Share

CHAPTER 5

Semalam Irish menelponku, dia benar-benar khawatir. Dia menanyakan keadaanku, dia bertanya apakah aku baik-baik saja? Apakah anggota tubuhku masih lengkap? Apakah aku masih hidup? Dia bertanya seolah-olah aku dibawa oleh monster, ya memang sih Jenan itu punya julukan monster tapi Jenan kan bukan monster sungguhan.

Aku bilang pada Irish kalau aku baik-baik saja cuman mungkin aku akan jadi mayat dalam waktu dekat. Irish langsung memarahiku dan bilang, "ngomong dijaga!". Benar-benar tidak tahu diri. 

Aku juga tidak memberitahu tentang perjanjianku pada Irish. Aku takut Irish marah dan langsung menghinaku. Walaupun iya, tapi aku tidak mau mendengar itu darinya. 

Kami telponan cukup lama bahkan sampai larut malam. 

Dan pagi ini aku menjalankan rutinitasku seperti biasa. Mandi, pakai seragam, dan sarapan buatan bik Inah.

Sampai akhirnya aku dibuat jantungan ketika membuka gerbang rumahku. 

Disana ada Jenan sedang duduk diatas motornya sambil meminum susu. 

Susu rasa strawberry.

Tapi ada yang menarik perhatianku, yaitu ada luka disudut bibirnya.  

"Ayok," Ajaknya. Jenan memberiku helm. Iya, helm kemarin. Helm putih milik Alice. 

"Kenapa nggak bilang kalo mau jemput?" Tanyaku. 

"Gue nggak punya nomor lo." Jawabnya tidak acuh.

"aku bukan gue." Ingatku.

"Maaf, belum terbiasa." Aku hanya mendengus pelan. 

"Masuk dulu." Titahku.

Jenan menatapku bingung,"mau apa?" Tanya nya.

"Yaudah kalo nggak mau masuk. Tunggu di sini sebentar." Aku langsung masuk kedalam rumahku tanpa melihat responnya lagi. 

Aku mencari kotak daruratku yang disimpan bik Inah dikamarku. Setelah ketemu aku berniat keluar rumah untuk menghampiri Jenan.

Tapi ketika diruang tamu aku melihat Jenan sedang berdiri sambil melihat-lihat foto keluargaku yang dipajang. 

"Jenan." Panggilku yang membuatnya sedikit terkejut, "duduk disini." Perintahku sambil menunjuk sofa. 

Dia tidak menjawab tapi langsung duduk disampingku. 

"Aku mau bersihin luka kamu. Gapapa?" Tanyaku meminta ijin. 

Jenan menatapku beberapa saat, membuatku sedikit gugup. Aku takut dianggap modus, ya walaupun ada niat itu sedikit sih, tapi sumpah aku hanya tidak nyaman melihat lukanya dibiarkan begitu. 

Jenan mengangguk. Dia juga mendekatkan mukanya kearahku. 

Waw. Jenan ganteng banget ya, batin bucinku menjerit di dalam karena melihat Jenan dari jarak dekat. 

Aku mulai membersihkan lukanya dengan alkohol. Membuat Jenan beberapa kali meringis kesakitan. 

Kupikir kalau orang menyeramkan seperti dia tidak akan merasa sakit kalau lukanya dibersihkan alkohol. Tapi Jenan masih mending sih cuma meringis kecil, kalau aku dulu sampai menangis kencang. 

"Sakit?" Tanyaku, terkesan bodoh sih. 

"Sedikit." 

Aku kembali membersihkan lukanya. 

"Itu papah kamu?" Dia menunjuk salah satu fotoku dengan Ayah. Itu foto ketika aku berulang tahun yang ketiga. 

"Iya. Itu ayahku." 

"Kalau itu siapa?" Tanyanya sambil menunjuk foto wanita yang menggunakan gaun putih sambil tersenyum. 

"Itu bunda." 

Dia diam sesaat. "Ayah dan bunda kamu kemana?" 

"Ayah kerja. Dia nahkoda jadi jarang pulang, kalau bundaa..." Aku menghela nafas, " bunda sudah tidak ada, dia meninggal ketika melahirkanku." 

"Maaf." Jenan menatapku dengan tatapan bersalah, "tapi bunda kamu cantik ya," pujinya. 

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Entah berinteraksi seperti ini dengan Jenan membuatku berpikir kalau dia tidak seburuk itu. 

Tinggal mengoleskan obat merah dilukanya dan, "sudah selesai." Ucapku sambil memasukan peralatan yang aku gunakan tadi ke dalam kotak darurat. Aku kembali ke kamar untuk menaruhnya. 

Ketika kembali ke ruang tengah aku melihat Jenan sudah berdiri menatap foto bundaku. Entah, tapi kulihat sorot matanya terlihat sendu. Ingin bertanya tapi aku takut dianggap lancang. 

Aku mendekatinya dan menepuk bahunya lembut, "mau berangkat sekarang?" Tanyaku. 

"Kamu benar-benar mirip bunda kamu," jawabnya tidak nyambung. Aku mengerutkan alis, bingung. 

"Hah?" 

Dia membelalakan matanya seperti terkejut sendiri. Dia buru-buru menggelengkan kepalanya, "tidak-tidak." Ucapnya agak gugup, "berangkat sekarang?" Tanyanya.

Aku mendecak pelan, "tadi aku udah tanya gitu ke kamu." Jawabku, "ayo, nanti telat." Lanjutku. 

Jenan dan aku berjalan keluar rumah. Kulihat ada pak Parman sedang memotong rumput di halaman dan tersenyum kearah kami. Aku membalas senyumannya sedangkan Jenan terlihat tidak peduli. 

