6 tahun ia tinggalkan. Ia menatap datar dan dingin, menyilangkan kedua tangannya di bawah dada.

Kendaraan yang lalu-lalang, beberapa rumah, ruko dan bangunan yang menjulang tinggi menjadi pemandangan yang bisa ia tangkap saat ini.

Sudah cukup. Yejun memejamkan mata menghentikan nostalgia singkatnya dengan kota ini.

"Maaf, Den! Nyonya bilang dia nggak bisa jemput Aden langsung, katanya ada rapat mendadak dengan klien penting," tutur Mang Ujang menyampaikan.

"Baguslah!" decak Yejun dingin tanpa membuka matanya.

Mang Ujang hanya mendengarkan, ia mengerti sepertinya anak ini sedang kesal tak ingin diganggu, mungkin karena lelah, ia membiarkannya beristirahat selama perjalanan.

Tanpa membuka matanya, Yejun meraba ke kantong celananya, mengambil ponsel dan earphone di sana. Yejun membuka matanya, memasang earphone itu pada ponselnya dan menekan layar ponsel mencari lagu kesukaannya yang sering ia dengarkan.

Satu-satunya lagu yang ada di pemutar musik dalam ponselnya, yang sejak pertama kali ia dengarkan, ia tak henti mendengarkannya sepanjang hari, karena lagu itu sangat menenangkan untuknya dan tepat mewakili perasaannya.

... Hamkke utgo hamkke ulgo

I dansunhan gamjeongdeuri

Naegen jeonbuyeonna bwa

Eonjejjeumilkka

Dasi geudael majuhandamyeon

Nuneul bogo malhallaeyo

Bogo sipeosseoyo...

(Still With You - Jungkook BTS)

(...Tertawa bersama dan menangis bersama

Semua perasaan yang sederhana ini

Sepertinya itu adalah segalanya bagiku

Kapankah hari itu akan tiba?

Saat aku kembali bertemu denganmu

Aku ingin melihat matamu dan memberi taumu

Aku merindukanmu...)

***

Sekitar 45 menit, mobil yang ditumpangi Yejun memasuki kompleks perumahan Pondok Indah, salah satu kawasan elit di Ibukota Jakarta. Mobilnya berhenti di depan sebuah rumah besar bercat putih dengan tanah yang entah berapa hektar luasnya.

Taman bunga yang luas di halaman depan, seperti melambai mengucapkan selamat datang kepada Yejun yang baru saja terbangun dari lelapnya. Ia benar-benar capek sampai tak menyadari perjalanan selama di mobil.

Pintu mobil dibuka dari luar, Yejun segera keluar dari sana, ia berdiri mematung beberapa saat menatap rumah di hadapannya intens. Yejun teringat kembali 6 tahun yang lalu, saat ia pergi meninggalkan rumah itu, ternyata tidak banyak yang berubah.

Mang Parjo sibuk menurunkan koper dari bagasi yang langsung diantar ke dalam rumah.

"Yejun-a...!" panggil seorang wanita paruh baya yang muncul dari dalam rumah.

Wanita itu tampak elegan dengan pakaian yang ia gunakan, sudah pasti ia Kirana Maheswara ibu kandung dari Yejun.

Yejun tak membalas panggilan Ibunya, ia malah memberikan tatapan dingin, membuang muka.

Kirana langsung merasa sedih dengan reaksi putra semata wayangnya itu, ia mencoba menghiraukannya dengan mengambangkan senyum yang paling tulus.

"Gimana kabar kamu, Nak?! Kamu sehat?"

"Mama kangen banget sama kamu Yejun!" seru Kirana tersenyum bahagia.

Kedua matanya mulai memburam dengan tetesan yang menggumpal, ia benar-benar sudah menantikan hari ini sejak lama.

Tangannya membentang sangat ingin memeluk putranya, "Boleh Mama peluk?" tanyanya penuh harap.

"Gue capek mau tidur," balas Yejun dingin seraya berjalan masuk ke dalam rumah, melewati Ibunya begitu saja.

"Tolong maafkan Mama, Yejun!" seru Kirana.

Yejun tersentak berhenti di depan pintu, ia mencoba mendengarkan apa yang akan dikatakan wanita itu kepadanya, ia tak berniat memutar badannya menghadap wanita itu.

"Maafkan Mama karena nggak bisa jemput kamu, Jun," sesal Kirana, ia pikir itulah penyebab putranya marah padanya.

Yejun mendengus kesal.

"Apa sih yang gue harapkan?" batinnya.

Lalu mengabaikan ucapan Ibunya, masuk ke dalam rumah.

Baru saja melangkah masuk, kakinya terhenti kembali melihat pria tua yang terduduk di atas kursi roda di dekat pintu. Ia masih bisa mengenali pria berumur itu, siapa lagi kalau bukan Kakeknya Mahendra yang dulu sangat ia puja dan hormati.

Mahendra menatap Yejun tajam.

"Yejun...!" panggil Mahendra kasar.

"Apa?" sahut Yejun dingin.

