Prolog
Dengan mata membara, Ranti menatap nyalang pada beberapa lembar foto yang ada di tangannya.
Ada sepuluh lembar foto wanita yang telah diberi nomor dan nama. Sebenarnya foto-foto itu telah ada di tangannya sejak Yuda-suaminya-masih ada di sisinya. Ranti mendapatkannya dengan menyewa seseorang dan menyelidiki suaminya yang mulai berubah kasar saat putri mereka berusia satu tahun.Selain itu, ada Intan sahabatnya yang menjadi istri dari Bos suaminya."Foto-foto siapa, Kak?" Tiba-tiba, Narendra, adiknya telah berdiri di belakangnya.
"Oh! Ini ... ini foto_," Belum sempat Ranti menyelesaikan ucapannya, Narendra telah merebutnya dari tangan Ranti."Hmmm! Ini pasti foto-foto perempuan penggoda Mas Yuda, kan! Dan ini_?" Narendra memperhatikan dengan seksama."Ya! Khusus nomor dua itu, foto sekretaris kantornya. Intan sengaja menyisipkannya karena berselingkuh dengan Gunawan," terang Ranti.Narendra menggeleng,"Maksudku, nomor sepuluh ini!" Mata pemuda tanggung itu lekat menatap dengan pandangan tajam ke arah foto seorang wanita paruh baya."Itu ... itu foto istri baru ayah," jawab Ranti tersendat.Narendra tersenyum sinis, matanya berkilat penuh dendam."Aku membenci wanita-wanita yang merusak kebahagiaan rumah tangga kita. Apalagi, karena kehadiran mereka Mas Yuda dan Ayah jadi berlaku kasar," gumam Ranti."Apa yang akan Kakak lakukan dengan foto-foto itu?" tanyanya sejurus kemudian, berusaha menelan salivanya yang terasa pahit."Belum terpikirkan, tapi aku pasti akan membuat perhitungan pada perempuan-perempuan s*alan itu!" Ucapan Ranti terdengar dalam dan penuh dendam.
Narendra menunduk dalam diam, rahangnya mengeras. Dia mengepalkan tangannya, menahan perasaan. Matanya terfokus pada foto-foto di tangannya."Kak, nomor sembilan, itu_," Narendra menatap tajam sosok wanita cantik dalam foto tersebut. Di bawah foto tersemat nama Nadia."Ya, itu istri baru Mas Yuda," jawab Ranti dalam."Kita lihat! Apa yang bisa Kakakmu ini lakukan pada mereka!" Ranti mengambil kembali foto-foto itu dari tangan adiknya dan berlalu masuk ke dalam rumah.Tak ada yang tahu, enam bulan setelah itu mulai terjadi kehebohan di kota kecil itu.***
"Maasss ... mau lagi!" desah Siska manja sambil mengecup pipi Arga, kekasih gelapnya. Kepalanya berbantal lengan kokoh Arga, sementara tangan kanannya terus bergerilya dengan gerakan lembut di dada dan perut lelaki yang bukan suaminya itu.
Arga mendesis nikmat setiap kali merasakan sentuhan tangan wanita cantik dan seksi yang kini tergeletak tanpa busana di sampingnya.
"Sebentar lagi, Sayang! Aku lagi ngumpulin tenaga dulu, ya," ucapnya sambil membelai rambut Siska,"teruskan sentuhanmu biar lebih cepat!" bisiknya lagi, mengecup kening wanita yang mulai menggeliatkan tubuhnya dengan gerakan erotis.
Drrrttt ... Drrtttt!!
Terdengar suara getaran handphone milik Arga yang dia letakkan di atas meja rias milik Siska, perempuan yang telah setahun belakangan menjadi selingkuhannya.
Arga dan Siska tidak memperdulikan suara itu, mereka kembali asik dengan sentuhan panas mereka.
Tak tahan, Siska akhirnya naik ke atas tubuh Arga yang mulai bereaksi oleh sentuhannya. Arga tertawa kecil menikmati kelakuan wanita itu. Inilah yang membuat Arga begitu tergila-gila pada Siska hingga rela mengeluarkan banyak uang untuk wanita simpanannya ini. Untung saja, dia menjadi Manajer keuangan di Perusahaan tempatnya bekerja sehingga tak sulit bagi Arga untuk mendapatkan uang.
