Share

CHAPTER 3

Sudah tiga hari sekolah ramai dengan berita Alice berpacaran. Sebenarnya beritanya tidak akan seramai ini kalau Alice berpacaran dengan Jenan tapi karena Alice berpacaran dengan laki-laki selain Jenan berita ini jadi semakin panas. 

Bagaimana tidak, seluruh penjuru sekolah tahu kedekatan mereka berdua. Untuk disebut sebagai sahabat rasanya juga tidak wajar, mereka terlalu dekat. walaupun tidak ada konfirmasi dari Alice ataupun Jenan tapi tetap saja beritanya semakin menjadi karena Alice dituduh berselingkuh dari Jenan. Apalagi semenjak itu Jenan dan Alice tidak pernah lagi ke kantin berdua.

Untuk masalah kantin aku sudah mengecek sendiri. Tiga hari aku menunggu Jenan dikantin tapi kursi itu tetap kosong. Tidak ada Alice atau Jenan yang mengisi tempat itu. 

Dan sudah tiga hari juga ponselku ada di Jenan. Ini semua karena tragedi pingsanku itu, semuanya jadi serumit ini. 

Ditanganku sudah ada coklat. Aku berniat untuk meminta maaf dan  berterimakasih ke Jenan, aku juga akan meminta ponselku. Sebenarnya kalau disingkat, aku berusaha menyogok Jenan dengan coklat agar bisa mendapat ponselku kembali. 

Sekarang aku tinggal mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Jenan. Dari informasi yang kudapat, tentu saja sumbernya dari Irish. Semenjak tiga hari yang lalu Jenan suka nongkrong ditaman belakang sendirian.

Dan aku berencana untuk menghampirinya sendirian, iya sendirian. Karena aku sudah berusaha mengajak Irish tapi dia dengan tegas bilang tidak mau, sangat tidak setia kawan. 

Kulihat Jenan sedang duduk disalah satu kursi yang ada ditaman. Dia hanya melamun tapi tetap saja terlihat menyeramkan. Ah, semenjak Jenan menyinggungku soal stalking, dia kelihatan menyeramkan dimataku. 

Aku mengambil nafas lalu membuangnya pelan untuk menenangkan diriku. Tenang Ana, tenang oke, relax. Jenan bukan monster, dia manusia. Aku hanya tinggal bilang terima kasih, minta maaf dan meminta ponselku setelah itu semuanya selesai. 

Dengan perlahan aku menghampiri Jenan. Wah, aura dia benar-benar gila sih. Wajar saja hampir tidak ada yang berani menghampirinya. Apalagi rumor yang kudengar setelah berita Alice pacaran dengan laki-laki lain ada beberapa perempuan yang mencari kesempatan dengan mendekati Jenan, tapi semuanya ditolak mentah-mentah. 

Sepertinya dia sadar aku berjalan kearahnya karena matanya langsung melihat ke arahku.

"Hai," aku menyapa Jenan dengan canggung.

Jenan hanya mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya, "mau apa lo?". 

Aku meringis ngeri, astaga responnya saja sedingin ini. Tapi ini demi ponselku, aku harus berani. 

"Ini, buat kamu." Aku menyodorkan coklat yang kubawa ke arahnya. 

Jenan tidak langsung mengambil coklat yang kusodorkan untuknya, dia hanya melihat coklatnya sebentar lalu menatapku lagi. Aku berusaha sabar. 

"Ini aku kasih buat kamu sebagai ucapan terima kasih dan permintaan maafku, juga aku mau minta kamu untuk meng--,"

"Iya. Gue mau." Jenan secara tiba-tiba memotong ucapanku, dia juga langsung mengambil coklat yang kubawa.

"Hah?" 

"Iya. Gue mau jadi pacar lo." Jelas Jenan yang membuatku langsung kebingungan. Sebentar, ini maksudnya apa? 

Aku menatap Jenan dengan pandangan tidak mengerti sedangkan Jenan hanya membalasnya dengan tatapan datar.

Keadaan macam apa ini?!

"Ta..tapi bukan itu maksudnya.." Aku berusaha menjelaskan maksud ucapanku yang dia potong. 

Jenan malah berdecak, "nggak usah bertele-tele. Gue tau ko lo suka sama gue. Iya gue terima lo. Sekarang kita pacaran." 

Aku hanya bisa menganga mendengar ucapannya yang sangat percaya diri. Tidak kusangka seorang Jenan bisa bicara seperti ini. Ya... Walaupun benar aku menyukainya tapi kan maksudku bukan mau memintanya jadi pacarku. Aku cuma mau ponsel ku kembali. 

"Tapi Jenan, serius maksudnya bukan gitu.." aku masih berusaha menjelaskan dengan suara tercekik.

"Terus mau lo apa kesini?!" Tanya Jenan mulai ngegas.

Lah, ko dia malah marah-marah? Aku kan jadi takut, "aku mau minta ponselku." Pintaku dengan suara pelan. 

Jenan menatapku beberapa saat membuatku langsung bergidik ngeri karena tatapannya sangat tajam. 

Kulihat dia mengeluarkan handphoneku dari saku celananya, "ini?" Tanyanya. 

Tanpa basa-basi aku mengangguk, "aku mau minta handphoneku." 

"Lo suka sama gue?" 

Sebentar.. pertanyaan macam apa itu? Kenapa dia tiba-tiba bertanya soal itu? Padahal jelas-jelas tadi dia dengan percaya diri bilang kalau aku menyukainya. 

"Kamu kenapa nanya gitu?" Aku balik bertanya. Aku benar-benar bingung kenapa dia bertanya seperti itu, aku tidak paham apa tujuannya. 

"Lo suka sama gue, kan?" Jenan mengulang pertanyaannya, "ya, kan?" Dia terus menekanku untuk menjawab. 

