"Argh! Sialan! Tega banget lo putusin gue, Rangga! Berengsek!" Paramitha Indira Angela--wanita cantik berusia dua puluh enam tahun baru saja diputuskan oleh Rangga, sang kekasih.
Gabriel Kusuma Damian mengerutkan kening saat melihat Indi, setelah sekian lama tidak ia jumpai. "Indira? Sudah lama sekali kita tidak bertemu," gumam Damian lalu menghampiri wanita itu.
Rupanya Indi sudah mabuk berat. Bahkan matanya sudah remang-remang tak bisa melihat orang dengan jelas. Ia hanya tersenyum, lalu ....
Bruk!
Damian menaikan alisnya. "Hei, bangun. Indira?" Damian menghela napasnya melihat Indi yang tertidur di pangkuannya.
**
“Tidak pernah kusangka. Rupanya kamu memang senikmat ini.” Suara berat yang tengah mendorong lebih dalam tubuh Indi menggeram karena nikmat yang tiada kentara.
Damian Kusuma—pria tampan, pengusaha muda yang usianya baru menginjak dua puluh delapan tahun tengah menggerayangi tubuh Indira Pramesti—perempuan cantik berusia dua puluh enam tahun yang sudah lama ia kagumi sejak masih duduk di bangku kuliah. Sudah lama menjadi duda membuatnya bersemangat menyetubuhi tubuh wanita yang dia kagumi itu. Tidak peduli bila nanti Ind—sapaan perempuan itu mencaci makinya setelah sadar dari mabuknya kelak. “Arrgghh!” pekik Indi kala pria itu kembali mendorong dirinya di bawah sana. Desahan dan erangan terdengar dengan jelas di kamar tersebut. Dalam keadaan teler, tidak tahu siapa yang sedang menyetubuhinya, Indi hanya menikmati sentuhan nikmat itu. Damian yang sudah tergila-gila sejak lama kepada perempuan itu lantas menghantamnya tanpa ampun. Peluh keringat pun sudah bercucuran membasahi kain sprei yang menjadi alas senggama kedua insan itu. Damian yang sudah merindukan bercinta itu lantas sangat menikmati seruan akan desahan yang dikeluarkan oleh Indi. “Kapan selesainya ini, huh?! Aku sudah tidak tahan lagi,” pekik Indi dengan suara beratnya. “Tubuh ini .. eemmpt …!” Indi tak kuasa menahan permainan panas yang dibuat oleh Damian kepadanya.“Kamu sudah sampai, heum?” tanya Damian dengan suara lembutnya. Indi hanya mengangguk. Sementara Damian kembali mendorong tubuhnya hingga suara percikan percintaan itu terdengar begitu jelas. Tubuhnya mengejang seketika bersamaan dengan keluarnya peluh nikmat itu di bawah sana. “Capek!” keluh Indi seraya mengatur napasnya. Kemudian tak sadarkan diri sebab mabuk yang masih terasa dalam dirinya. “So beautiful. Akhirnya, kita bertemu kembali, Indi. Sudah sejak lama kita tidak pernah bertemu, akhirnya kembali bertemu sekaligus mendapat tubuh indahmu ini,” ucapnya seraya menyentuh kulit putih yang masih polos tersebut. “Jangan takut, Indi. Aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Aku akan menunggumu sampai sadar, dan mengatakan kalau kita baru saja tidur bersama. Membelah malam dengan suara teriakan dan desahan yang kamu keluarkan.” Damian memilih untuk istirahat di samping Indi yang sudah terlelap dalam tidurnya. **Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Pengar itu masih sangat terasa di kepalanya sebab mabuk semalam. “Arrgh! Tubuh gue kenapa pegal-pegal. Mimpi apa gue, semalam,” gumamnya seraya menyibakkan rambutnya dengan pelan. “Heeuuh!” Indi baru sadar. Ini bukan kamar tidurnya. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan itu dengan cepat.