Derrrtttttt ... Derrrtttttt!!!
Kembali terdengar suara getaran Hp miliknya.
"Aahhhh, pasti Si nenek lampir yang cerewet itu!" gumam Arga kesal, tangannya masih terus membelai punggung Siska yang berada di atasnya hingga akhirnya dia membalikkan posisi. Siska terkikik geli mendengar julukan yang disebutkan Arga untuk Rasti, istrinya.
Mereka kembali meneruskan pagutan dan sentuhan panas hingga tubuhnya berkeringat meskipun di ruangan ber-AC.
Kriiinnggg!!
"Aaahhh, Sial! Apa, sih, maunya nenek lampir ini?!" Dengan kesal Arga menghentikan aksinya yang hampir mencapai klimaks, meloncat dan meraih gawainya dengan kasar.
Bukan untuk menerima panggilan, melainkan me-Nonaktifkan handphonenya.
"Maassss ... sini ... tanggung!" Tangan Siska menggapai dan meraih tangan Arga, menariknya kembali dan membenamkan Arga ke dalam pelukan panasnya.
Kini, tak ada lagi deringan telepon yang mengganggu pergumulan panas mereka di atas ranjang.
Desahan dan erangan mereka mengakhiri aktivitas panas itu hingga keduanya terkulai di atas kasur yang empuk.
"Kamu hebat sekali, Mas ...!" bisik manja Siska di telinga Arga tanpa melepaskan pelukannya.
"Kamu juga hebat, Sayang ... makanya aku selalu terbayang sama kamu walaupun sedang bersama nenek lampir ... hahaha!" Arga geli sendiri dengan kata-katanya.
Siska tertawa lirih.
"Mulutmu manis banget, Mas ... kalau memang begitu, kenapa belum juga kamu ceraikan dia dan menikahiku_" umpat Siska, tentu saja dalam hati. Mana mungkin dia ucapkan langsung, bisa-bisa dia kehilangan ladang rejekinya.
"Aku harus pulang sekarang, nanti Rasti akan curiga kalau aku pulang terlalu larut!" Arga segera melompat dari ranjang dan mengenakan kembali pakaiannya, diikuti pandangan protes dari Siska.
Setelah mengecup kening perempuan simpanannya, Arga bergegas keluar dari rumah Siska. Tepat jam sembilan malam.
Tanpa disadari oleh Siska, seseorang menyelinap masuk melalui pintu yang belum terkunci.
Seseorang dengan Hoodie dan celana ketat hitam, serta menggunakan penutup wajah dan sarung tangan yang juga berwarna hitam. Hanya matanya yang tampak nyalang menatap rumah wanita pelakor itu.
Dengan mengendap-endap, orang itu melewati ruang tamu yang cukup luas. Melewati ruang keluarga yang terlihat nyaman dan asri karena ada taman buatan mini lengkap dengan air terjun yang juga mini. Suara gemericik air membuat pikiran menjadi tenang.
Namun, tamu misterius itu tak peduli dengan sekitar, dia mengendap cepat menuju satu arah-kamar Siska.
Sepertinya, orang itu tau bahwa di dalam rumah itu hanya tinggal ada Siska sendirian.
Krompyangg!!!
"Shit! Kenapa harus ada pot bunga di sini, sih!" umpatnya pelan saat tiba-tiba dia menabrak sebuah vas bunga besar di depan kamar Siska hingga pecah berantakan.
Orang misterius itu segera menyelinap ke samping kanar yang berbatasan dengan ruang keluarga.
"Siapa itu? Mas_?"
Siska yang masih terbaring malas tanpa busana langsung menyambar piyama yang tergantung di belakang pintu dan segera memakainya sembarang.
"Mas? Apa Mas Arga lupa sesuatu?" Siska segera membuka pintu kamar, berpikir bahwa yang menendang vas bunga tadi adalaha Arga.
Namun, dia tersurut ke belakang saat melihat vas bunga di depan kamarnya telah hancur dan tak ada seorang pun di situ.
Siska mulai curiga, dia mundur selangkah, memegang daun pintu kamar dengan mata menyorot tajam. Melirik kan matanya ke setiap sudut ruangan, namun tak menemukan apapun.