"Bisa lebih sopan ke Mama kamu?!" sindir Mahendra.

"Nggak!"

Geleng Yejun dengan nada santai, berlalu begitu saja menuju kamarnya.

"KAMU...!"

Mahendra tak mampu melanjutkan perkataannya, ia memegang dada kirinya kesakitan.

"PAPA...!" panggil Kirana berlari ke dalam rumah, menghampiri pria berumur itu.

"Sabar, Pa! Jangan emosi!"

Kirana mengelus-elus punggung Ayahnya.

"Coba tarik napas Papa dalam-dalam...."

"Keluarkan perlahan-lahan!" saran Kirana menenangkan pria itu.

Mahendra menurut saja perkataan putrinya, mengulang arahannya beberapa kali.

"Gimana, Pa? Udah baikan?" tanya Kirana mengecek.

Ayahnya mengangguk saja.

"Ya sudah, Rana antar Papa ke kamar."

"Papa jangan terlalu keras pada Yejun, dia mungkin cuma capek karena perjalanan jauh," tutur Kirana mencoba berbaik sangka sembari mendorong kursi roda Ayahnya menuju ke kamar.

***

Yejun membuka pintu kamarnya kasar, lalu mengunci pintu itu dari dalam. Ia segera membuang tubuhnya ke atas kasur, menghela berat menatap langit-langit yang kosong, ia benar-benar sangat lelah hari ini.

"Sial!"

"Gue nggak pernah sudi balik ke sini!"

"Gue benci Papa!" kesal Yejun dalam hati.

Yejun mengacak-acak rambutnya frustasi.

Drrrtt Drrrtt

Ponselnya bergetar, ia meraih tas kecil yang ia bawa, mengambil benda hitam itu di dalamnya. Ada 1 notifikasi pesan tertera di sana, ia segera membuka pesan itu. Tertulis nama pengirim,

Papa:

Udah sampai?

Yejun tersenyum miring, ia membanting keras ponselnya ke kasur. Yejun meletakkan satu tangan ke atas dahinya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

Dua menit kemudian,

Trriiingg Trriiingg

Suara panggilan masuk, membuat Yejun mau tak mau meraih kembali ponsel itu. Sesuai dugaan nama papa tertera di layar, Yejun tak menghiraukan panggilan itu, ia menyimpan ponselnya kembali.

Ponselnya berhenti berdering, tetapi detik selanjutnya benda itu berdering kembali membuat Yejun merasa kesal, ia yakin Papanya akan terus menelpon jika ia tidak menerima panggilannya, Yejun menggeser tanda hijau dengan malas.

"Halo, Yejun!"

"Kamu sudah sampai, Nak?"

"Hmm..." balas Yejun singkat.

"Sudah makan?"

Yejun tidak menjawab, keheningan terjadi beberapa saat.

"Yejun-a, gwaenchanha?"(artinya: Yejun, kamu baik-baik saja?)

Tanya lelaki di seberang sana hati-hati.

"Papa udah puas buang Yejun ke sini?" balas Yejun terdengar dingin.

Lee Dae Hyun terdiam sebentar, berusaha menyelami maksud putranya.

"Kamu masih marah sama Papa?"

"Menurut Papa?!"

"Yejun...maafkan Papa, Nak! Papa menyesal nggak bisa mempertahankan hak asuh kamu, Papa nggak bisa melihat bisnis Papa hancur begitu saja, Papa...."

"EGOIS!! Papa memang egois!!"

"Jangan pernah telpon Yejun lagi!!" teriak Yejun mengakhiri panggilan.

Napas Yejun memburu tak karuan menahan kekesalan.

Triiingg Triiingg

Ponsel kembali berbunyi.

Yejun berang, ia mengangkat lagi panggilan itu dengan kasar tanpa melihat siapa nama pemanggilnya.

"Apa lagi, Pa?! Yejun udah...!"

"Selamat siang, Pelanggan yang terhormat!"

Yejun langsung diam tidak melanjutkan kata-katanya, ia menjauhkan ponselnya dari telinga, mengecek nama di layar itu, hanya ada nomer tertera. Mampuslah! Ia salah orang.

"Halo...?"

Yejun mendekatkan kembali ponsel itu ke telinganya.

"Halo, Pelanggan?"

"Ya, Halo. Ada apa?" balas Yejun datar.

"Selamat kepada Pelanggan! Nomor Anda memenangkan undian berhadiah dari Telkomsel! Silahkan...."

Yejun kembali menjauhkan ponselnya dari telinga, ia memejamkan mata, kesal dengan penelpon di seberang sana.

Yejun tidak sedang dalam mood yang baik saat ini, kekesalannya sudah memuncak sejak tadi dan sekarang seseorang menelponnya hanya untuk melakukan penipuan?

"DASAR PENIPU LO!"

"NGGAK TAU DIRI!"

"LO MAKAN AJA SENDIRI HADIAHNYA!" teriak Yejun sekencang-kencangnya, mengeluarkan semua emosinya yang tertahan hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status