“Di mana ini?” tanyanya panik. Lalu, tersadar juga bila dirinya tidak mengenakan apa pun. “Kenapa gue nggak pake baju. Pusaka gue juga sakit banget.” Indi benar-benar tak sadar apa yang telah dia lakukan semalam. “Morning!” Damian menyapa perempuan itu dengan tubuh yang hanya dililit handuk sepinggang. Indi mengerutkan keningnya. “Da … mian?” gumamnya seraya mengucek matanya. Lalu membolakan matanya karena terkejut. “Damian … ngapain lo di sini?” teriaknya kemudian. Damian mengendikan bahunya. “It’s my room. Masih belum ingat, kejadian semalam?” tanyanya seraya menatap mata itu dengan lekat. “Jangan mendekat!” seru Indi seraya menatap tajam wajah tampan milik lelaki itu. “Kenapa gue ada di kamar elo? Apa yang terjadi kemarin malam? Kita ….” Indi tak mampu meneruskan ucapannya itu. Damian mengangguk santai. “Semalam kamu mabuk. Ngoceh nggak jelas, karena nggak ada temen yang nungguin kamu, akhirnya aku bawa aja ke apartemenku,” tuturnya menjelaskan. “Apartemen? Di sini?” tanya Indi sembari menjambak rambutnya kemudian segera mengambil pakaiannya dan bergegas mengenakannya kembali.Pria itu mengangguk. “Iyalah. Di mana lagi kalau bukan di sini. And thank, untuk semuanya. Kamu memang sangat luar biasa.” “Sshhhiitt!” pekik Indi seraya menatap nyalang wajah Damian. “Gilak lo, Damian! Gilaaak! Menyetubuhi gue tanpa izin dan sekarang bilang terima kasih?! Sialan, lo!” pekiknya kesal. Kebenciannya semakin besar terhadap lelaki itu sebab telah memperkosanya. Ya. Dia anggap Damian telah memperkosanya karena ia tidak tahu dan tidak mengiayakan ajakan Damian untuk bercinta dengannya.“Mandi dulu, Indi. Aku nggak akan macem-macem lagi. Cukup semalam saja,” ucapnya kemudian menyunggingkan senyumnya.Indi melirik malas kepada pria itu. “Gak perlu. Mandi di rumah aja. Gue ada urusan!” ucapnya kemudian mengambil pakaian tersebut dan segera memakainya. “Mobil gue di mana? Jangan bilang ….” Indi membolakan matanya. “Di bar. Aku nggak tahu, mobil kamu yang mana. By the way, apa kabar?” “Gak usah basa-basi, lo. Pertemuan kita cukup sampai di sini aja. Gue nggak mau ketemu sama elo lagi dan lupakan semuanya! Kalau ketemu di jalan, jangan nyapa gue atau apa pun itu!” ucapnya dengan mata menatap nanar wajah Damian penuh amarah.Damian kembali menyunggingkan senyumnya. “Sampai jumpa lagi, Indi. Aku pastikan, kita akan bertemu lagi, tidak akan lama setelah kamu pulang,” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai. Setibanya di rumah. Dengan langkah yang mengendap-endap, takut ketahuan oleh sang papa karena baru pulang. Ia kemudian segera masuk ke dalam kamarnya dan membuka seluruh pakaiannya. Masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, langkahnya terhenti kala melihat tanda merah di dadanya. Cukup banyak hingga membuatnya memekik hebat. “Damian sialan! Gila bener ini orang! Arrgghh!” Indi menjambak rambutnya kemudian menghentakkan kakinya hingga masuk ke dalam kamar mandi. Memutar kran shower dan mengguyur tubuhnya. “Kenapa gue harus ketemu sama dia? Tidur dengan cowok gila macam Damian merupakan mimpi paling buruk yang pernah gue alami,” ucapnya lirih. Sungguh, ia sangat menyesali semuanya lantaran harus melayani pria aneh seperti Damian. Lebih tepatnya diperkosa karena Indi tidak tahu menahu bila dirinya tidur dengan lelaki itu. “Jangan sampai gue ketemu sama elo lagi, anak sialan!” pekiknya seraya membersihkan tubuhnya dengan sabun agar sisa-sisa sentuhan Damian hilang di tubuhnya. “Bisa-bisanya dia ninggalin jejak banyak banget di sini.” Indi terus menerus menggerutu kesal kepada Damian.“Nyesel banget gue mabuk nggak ditemenin, hanya sendirian. Jadinya gini, kan.” Indi mengeluh lesu. Damian merupakan pria yang tidak masuk dalam kategorinya. Jelas sangat membenci dan menyesali kejadian semalam.Meskipun dia sudah merelakan dan masa bodoh, tetap saja bila meninggalkan jejaknya di tubuhnya membuatnya kesal bukan main.