Dia berbalik dan hendak menutup pintu kamarnya, bermaksud mengunci diri dan menelepon Arga atau polisi.
Tapi belum sempat pintu itu tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menarik kepalanya dan membekap mulutnya dengan sangat kuat hingga hampir tak bisa bernapas.
Aaarrrgghhhh!!!
Siska memegangi leher jenjangnya yang serasa tertusuk jarum.Dia tak sempat lagi berteriak apalagi melakukan perlawanan. Cairan yang disuntikkan ke tubuhnya dengan cepat menyebar melalui pembuluh darah dan jantungnya.Tubuh seksi wanita cantik itupun melorot dari pegangan manusia misterius. Siska tumbang seketika dengan mata melotot dan mulut menganga dan suara tercekik di tenggorokan. Sejenak tubuhnya terlihat menegang dan terdiam di detik berikutnya.
"Mampus kau pelakor!" gumam orang itu menatap penuh kebencian pada Siska yang sudah tewas dengan mulut berbusa.Tanpa membuang waktu, dia segera memasukkan alat suntik yang digunakan ke dalam saku Hoodienya.Segera dia melangkah pergi tanpa beban sedikit pun setelah menghabisi nyawa orang lain.Seperti seorang profesional, tak meninggalkan jejak ataupun sidik jari.***Ranti memacu kuda besinya dengan santai meskipun saat itu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.Dia sudah terbiasa pulang larut meskipun tidak setiap malam. Kali ini dia pulang larut karena mengantar pesanan customer yang memesan hoodie melalui lapak onlinenya."Wah! Jalanan udah sepi gini, sih. Padahal belum terlalu malam juga," pikirnya sambil terus melaju.Matanya tajam menatap jalan lurus di depannya, sementara pikirannya menerawang."Aira pasti udah pules, nih. Ah! Kangen sama manjanya dia," Ranti tersenyum sendiri setiap kali ingat putri semata wayangnya yang baru berusia empat tahun.Ranti tinggal bersama ibu dan anaknya serta Narendra-adik laki-lakinya yang sudah empat tahun lulus SMA.Suaminya entah dimana, dia pergi dengan selingkuhannya saat Aira baru berusia dua tahun.Ibunya juga mengalami nasib yang sama dengannya, ditinggal suami-ayah Ranti-dengan wanita simpanannya.Karena itu, dia sangat membenci siapapun wanita yang menjadi "Pelakor" ataupun perempuan simpanan."Aku akan meghabisi semua pelakor yang menghancurkan kehidupan rumah tangga orang lain!" katanya suatu ketika, saat sedang ngobrol dengan ibu-ibu di kompleks rumahnya."Jangan, Mbak! Dosa_!" timpal Bu Yayuk."Peduli apa sama dosa, saya benci sekali sama perempuan yang merusak kebahagiaan orang lain! Mereka itu penjahat, Bu ibu! Bukan cuma menyakiti istri sah, tapi juga anak-anaknya jadi terlantar tanpa ayah!" kata Ranti lagi berapi-api. Matanya nyalang menyimpan dendam.Ciiitttt!!
