Lagi-lagi aku pulang dengan gontai setelah mendapat penolakan dari Namira. Bagaimana tidak, dia dan anak-anak terlihat sangat bahagia sekarang. Sepertinya kehadiranku pun tak terlalu berpengaruh baginya.Semakin kesini aku semakin sadar jika dia memang sudah tidak dapat lagi ku gapai. Namiraku yang dulu tak akan pernah kembali lagi padaku.CkkiiittttAku menginjak pedal rem kuat ketika ada sesuatu yang tiba-tiba saja melintas di depanku. Rasanya aku seperti menabrak sesuatu, tapi apa?Tanpa pikir panjang aku pun lantas turun dan melihat apa yang sekiranya tadi ku tabrak. Dan syukurlah, memang tak ada sesuatu pun yang kutabrak. Mungkin tadi hanya halusinasiku saja."Gara-gara Namira aku bisa sampai nggak fokus gini, " gerutuku sembari masuk lagi ke dalam mobil.Saat sampai di mobil aku sengaja mengecek ponselku, barangkali ada pesan yang masuk saat aku fokus menyetir tadi. Dan benar saja, memang ada pesan masuk dari Hendra.[Bagaimana? Apa kamu sudah jera? Kalau belum, aku bisa melakuk
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Hendra ketika aku mengunjungi kediamannya. Aku hanya tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahnya tanpa perintah darinya. Biar saja, semua ini memang harus segera kuselesaikan. Dari awal kedatanganku, aku tak melihat keberadaan Bella. Entah dimana ia sekarang, yang pasti kedatanganku kemari hanya ingin meluruskan yang seharusnya saja. "Slow saja, kawan. Bukankah kemarin kita itu sahabat baik?" Aku sengaja mengingatkan soal persahabatan kami dulu. Sebelum Bella merusak semuanya tentunya. Hendra hanya tersenyum miring, lalu mengalihkan pandangan dariku. "Iya itu dulu, sebelum kamu menggoda istriku. Aku tahu kamu itu duda dan sudah pasti kesepian. Tapi bukan berarti kamu bisa menggoda istriku sesuka hatiku seperti ini. Aku jadi nyesel udah bawa istriku keacara malam itu," tuturnya membuatku kembali tercengang. Bagaimana tidak. Kami yang dulunya sangat akrab sekarang harus melewati hal seperti ini. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah ini semua h
Aku masih tertegun setalah membaca pesan dari Ahmad. Memang benar Namira akan segera menikah lagi, tapi rasanya hatiku masih enggan untuk mengakuinya jika sekarang dia sudah berhasil bangkit dan menemukan kehidupannya lagi. [Iya, benar]Singkat, tapi balasanku itu membuatku sangat sakit. [Apa kamu baik-baik saja]Aku sengaja tak membalas pesannya kali ini. Gegas aku lantas menginjak pedal gas dan, berlalu pulang ke rumah. Rasanya aku sangat butuh istirahat sekarang. Tak hanya ragaku saja, tapi jiwaku juga benar-benar butuh istirahat. Masalah demi masalah selalu datang, bahkan sebelum aku berhasil menyelesaikan masalah sebelumnya. Mungkin ini balasan dari Tuhan atas semua yang sudah kulakukan selama ini. Namun begitu aku masih bisa bersyukur karena nyatanya aku masih diberikan kesempatan untuk hidup dan bernafas sampai hari ini dan itu artinya aku masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki semua kesalahanku dimasalalu. Pengkhianatanku pada Namira, anak-anak dan Ibu adala
"Eh, maaf, Pak. Saya tidak sengaja," tutur seorang perempuan yang baru saja menabrakku. Aku hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk, "tak apa. Lain kali hati-hati," jawabku singkat lalu melanjutkan langkahku. Hari ini semua pekerja memang terlihat terburu-buru karena memang akan ada acara besar di kantor. Ya, hari ini ada acara ulangtahun kantor yang ke dua puluh lima tahun dan semua karyawan dilibatkan dalam acaranya. Tak terkecuali aku, saat ini aku ditugaskan untuk menyambut beberapa relasi yang sengaja diundang untuk memeriahkan acara. Bukan tanpa alasan, aku merupakan salah satu karyawan yang berpengaruh di kantor ini sehingga tak heran jika aku didaulat untuk menyambut tamu penting. Perempuan yang baru bertabrakan denganku itu masih intens menatapku. Dia tersenyum dengan sangat manis sampai-sampai aku sendiripun tak sadar masih memandanginya. Sepertinya itu karyawan baru, karena wajahnya masih asing bagiku. Wajar saja, aku bekerja sudah cukup lama di tempat ini jadi sudah