“Indi?” Panggilan dari Wijaya—sang papa membuat Indi harus menyelesaikan acara mandinya. Ia kemudian segera menggunakan bathrobe dan menghampiri papanya yang ternyata sudah berada di dalam kamarnya. “Iya, Pa?” tanyanya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Hari ini, yaa. Kita bertemu dengan keluarga teman Papa.” “Heuh? Hari ini? Harus hari ini banget ya, Pa?” tanya Indi panik. Nasib sial benar-benar sedang menghampirinya. Tidur dengan musuh bebuyutannya, dan sekarang harus bertemu dengan calon yang sudah dipilihkan oleh Wijaya untuknya. “Iya. Sudah saatnya kamu dan dia bertemu kemudian merencanakan pernikahan ini. Sudahi main sana main sininya, Indi. Kamu sudah dewasa, ingat umur.” Wijaya berucap dengan pelan. Indi menghela napas kasar. “Tapi, Pa … terlalu dini dan aku belum siap ketemu sama dia. Belum tentu juga dia pria baik-baik. Emangnya Papa yakin, kalau dia jodoh terbaik buat aku?” Indi masih mencoba menolak permintaan papanya itu. “Ini yang terbaik. Papa yakin dan kamu pasti akan bahagia bersamanya!” ucapnya penuh percaya diri. Indi menghela napas pelan. ‘Kalau emang dia pria baik-baik, dia yang akan menyesal karena gue baru aja tidur sama Damian, si cowok aneh yang main perkosa gue aja. Duh! Gini amat nasib gue,’ ucapnya dalam hati kemudian menggaruk dengan pelan rambutnya.“Papa. Kalau nanti dia nggak terima dengan kondisi aku yang tukang mabuk dan segala macamnya, yang malu Papa. Mending aku cari jodoh sendiri deh, Pa. Ya, Pa, yaaa?” Indi memohon agar perjodohan itu dibatalkan saja. “Dia sudah tahu dunia kamu seperti apa. Makanya Papa sangat senang karena ada pria yang mau menerima kamu apa adanya.”“Haaah?” Indi terkejut bukan main. ‘Ada yaa, cowok modelan dia?’ ucapnya dalam hati.Indi kembali menghela napas pelan. “Ya udah, Papa tunggu di luar aja. Aku pakai baju dulu,” ucapnya lemas. Mau tak mau, dia harus menerima perjodohan itu.“Iya, Nak.” Wijaya menerbitkan senyumnya. Lima belas menit kemudian, Indi keluar dari kamarnya dan menghampiri sang papa yang sudah menunggunya di ruang tengah. Keduanya langsung keluar dari rumah tersebut dan Wijaya melajukan mobilnya menuju rumah temannya. “Orangnya kayak gimana sih, Pa?” tanya Indi kemudian. “Nanti juga kamu tahu.” Hanya itu yang diucapkan oleh sang papa kepadanya. Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit saja, mereka akhirnya tiba di rumah tersebut. Indi kembali menghela napasnya dengan pelan. Lalu keluar dari mobil bersama sang papa. “Bung!” Wijaya memeluk Pradipta—sahabatnya. “Apa kabar, Wijaya? Hari ini, yaa? Dia sudah tahu?” Wijaya mengendikan bahunya. “Nggak perlu dikasih tahu, dia sudah paham sendiri.” “Wow! Good! Baiklah kalau begitu. Aku panggilkan anakku dulu.” Pradipta memanggil sang anak yang baru kembali ke rumah.Sementara Indi dan Wijaya duduk di sofa ruang tengah. Perempuan itu kembali menghela napasnya seraya melihat-lihat rumah megah tersebut. “Orang kaya, rupanya,” gumamnya kemudian. “Hei!” Suara lembut itu sangat tidak asing di telinga Indi. Dengan cepat ia menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mulutnya menganga, matanya melotot menatap orang yang akan menjadi suami dan katanya sangat menerima dia apa adanya.“Kenapa harus ketemua sama dia lagi?! Astaga, dunia sempit banget,” gerutu Indi dengan pelan agar Wijaya ataupun orang yang ada di sana tidak mendengarnya. “Indi. Ini, Damian. Katanya kalian sudah saling kenal,” kata Pradipta kepada Indi. Perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Ng—nggak, Om. Aku nggak kenal sama dia.” Indi meringis pelan seraya melirik Damian. “Walaah. Kata Damian, kalian satu kampus dulu?” Indi terdiam dan hanya memberikan cengiran kepada calon mertuanya itu. Sementara Damian hanya menyunggingkan senyum. Tidak ingin membahas dengan detail, bila mereka memang sudah saling kenal bahkan satu kampus di dua tahun yang lalu. “Jadi begini, Indi. Damian ini, anak bungsu saya. Saya dan papa kamu sudah merencanakan perjodohan ini enam bulan yang lalu setelah Damian ditinggal pergi oleh istrinya.” “Heeuhh?” Indi menoleh ke arah Satya. “Duda?” tanyanya kemudian. “Sial! Gue … nikah sama duda?” Indi meringis lemas. “Di mana, istri elo? Kenapa harus nikah sama