Ranti menekan rem secara mendadak."Sial! Kenapa ada kucing nyebrang malam-malam begini, sih!" Ranti mengumpat sendiri karena harus mengerem mendadak sast seekor kucing hitam tiba-tiba melompat di depannya.Tak berapa lama, Ranti masuk ke kawasan kompleks tempat tinggalnya.Setelah memasukkan motor maticnya ke dalam garasi dia celingukan seraya mengambil bungkusan hitam dari bagasi motor, seperti takut bila ada yang melihat.Dengan cepat dia membuka pintu dengan kunci cadangan."Kak! Baru pulang?" Narendra tiba-tiba muncul dari kamarnya saat mendengar ada yang membuka pintu."Hhhhrrkk!" Ranti yang baru menutup pintu terkejut dan langsung menyembunyikan bungkusan hitam yang dibawa ke belakang tubuhnya."Oh, iya. Kakak abis nganter pesenan ... lumayan, daripada bayar kurir!" jawabnya sedikit gugup.Narendra menatap sekilas gerakan tangan Ranti, tapi dia berusaha tak peduli."Kamu, kok belum tidur?" tanya Ranti lagi."Belum bisa ti
Tangan Yuda tertahan oleh tangan kokoh yang lain."Hentikan semua kekerasan ini, Mas!" Sebuah bentakan menyurutkan gerakan tangan Yuda, matanya nyalang ... menyorot tajam pada pemilik tangan tersebut."Jangan ikut campur urusan rumah tangga kami, NARENDRA!!" ucapnya memberikan tekanan pada nama adik iparnya."Rumah tanggamu?" Pemuda tanggung itupun tersenyum sinis pada kakak iparnya,"Lalu ... harus aku biarkan kekerasan terjadi di depan mataku, sementara korbannya adalah kakakku satu-satunya?!" teriak Narendra kalap. Padahal biasanya, dia selalu diam dan tak mau ikut campur setiap kali terjadi keributan di antara suami-istri tersebut."Mama!!" Aira menjerit ketakutan menyaksikan semua yang terjadi di depan matanya. Usianya yang baru dua tahun, tak bisa menerima kondisi seperti itu. Tubuh mungilnya tampak gemetar ketakutan, dia menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Ranti."Kak, bawa Aira keluar! Kasihan dia harus melihat mamanya d
Sehari sebelumnya di kantor polisi Wilayah Kota Yamon."Letnan Andi, bagaimana perkembangan kasus pembunuhan di perumahan Aman kemarin?" tanya Inspektur Andika-kepala polisi wilayah."Siap, Pak! Belum ada perkembangan yang signifikan karena pelaku tidak meninggalkan jejak sedikit pun," jawab Letnan Andi."Setelah dilakukan olah TKP, apa tidak ditemukan bukti tambahan?" tanya Inspektur Andika lagi."Siap, Pak! Tidak ada!" jawab Letnan Andi tegas."Baik! Bawakan semua berkas dan barbuk ke sini! Biar kasus ini saya ambil alih!" perintah Inspektur Andika."Siap!" Letnan Andi segera keluar dari ruang Inspektur untuk mengambil berkas yang diminta."Letnan, tolong temukan CCTV yang ada di sekitar lokasi kejadian. Bawa semua ke sini!" perintah Inspektur Andika setelah memeriksa berkas dan barang bukti yang diterimanya."Siap, Pak Inspektur!" Letnan Andi dan beberapa rekannya langsung menuju lokasi untuk menemukan CCTV yang ada di sepanjan
Ranti mulai mengingat lagi apa yang dilakukannya di TKP pembunuhan Siska."Waktu itu, customer dengan akun Ox memesan Hoodie berwarna hitam beserta sarung tangan yang juga berwarna hitam ke toko online saya. Dia meminta saya mengirimkan pesanannya ke salah satu rumah yang ada di kompleks Aman. Dia membayar lewat minimarket, tunai," Ranti mulai penjelasannya."Lalu? Apa Bu Ranti sempat bertemu dengan Ox ini?" tanya Andika lagi."Dia tidak mau bertemu, dia hanya meminta saya meletakkan pesanannya di salah satu pagar rumah warga yang ada di sana," jawab Ranti,"Ya, sebagai penjual, saya ikut saja apa mau dia. Bagi saya yang terpenting dia sudah membayar lunas plus ongkos kirimnya." jawab Ranti santai.Inspektur Andika memperhatikan setiap gerakan Ranti saat menjawab semua pertanyaan, termasuk juga tatapan matanya."Baik! Apa Bu Ranti membawa handphone yang ibu pakai untuk transaksi kemarin?" tanya Andika lagi.Sedikit gugup, Ranti menjawa