Sampai didepan motor, Jenan kembali memberikan helm. Aku menerimanya, dan seperti biasa aku selalu merasa keberatan memakai helm ini karena terbayang-bayang wajah Alice. 

Jenan sudah menaiki motornya. Dan memberiku kode untuk cepat-cepat naik.

Sebelum menaiki motor Jenan, aku mengatakan sesuatu. Sesuatu yang tidak mendapatkan jawaban apapun kecuali tatapan dalam.  

"Kamu ingat permintaan aku kan? Kalau ada masalah kamu bisa cerita. Jadi aku harap kamu mau mencoba terbuka sedikit ke aku." 

*****

Demi Irish yang kalau makan seperti orang mukbang. Baru kali ini aku dan Irish merasa canggung ketika makan di kantin.

Beberapa kali aku dan Irish beradu tatap sebelum kembali memakan makanan kami dengan kalem. 

Biasanya kalau dikantin Irish akan makan dengan bar-bar dan terus menggosip sedangkan aku akan mendengarkan sambil sesekali menanggapi dan mencuri pandang ke arah Jenan. 

Tapi.........

Kali ini kami tidak bisa melakukan itu, karena seluruh orang yang ada di kantin terus memperhatikan kami. 

Lebih tepatnya, Jenan dan aku. 

Iya, tiba-tiba Jenan datang ke kantin sendirian lalu menghampiri tempatku dan Irish. Tanpa bertanya atau basa-basi dia langsung duduk membuat semua mata yang ada di kantin langsung memperhatikan kami. 

Irish yang tadinya makan dengan suapan besar (dia sedang menunjukan makan ala mukbang di youtube kepadaku) langsung berubah jadi kalem dan makan dengan suapan anggun. 

Wah, baru kali ini aku melihatnya makan begitu. 

Kami yang berniat ingin mengghibah pun jadi gagal. Niat hati ingin menggosip malah aku yang jadi bahan gosip. 

Risih. Aku mendengar banyak sekali orang-orang yang membicarakanku sambil berbisik-bisik. Dan bisikan yang paling jelas ku dengar itu dari sekumpulan geng yang berisi tiga perempuan dan satu laki-laki. Mereka duduk dibelakangku. 

"Gila, jadi itu yang katanya pacar Jenan?"

"Parah sih. Kayaknya Jenan udah nggak waras deh."

Iya, emang Jenan sudah gila. 

"Dari semua cewek yang deketin dia, kenapa malah milih dia. Sama kak Auryn juga nggak ada apa-apanya. Apalagi sama Alice."

"Yaelah, udah fix itu mah pelampiasan doang. Paling kalo Alice putus sama pacarnya si Jenan balik lagi. Lagian cewek kayak gitumah nggak mungkin diseriusin  sama Jenan." 

Aduh, kembaran si Indri kalau ngomong emang jago bikin hati ngejleb ya. 

"Bener juga." 

Mereka tertawa keras dan sepertinya puas sekali. 

"Btw nama tuh cewek siapa sih?" 

"Ase... Asean... Ah apa ya namanya aneh gitu." 

Oseana Blue, namaku Oseana Blue. 

"Anjrit. Namanya Asean udah kayak kumpulan negara. Canda Asean." 

Mereka tertawa kencang dan sepertinya puas sekali. Padahal aku tidak mengerti bagian mananya yang lucu. 

Hm, mereka juga kurang ajar. Nama dari Bundaku dijadiin bahan candaan.

Aku menatap Jenan yang ada di depanku. Dia memakan camilannya dengan tenang. Telinganya seolah tuli mendengar bisikan-bisikan orang yang menjelekkanku. Mungkin dia memang tidak peduli.  

Menghela nafas panjang. Aku berusaha mengendalikan emosiku. Mengabaikan omongan mereka dan fokus pada sempol ayam kesukaanku. Anggap saja mereka tidak ada. 

Tapi, sayangnya...

Irish punya pemikiran yang berbeda. Dia menggebrak meja dengan kencang membuat semua yang ada dikantin langsung tertuju kearahnya. Termasuk Jenan yang menatap kearah Irish dengan tatapan datar. 

Aku merutuki perbuatan Irish. Aku berusaha menahan badannya dan menyuruhnya untuk duduk. Tapi Irish tidak memperdulikanku. 

Memang sih, ku akui kalau Irish itu gadis yang pemberani. Dia tidak akan bisa diam kalau mendengar orang terdekatnya dihina. 

"Niat gue ke kantin buat makan. Malah liat sampah, jadi enek sendiri. Canda sampah. HAHA." 

Aku menganga mendengar apa yang dikatakan Irish. Spontan aku menoleh ke arah geng itu, mereka sama tercengangnya denganku. 

Irish menarik tanganku dan membawaku pergi dari kantin. Tidak lupa dengan makanannya, Irish membawa cimolnya yang belum habis. 

Sebelum benar-benar pergi dari kantin, aku sekali lagi menatap Jenan. 

Dia hanya melihatku sekilas lalu kembali fokus pada camilannya. 

Entah, tapi perasaanku benar-benar merasa sakit. Sudut hatiku terasa nyeri.

Aku benar-benar tidak penting dimatanya, dia bahkan tidak membelaku apalagi menyangkal bisikan tadi.

Aku yakin kalau Alice yang dibicarakan seperti itu dia pasti sudah mengamuk. 

Ah, memang aku dan Alice itu berbeda. Dia bahkan terang-terangan bilang tidak menyukaiku kan? 

Aku tidak seharusnya terkejut dan merasa sakit hati. Iya, aku tidak boleh. Dasar bodoh. 

Aku seharusnya bersyukur karena punya sahabat seperti Irish. Setidaknya ada orang yang membelaku disaat orang lain menghinaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status