Sial. Sepertinya ditinggal pacaran sama Alice membuat Jenan jadi gila. 

Aku harus jawab apa sekarang? Apa aku harus berbohong saja agar semuanya cepat selesai. Tapi kalau semisal dia tahu aku berbohong dan terus menekanku untuk jujur gimana? 

Apa... 

Mungkin ini jawaban Tuhan atas doa-doaku? Apa Tuhan sedang mengabulkan permintaanku? 

Iya! Benar! Tuhan sedang memberiku jalan untuk mengungkapkan perasaanku pada Jenan agar aku berhenti menyukai dia diam-diam. 

Aku menatap Jenan ragu-ragu.

Huftt.. aku berusaha meyakinkan diri. Ini kesempatanku, iya belum tentu ada kesempatan seperti ini lagi. 

"Iya, aku suka sama kamu. Aku bahkan suka sama kamu dari lama, tapi aku nggak berani bilang soalnya kamu pasti nolak aku." Ungkapku sejujur-jujurnya. 

"Oke, bagus." Sahutnya sambil menyodorkan handphone kearah ku. 

Baru saja aku mau mengambilnya, Jenan malah menariknya lagi dan bilang,

"kita pacaran hari ini."

Setelah itu dia benar-benar memberikan handphoneku dan langsung pergi dari taman meninggalkanku yang mematung karena terkejut. 

******

Sambil berlari aku buru-buru menghampiri Irish ke kelas. Aku bahkan mengabaikan beberapa sapaan dari anak kelas sebelah. 

"Rish!" Aku menepuk punggungnya. 

Irish mengumpat dan mengaduh kesakitan. Padahal aku merasa tidak menepuknya sekencang itu.

"Apa?!" Jawabnya sambil menatapku kesal. 

"Gue udah minta maaf ke Jenan." 

Wajah Irish langsung berubah yang tadinya terlihat kesal kini malah jadi antusias, "sumpah? Terus gimana?" Tanya nya, "eh, sini lo duduk biar enak ceritanya." Suruhnya. 

Aku langsung duduk. Aku juga meminum minuman Irish tanpa peduli pemiliknya melotot tidak terima. 

"Jangan pelit! Tar nggak gue ceritain nih." Ancamku yang langsung dihadiahi toyoran. 

"Jadi gimana? Ceritain cepet!" Tanya nya tidak sabaran. Aku memberinya kode dengan tanganku untuk sabar. 

"Tadi kan gue minta maaf ya sama bilang makasih. Tapi..." Aku menggantungkan kalimatku, membuat Irish menjadi kesal, "tapi dia malah bilang kalau dia mau jadi pacar gue." Sambungku. 

"Ha.. ha.. ha.. " Irish tertawa paksa, "gue udah serius taunya malah dengerin orang ngehalu." Ucapnya. 

Aku menatapnya tidak terima karena dibilang menghayal, "gue serius anjir!". Ku raih bahunya agar dia menatapku, "nih liat mata gue. Nggak ada tanda-tanda kebohongan kan?" Tanyaku. 

Irish menatap mataku, dia bahkan meneliti apakah aku berbohong atau tidak. 

"Lo serius An?" Tanyanya, "sumpah? Demi papah Zola yang cita-citanya gonta ganti?" Lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan bahuku. 

Aku mengangguk berkali-kali meyakinkan Irish, "demi papah Zola gue nggak boong." Ucapku sungguh-sungguh. 

Aku menjelaskan kejadian ditaman tadi sedetail-detailnya, dari awal aku menghampiri Jenan sampai aku mematung sendirian. Irish mendengarkanku dengan seksama. 

"Tapi ini terlalu nggak masuk akal An," respon Irish, aku mengangguk setuju. 

"Iya, gue juga mikir gitu. Tapi ini kesempatan gue kan mbul?" Tanyaku. 

Irish menatapku serius, "gue nggak maksud hancurin harapan lo. Tapi ini tuh aneh banget." Dia memegang tanganku, "gue tau lo sesuka apa sama dia, tapi An.. mungkin aja dia cuma bercanda?" Lanjutnya dengan nada tak yakin. 

"Kalau dia cuma bercanda, Jenan sakit jiwa gara-gara ditinggal Alice sih mbul." Jawabku dengan nada prihatin. Satu sekolahpun tahu bagaimana kakunya Jenan. 

Aku juga sebenarnya sadar sih kalau kejadian tadi itu benar-benar terasa ganjil. Tapi aku baru berpikir sejauh ini sekarang.

Jenan bilang mau jadi pacarku disaat perempuan yang notabenenya jauh lebih baik dariku berusaha mendekatinya. Aku dan Jenan juga tidak pernah saling sapa, bahkan aku sangsi kalau dia tahu namaku. 

Astaga.. kenapa aku baru kepikiran sekarang? Tadi aku kemana aja? 

Tentu saja sibuk ambyar, sahut batinku mengejek. 

"Apa jangan-jangan Jenan cuma mau jadiin gue pelampiasan doang kali ya?" Tanyaku. 

Irish menatapku prihatin, "kalo iya,  kenapa harus lo ya An? Padahal banyak yang lebih cantik."

Aku mengumpat walaupun juga membenarkan ucapan Irish. 

Sial. Aku jadi kepikiran kenapa Jenan dengan gampang mau jadi pacarku? Apa tujuannya?

Apa dia hanya iseng? Atau dia mau menjadikanku pelampiasan?

Atau... 

Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali. Itu tidak mungkin. Iya, itu sangat mustahil. Mana mungkin selama ini Jenan menyukaiku diam-diam dan menjadikan tragedi pingsan itu sebagai kesempatan untuk mendekatiku.

Astaga kewarasanku mulai hilang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status