Mungkin malam ini Herman masih tertidur dan bermimpi di dalam kamar Lucifer yang hampir tak pernah ditiduri tiga tahun terakhir. Lain halnya Lucifer yang hampir tak pernah bermimpi tiga tahun terakhir. Tubuhnya yang terbaring dengan mata tertutup, nafasnya teratur seakan tidurnya teramat nyenyak bermimpikan surga yang tak tergapai, begitulah yang tampak jika hanya dilihat dari luar. Badannya hanya mengisyaratkan bahwa jiwanya masih hidup, masih berkelana dalam mimpi nyata di dimensi lain. Tak pernah tak mengeluh jika Lucifer ingin menyampaikan kejujurannya. Jiwanya terasa lelah, saat tertidur ia terbangun pada tubuhnya yang lain. Ia mungkin melupakan bagaimana nikmatnya terbangun setelah bermimpi sesuatu yang indah namun tak mampu ia ingat. Ia mungkin juga melupakan bagaimana rasa malas menyerbu di pagi hari, saat terbangun oleh omelan adik kecilnya yang kembali dari rumah Herman dengan rantang makanan buatan ibu Herman untuk mereka yang hanya tinggal berdua tanpa orang tua. Kebiasaan
“Ternyata cantik ya,” gumam Lucifer pelan menatap bulan penuh yang bersinar malam itu. Hutan malam itu terasa lebih nyaman meski sunyinya penuh oleh suara jangkrik dan suara hewan lain yang terdengar sesekali. Anak itu tampak tenang duduk sendiri di kursi panjang tersebut. Kakinya yang menggantung berayun pelan seolah menikmati ketenangannya sendiri. “Lucifer,” panggil ayahnya yang berdiri di ambang pintu rumah mereka. Wajahnya mengukirkan senyum saat anaknya menengok mendengar namanya dipanggil. Tak perlu aba-aba anak itu bergegas turun dari kursi tersebut dengan susah payah karena cukup tinggi dari pada panjang kakinya. Ia berlari kecil menghampiri ayahnya yang siap menyambut lompatan Luci dalam gendongannya. Dari dalam terdengar suara wanita yang sudah memanggil anak dan suaminya untuk makan malam bersama. Lucifer yang mendengar suara ibunya berteriak mengiyakan bahwa mereka akan segera datang.Bulan penuh memang cantik, namun bulan sabit memiliki pesonanya tersendiri. Lain halnya
“Anak-anak nakal!” teriak sebuah suara laki-laki yang cukup berat dari dalam menara suci. Sasha yang sudah berada di luar jendela, berdiri tepat di depan menara dengan wajah terheran-heran. Tak lama Sasha menengok ke belakang tempat si kembar masih berdiri mematung memandangi dirinya dari dalam kamar.“Ini bukan menaramu, Tayas.” Ucap Sasha dengan wajah menunjukkan kekesalan. Diana yang merasakan tatapan Sasha bergidik ngeri, badannya seolah menegang karena merasa takut. Diam-diam Diane bergeser perlahan menjaga jarak dari saudarinya seolah tak ingin terkena imbas.“Tentu saja, ini menaraku.” Suara yang sama lagi dari dalam menara. Sontak Sasha mengembalikan pandangannya pada pintu menara berwarna coklat mengkilap yang menjulang cukup tinggi di hadapannya. Dua sisi pintu tersebut terbuka secara perlahan, menampilkan apa yang terdapat dalam menara tersebut.“Oi, jangan seenaknya memanggil hanya karena kalian bisa melakukannya!” Seru seorang pria tinggi dengan jubah hitam yang tampak me
Malam itu hujan mampir beberapa saat membasahi jalanan kota Boras yang mulai menyepi. Hanya ada beberapa pejalan kaki dan petugas keamanan yang berkeliling. Si kembar Gillenhart dengan Ibunya tampak terduduk di lantai kamar Sasha beralaskan tikar merah muda. Pintu balkon yang tadi terbuka sudah tertutup untuk menghindari angin dingin memasuki ruangan. Tubuh Lucifer pun terbalut selimut yang lebih tebal dari sebelumnya. Sarah mendekati Lucifer yang terbaring dalam tidurnya, tangannya mengusap pelan surai hitam laki-laki itu. senyum simpul terulas dari wajah cantiknya yang menampilkan ketulusan seoranng ibu. Alih-alih peduli, si kembar lebih menunjukkan rasa tak nyamannya di dalam kamar itu. “Dia bisa bangun kapan saja.” Tayas menundukkan kepalanya dalam lututnya yang ia peluk. “Tinggal diam saja,” sahut Teyas yang berusaha tenang.“Aku rindu Sasha,” ucap Tayas dengan suara yang agak serak seolah menahan dirinya tak menangis terisak. Teyas hanya bisa melirik saudarinya dengan tatapan