Usai puas menciumi bibirnya, bibir itu turun ke bawah. Menikmati setiap jengkal demi jengkal kulit putih milik sang istri. “Damian … oh my God!” raung Indi sembari meremas sprei lantaran sentuhan Damian yang begitu panas dan membuatnya bergairah hebat. Damian tersenyum menyeringai. “Satu tahun sudah, aku tidak pernah menyentuh perempuan. Akhirnya bisa menyentuh lagi dan tentunya istriku sendiri.” “Oh, yaa? Kenapa nggak nyari perempuan lain di luaran sana? Lemah!” ledeknya kemudian. Damian tersenyum tipis. “Terserah, mau bilang apa, i don’t care! Yang penting saat ini, kamu menjadi milikku dan aku tidak akan pernah melepasmu!” ucapnya kemudian mengisap pucuk dada perempuan itu penuh nafsu. “Arrghh!” pekik Indi seraya membusungkan dadanya dengan spontan. Damian benar-benar membuatnya menggila. Lelaki itu memang hebat hingga berhasil membuatnya mabuk kepayang. Indi sudah masuk dalam perangkap lelaki yang berhasil membuat hasratnya menggila. Lima belas menit melakukan pemanasan, Da
Indi terdiam seraya menatap Damian dengan tatapan datarnya. “Bukan karena Rangga. Nggak usah bahas dia lagi kalau elo emang mau gue nurut sama elo!” Dengan sengaja, Damian kemudian melingkarkan tangan kekarnya di pinggang ramping perempuan itu. Hingga membuat Indi ingin sekali menghajarnya detik itu juga. “Istirahatlah, sudah malam. Besok pagi, aku punya kejutan untukmu,” ucapnya kemudian mencium pipi kiri sang istri dan melangkahkan kakinya dengan santai ke tempat tidur. Indi menghela napasnya dengan pelan lalu menghampiri Damian yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Mau ke mana dan jam berapa?” tanya Indi ingin tahu. “Rahasia!” ucapnya dengan lembut. “Have a nice dream, Hone!” ucapnya kemudian mengulas senyumnya. Indi kemudian menyunggingkan bibirnya seraya menatap Damian. “Kayaknya elo seneng banget, nikah sama gue? Aneh, lo!” ucapnya kemudian memutar bola mata. Damian hanya menyunggingkan senyum dengan mata sudah tertutup. Tidak peduli dengan ucapan sang is
Sementara Damian tengah packing pakaian miliknya, Indi menatap datar wajah suaminya itu sembari menyandarkan punggungnya dan melipat tangan di dada. “Extided banget yang mau bulan madu!” ucapnya kemudian mengambil sebuah kotak kecil di dalam lacinya. Mata itu memicing dan menoleh cepat ke arah sang istri. Yang mana rupanya perempuan itu mengambil rokok serta korek api di dalamnya. Dengan cepat Damian lantas beranjak dari duduknya dan menghampiri perempuan itu. “Apa-apaan kamu ambil ini? Kamu … perokok?” Damian bertanya seraya mengambil rokok itu di tangan sang istri. “Emang kenapa kalau gue perokok? Elo udah tahu dunia gue kayak gimana, kalau mau jadiin gue istri elo, harus nerima gue apa adanya, right?” “Yaa tapi nggak harus merokok juga, Indi. Kamu dengar kan, permintaan papa aku dan papa kamu apa tadi? Cucu! Kamu nggak boleh merokok lagi karena ini akan menyeba—““Gue nggak mau punya anak dulu, Damian! Apalagi sama elo yang sama sekali nggak gue cinta!” seru Indi berucap denga