Perlahan, mobil yang dikemudikan Gunawan memasuki halaman Villa yang cukup luas.Tiiitttt!Dia sengaja membunyikan klakson mobil sebelum turun agar Aida datang menyambutnya dengan seyuman.Benar saja!Dengan langkah yang dibuat seanggun mungkin, Aida keluar dari dalam Villa hanya dengan mengenakan gaun pendek yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya.Lekuk tubuh sexi-nya tergambar dengan jelas membuat Gunawan seketika menelan salivanya dengan kasar.Sementara "adik kecilnya" mulai bangun dan mengencang."Maasss, kok, lama banget sampainya? Aku udah nunggu dari subuh!" sambut Aida. Dengan manja, gadis cantik itu bergelayut di leher lelaki yang menjadi bos di kantornya.Tak tahan, Gunawan langsung memagut bibir indah Aida yang langsung membalasnya dengan panas.Mereka tak menyadari, ada dua pasang mata yang tajam penuh kemarahan, sedang mengawasi gerak-gerik mereka. Intan sedang menunggu saat yang tepat untuk bertindak atas pengkhianatan suami tercintanya."Awas kamu, Mas! Aku tidak akan
Sshhhh!Kembali terdengar suara mendesis dari bagian belakang rumah Ridho. Tentu saja, hal itu membuat Ranti semakin penasaran."Rend, apa yang mendesis itu? Kok, seperti suara ular?" akhirnya Ranti mengungkapkan rasa penasarannya."Oh! Iya, Kak! Itu memang suara ular kobra," Ridho yang menjawab seraya menatap ke arah Narendra, yang langsung mengedipkan mata seperti memberi kode."Buat apa kamu piara ular berbahaya itu?" tanya Ranti lagi, menatap Ridho penuh rasa penasaran."Anu, Kak! Bukan melihara, tapi_," Ridho menelan salivanya sebelum melanjutkan bicara."Lantas?" Ranti tidak sabar menunggu kelanjutan ucapan teman adiknya itu."Jadi, ular itu saya tangkap di hutan untuk dijual kembali, Kak," jawab Ridho lagi."Wow! Kamu tangkap sendiri? Apa nggak takut?" tanya Ranti super heran."Ada tekhniknya sendiri, Kak. Nggak bisa sembarang," jawab Ridho lagi mencoba memberi penjelasan."Hiiiii_!" Ranti bergidik ngeri, meski dalam hati ada terbersit pemikiran yang lain.Ranti kembali ingat t
Sejenak Intan menatap lurus ke wajah Ranti yang hampir kehilangan jantungnya andai saja tak dilindungi oleh tulang rusuknya."Apa sebaiknya aku ceritakan lagi pada Pak polisi, ya?" ucap Intan masih menatap wajah Ranti yang kebingungan."Memangnya, apa yang kamu lihat? Apa yang mau kamu laporkan sama dia?" tanya Ranti penasaran namun terlihat gugup."Begini! Tadi sesaat setelah pergi dari villa itu dan dikejar oleh mobil Gunawan, aku melihat sekilas ada sepeda motor yang berpapasan dengan mobil kami," jelas Intan.Ranti terlihat semakin gugup namun penasaran menanti kelanjutan ucapan sahabatnya itu."Motor apa, kamu yakin dia pelakunya?" tanyanya antusias, tapi terlihat pias di wajahnya seperti menyimpan beban sesuatu."Motor Ninja, warna hijau!" jawab Intan cepat."Kamu lihat nggak wajah pengendaranya?" selidik Ranti, persis seperti gaya Inspektur Andika saat menginterogasi Intan dan Gunawan saat di kantor polisi."Ish! Kamu udah kaya Pak Andika aja, pakai sabar dong!" jawab Intan sam
"Kamu gila, ya, Rend! Kakak bilang, ayo jalan!" Ranti menarik lengan adiknya yang hendak melangkah masuk ke dalam restoran padang."Tapi, Kak_!" Narendra memprotes tindakan kakaknya dan bersikukuh hendak melaksanakan niatnya semula, menghajar kakak iparnya, Yuda."Rendra! Kamu nggak kasihan sama Aira. Lihat keponakan kamu ini kedinginan. Ini udah malam!" Akhirnya Ranti membentak adiknya itu agar berhenti melakukan hal yang bodoh dan merugikan diri mereka sendiri.Narendra langsung meredup menatap Aira yang tertidur dalam pelukan ibundanya."Maaf, Kak. Aku terlalu emosi tadi," jawab Narendra menyadari kekeliruannya."Biarkan dulu mereka, Rend. Akan ada saat dimana kita bisa membalas semuanya," gumam Ranti meskipun dengan hati yang sangat sakit.Di sini, di tengah malam yang dingin, dia berjuang untuk kesembuhan putrinya. Sementara di sana, suaminya tanpa rasa berdosa, sedang berbagi kebahagiaan dengan wanita yang baru hadir dalam hidupnya."Diam-diam, Ranti menyusut air mata yang tak m