"Selamat, ya. Semoga bahagia," ucapku seraya menyunggingkan senyum kecut. Namira dan suaminya tersenyum dan menyambut uluran tanganku. Kedua anakku pun terlihat sangat bahagia di kursinya. Mereka duduk dengan neneknya alias ibuku. Tak kalah dengan kedua anakku, ibu juga terlihat bahagia. Apa hanya aku saja yang saat ini terlihat sedih? Sebenarnya aku juga tak terlalu memperlihatkan kesedihanku karena rasanya tak etis jika aku masih bersedih ketika mantan istriku menikah lagi. Terlebih semua ini terjadi juga karena ulahku sendiri. Aku menarik nafasku dalam, lalu kuhembuskan. Namira dan Leo tidak boleh tahu jika sebetulnya aku ini masih sedikit tak rela atas pernikahan mereka. "Terimakasih, terimakasih juga sudah berkenan hadir," jawab Namira singkat. "Em, aku mohon ijin untuk ikut serta merawat dan membesarkan anakmu." Kali ini Leo berkomentar, dan lagi-lagi aku hanya tersenyum kecut. Andaikan saat itu aku tak gegabah, pasti saat ini semua masih menjadi milikku. Dan tentu saja an
"Maaf, Pak. Kartunya tidak bisa, ada uang cash saja tidak?" ucap kasir toko ketika aku hendak membayar barang belanjaan Bella, istri mudaku."Hah? Tidak bisa? Coba lagi, Mbak," kataku sedikit panik, karena kulirik dari ekor mataku Bella sudah menunggu bersama teman-teman sosialitanya di ujung sana."Maaf, tetap tidak bisa. Ada uang cash saja?" tanyanya sekali lagi, membuat pelipisku tiba-tiba saja basah oleh keringat.Mana mungkin kartuku tidak bisa? Padahal kemarin sore masih bisa kupakai transfer uang bulanan untuk Namira, istri tuaku di kampung.Ya, sudah dua bulan ini aku menikah siri dengan Bella, tanpa sepengetahuan Namira tentunya. Kalau aku jujur, sudah pasti dia tak akan memperbolehkanku menikah lagi. Jabatanku setengah tahun ini naik menjadi manager keuangan. Sedangkan aku terpisah jauh dari Namira karena ia harus mengurus ibuku yang mulai menua di kampung, hal itu membuatku mau tak mau harus menikah dengan Bella agar ada yang menemani hari-hariku.Lagipula Namira sudah sibu
Lagi-lagi tubuhku membeku, ketika kulihat ternyata ATM-ku telah berhasil ia bekukan. Bahkan seluruh isi tabunganku telah habis, ia memindahkan semua uangku ke dalam kartu yang beratas namakan Namira Sahira.Gila. Ini benar-benar gila. Mana mungkin istriku bisa secerdik ini? Bukankah ia hanya ibu rumah tangga biasa yang bisanya hanya menjaga anak dan ibuku di kampung?“Bagaimana? Bukankah rumah ini pun juga atas namaku? Apa anda akan tetap setia dengan pria tak bermoral ini, Nona?”Beberapa saat aku terdiam, berusaha mencerna keadaan saat mengetahui bahwa kini istriku telah berubah menjadi sangat garang. Hingga aku teringat akan sesuatu, bahwa Namira memegang surat kuasa atas seluruh kartu ATM-ku. Sebelum kejadian naas ini terjadi aku memang selalu memprioriaskan Namira, semua aset aku atas namakan dirinya. Bahkan ia pun juga memegang surat kuasa atas nomor rekeningku. Aku tak mengira bahwa hal itu ternyata kini menjadi boomerang untukku sendiri. Itu lah sebabnya ia bisa dengan gampang
“Rey, kemarin Namira ke kota. Katanya ada hal penting. Ada apa? Kenapa belum pulang sampai sekarang? Apa kalian ada masalah?”Tubuhku membeku saat ibu menanyakan tentang Namira. Aku harus bilang apa? Apa aku harus jujur tentang masalah pelik yang sedang kuhadapi?Tapi tunggu … Ibu bertanya tentang Namira? Itu artinya ia belum tahu yang sesungguhnya? Namira tidak menceritakan apa yang terjadi denganku? Ah, syukurlah setidaknya ia masih memiliki sedikit perasaan dengan tidak menceritakan yang sebenarnya pada ibuku.“Pekerjaan Rey baik, Bu. Doakan lancar terus, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.“Rey … Kenapa pertanyaan ibu tidak dijawab? Ibu tanya Namira, loh. Tidak tanya tentang pekerjaanmu,” ucap ibu tak terima dengan jawabanku."Em ... A-anu, Bu. Namira katanya kangen sama Rey, Rey juga menyuruhnya datang ke kota. Tapi mungkin dia nggak bakal lama kok, Bu," jawabku berkilah, berharap ibu akan percaya dengan alasanku."Yang bener? Biasanya juga kamu yang pulang, atau kalau nggak ana