Tangan kekar milik Damian meluncur mulus di atas paha sang istri dengan mata menatap dengan lekat wajah Indi. “Katakan dengan jujur. Kamu … sering bermain dengan mulutmu yang seksi ini?” tanyanya sembari mengusapi bibir itu.“Mau ngapain lo? Nyuruh gue lakuin hal itu di sini?” tanya Indi kemudian.Damian mengangguk seraya menatap Indi. “Ya. Lakukan sekaraang juga!” titahnya seraya membuak celana pendek yang ia kenakan itu. Pusaka itu sudah berdiri tegak menantang Indi yang langsung terpusat padanya. “Lakukan atau aku akan mengurungmu!” ancamnya sungguh-sungguh. Indi berdecak pelan seraya menatap malas pada suaminya itu. “Kenapa? Pasti sudah biasa kan, melakukan itu? Kenapa dengan suamimu sendiri tidak mau?” “Bukan nggak mau, Damian. Ini di pesaw—““I don’t care! Bahkan, kalau kamu mau, di tempat umum aku tidak peduli! Agar semua orang tahu kalau kamu adalah milikku!” Indi tersenyum miring mendengarnya. “Gilak! Elo gila, Damian.”“Karena kamu lebih gila dariku. Jangan banyak alas
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah pulau terpencil yang ada di Chicago, Amerika Serikat. Yang mana hanya ada satu villa di sana sesuai dengan yang disebutkan oleh Damian kepada Indi. Hanya ada mereka berdua di sana dan bisa bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Indi geleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan indah yang ada di depan matanya itu. “Damn! So beautiful,” ucapnya memuji kecantikan pemandangan di sana. Damian tersenyum mendengar ucapan dari istrinya itu. “Aku senang, setidaknya kamu tidak kecewa karena mengagumi keindahan di sini. Semoga betah, Indi.”Perempuan itu lantas membalikkan tubuhnya kemudian melipat tangan di dadanya, menatap datar wajah Damian yang tengah berdiri tepat di depannya. “Ya. Harus kasih poin plus setidaknya gue nggak kabur dari sini kalau pemandangannya membosankan,” ucap Indi kepada sang suami. Damian mengulas senyum tipis. “Enjoy, Indi. Jangan minta yang aneh-aneh karena di sini tidak ada mall atau apa pun itu.”“Lalu, kalau lapar g
“Ada apa, Indi?” tanya Damian dengan suara lembutnya. Mata penuh gairah itu menatap Indi yang tengah mengatur napasnya. Indi menggelengkan kepalanya. “Nothing,” ucapnya parau. Seolah tengah menutupi gairah yang telah hadir dalam dirinya. Damian kemudian menyunggingkan senyum. “Enjoy!” ucapnya lalu menarik tubuh Indi dan meraup dua gundukan kenyal yang sedari tadi ingin dipuaskan. Spontan, perempuan itu membusungkan dadanya. Kepalanya terangkat ke atas dengan tangan meremas rambut hitam nan lebat milik sang suami. Tidak kuasa menahan gejolak gairah yang sudah hadir di dalam dirinya atas permainan luar biasa yang dilakukan oleh Damian kepadanya. “Arggh … Damian!” pekik Indi tak kuasa menahan segala permainan yang dilakukan oleh Damian kepadanya. “You so … arrgghh!” pekiknya lagi.Bukan Indi namanya kalau tidak berisik dan melontarkan kata-kata luar biasa yang dikeluarkan olehnya kala bercinta. Selalu begitu dan Damian sudah sangat hafal dengan istrinya itu. Dan tentunya Damian sanga
Dengan langkah santainya Indi keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Indi?” panggil Damian dengan suara menekan. Matanya menatap tajam wajah istrinya itu lalu menghela napasnya dengan panjang.“Heung?” ucapnya datar tanpa menatap lelaki itu. "Kenapa muka elo kusut kayak gitu?" tanyanya merasakan keanehan pada raut wajah Damian kala menatapnya.“Apa maksud kamu meminum pil kontrasepsi?” tanya Damian meminta penjelasan Indi. "Kenapa kamu menunda kehamilan, Indi? Apa yang membuat kamu menjaganya, huh?"Perempuan itu lantas menghentikan acara mengeringkan rambutnya itu. Lalu menatap Damian yang tengah memegang pil tersebut. Ia pun menghampiri sang suami dan mengambil pil tersebut. Akan tetapi, begitu kuatnya Damian memegang pil tersebut, lantas tidak bisa diambil begitu saja. “Mau elo apakan pil KB gue, Damian? Nggak usah nanya kenapa gue pakai pil KB. Elo udah tahu jawabannya dan nggak perlu gue jelasin!” ucapnya menantang. Damian menghela napasnya. Men