Alam semesta dan tuhan adalah dua misteri yang sangat rumit untuk dibahas. Beberapa kepercayaan menjelaskan tuhan mereka dengan sangat terperinci, namun selalu ada titik kosong dimana celah dari keraguan atas kepercayaan tersebut. Alam semesta tidak hanya terdiri dari planet dan bintang ataupun lubang hitam yang juga masih menjadi misteri. Tuhan tidak hanya berupa sang penguasa tak berwujud yang hanya ada satu di semesta ini. Kehidupan dari planet lain, tuhan dari semesta lain, terlalu luas jika ingin merobeknya menjadi potongan kecil yang dapat dipahami. Dikisahkan seorang anak yang katanya keturunan langsung dari tuhan akan dilahirkan untuk melindungi suatu planet. Tentunya kisah tersebut hanya berdasarkan kepercayaan pada sebuah ramalan penyihir agung pada zamannya. Entah ada atau tidaknya bukti tentang ramalan tersebut, kekuatan suci sang penyihir agung saat itu dianggap hukum paling tinggi yang tak terbantahkan. “Bagaimana bisa tuhan hanya menciptakan satu a
Siang hari yang cerah di kota Boras. Kota cantik yang menjadi pusat pemerintahan Zois sekaligus kota terbesar di planet itu. Kesibukan setiap insannya yang terlihat menekuni pekerjaan mereka masing-masing seakan sebuah kesenangan bagi mereka. Saling bergurau yang diselingi tawa ditengah pekerjaan mungkin salah satu hal yang membuat pekerjaan itu menyenangkan. Terasa damai dan tentram. Brak! “Lucifer!” teriak seorang gadis setelah menendang pintu rumahnya. Kedamaian siang itu sepertinya tak berpengaruh di rumah yang satu ini. Anak laki-laki yang berdiri di belakang gadis itu hanya mampu menggeleng heran melihat kekuatan gadis itu menendang pintu. “Dia belum juga bangun bahkan saat Sungsang sudah hampir muncul.” gadis itu mengoceh memasuki rumah dengan rantang makanan merah muda di tangannya. Omelan gadis dua belas tahun itu sudah tidak bisa dibedakan lagi dengan omelan ibu rumah tangga pada umumnya. Sungsang sendiri adalah salah satu dari enam bintang utama yang berada paling dekat
Surganya Lucifer kini dalam keadaan tidak memungkinkan untuk dinikmati dalam jangka waktu dekat. Kasur kapuk itu kini sedang dijemur di atas tumpukan kayu di halaman belakang rumah mereka. Di sana juga terlihat jemuran kayu yang menjemur pakaian dua saudara yang tinggal di rumah itu. Lucifer tampak terduduk bersandar di bawah pohon tepat di samping rumah anjing yang tidak ada anjingnya. Manik-maniknya menatap sendu kasur di depannya, helaan nafasnya seolah ia mendapat cobaan yang teramat berat saat itu. Anak laki-laki itu mungkin akan menangis tersedu-sedu jika cobaan yang lebih berat datang padanya. Setelah makan siang bersama Sasha dan Herman, perut kenyang dan udara sejuk siang itu membuat Lucifer menguap karena rasa kantuk yang menghampirinya. Ia bisa saja meminta seorang hada untuk mengeringkan kasurnya, namun Sasha tidak akan tinggal diam. Bahkan ayah Herman pun tak ingin ikut campur dengan perselisihan anak-anak yang menakutkan seperti Sasha. ''Lucifer!'
📍Pusat Kota Boras “Malapetaka akan datang!” seru seorang pria kecil berwajah tua dengan penampilan menyedihkan. Pakaiannya kotor dan tampak tak layak pakai, tubuhnya penuh luka sayatan yang darahnya sudah mengering kecoklatan. Dengan suara nyaris serak ia berteriak lantang di jalanan kota. Aura seorang peri hada yang bertahan hidup tanpa guardiannya. Seorang bangsawan yang kini tak lebih dari seorang gelandangan. Begitulah pikiran para warga. Tak berapa lama ia menjadi tontonan warga, pria itu terjatuh tak sadarkan diri di tengah jalan. “Dia juga gagal,” ucap seorang gadis dari kejauhan. Dua gadis yang tampak seperti bocah berumur sepuluh tahun menatap kecewa tubuh pria tua yang kini sudah diangkat dengan tandu oleh pihak kesehatan. Mereka adalah Tayas dan Teyas yang sedang melakukan eksperimen dari buku sihir milik ayahnya. Buku tebal dengan sampul coklat yang tampak usang itu merangkum tentang berbagai hal yang telah Derry pelajari dari penyihir agung sebelum diri