Share

Bab 2

Setelah tidur beberapa saat, Liana merasa tenggorokannya sangat kering. Dia merangkak keluar tenda dengan grogi dan tiba-tiba sepasang sepatu kets pria muncul di depannya. Dia mendongak ke atas dan dia bisa melihat sepasang kaki yang ramping dan lurus.

Matahari menembus awan dan bersinar terang. Liana melihat wajah Yohan dengan jelas dan dia sangat terkejut.

"Pak ... Pak Yohan?"

Bukannya dia pergi naik gunung?

Yohan berjongkok di depannya, memandangi pipinya yang memerah karena demam dan berkata dengan sangat serius, "Ada yang ingin aku tanyakan padamu."

Jantung Liana berdetak kencang dan dia menjilat bibirnya yang kering. Jantungnya berdebar seperti drum. "Ka ... katakan saja Pak."

"Apa kamu melihat seseorang memasuki tendaku tadi malam?" Saat Yohan menanyakan itu, dia menatap langsung ke arah mata Liana. Tekanan Yohan begitu kuat hingga tidak bisa dihindari, seperti ada tangan tak kasat mata yang menggapai jantung dan menghancurkannya.

Mata Liana mengelak dan bulu matanya bergetar. "Tidak ... saya tidak melihatnya."

"Kenapa kamu gemetar?" Yohan menyadari sesuatu yang aneh pada dirinya.

Tidak hanya suaranya yang bergetar, tetapi tubuhnya juga gemetar hebat.

Dia sangat kurus, ditambah Yohan memandangnya, aku rasa dia akan gemetar sampai mati.

Ada lusinan asisten di kantornya yang bertanggung jawab di berbagai bidang. Liana adalah pegawai magang baru. Yohan agak terkesan dengannya karena dia sangat pemalu. Yohan ingat saat wawancara pertama, ketika dia mengajukan pertanyaan, Liana sangat gugup sampai-sampai dia tidak berani menatapnya dan Liana hanya menundukkan kepalanya sepanjang waktu.

"Aku ... aku kedinginan." Liana makin gemetar.

"Dingin?" Yohan mengerutkan kening, "Apa kamu demam? Kenapa bisa kedinginan?"

Saat dia berbicara, dia mengulurkan tangan dan meletakkan jari dinginnya di dahi Liana. Sesaat kemudian, dia mengerutkan keningnya, "Apa yang terjadi? Panas sekali!"

"Pak Yohan, saya baik-baik saja ...." Liana menggigil hebat dan merasa sangat tidak nyaman. Dia ingin berdiri, tetapi sekarang dia tidak bisa mengumpulkan tenaga sama sekali. Dia hanya bisa meringkuk dengan lemah di atas rumput, dia merasa kesadarannya semakin kabur....

"Liana?" Yohan merasakan ada yang tidak beres dan mencoba membangunkannya.

Pada awalnya, Liana masih bisa merespons secara samar dua kali, tetapi kemudian dia jatuh pingsan.

Tanpa ragu Yohan membungkuk dan mengangkat Liana dari tanah, Dia terlihat sangat kurus dan dia tampak tidak berbobot dalam pelukannya. Yohan menunduk untuk melihatnya, tetapi tidak sengaja dia melihat sekilas tanda merah di lehernya dan matanya tiba-tiba menyipit.

"Pak Yohan!" Sebuah suara terdengar memecah kesunyian.

Helena kembali ke sana sambil berlari, rambutnya acak-acakan dan dia terengah-engah.

Yohan berkata, "Kenapa kamu kembali?"

Helena melirik Liana yang ada dipelukannya, menarik napas dan berkata, "Aku ... aku mengkhawatirkan Liana dan kembali untuk menjaganya. Dia kenapa?"

"Dia demam tinggi hingga pingsan." Yohan berkata sambil meletakkan Liana di kursi belakang mobil.

Dia mengatakannya sambil masuk ke dalam mobil.

"Pak Yohan ...." Helena meraih pintu mobil dengan cemas dan memohon, "Apa saya boleh ikut?"

Yohan menatapnya dengan sedikit tatapan tajam di matanya.

Helena menjelaskan, "Aku adalah rekan kerja Liana dan kami sama-sama perempuan. Tolong biarkan saya ikut, mungkin nanti saya bisa membantu."

Yohan berpikir itu ada benarnya juga, jadi dia mengiakan.

....

Saat mereka tiba di rumah sakit, mereka menjalankan prosedur rawat inap untuk Liana dan memberinya infus.

Saat Helena pergi merebus air, dia kembali dan melihat Yohan berdiri di ujung tempat tidur. Tatapan Yohan tertuju pada Liana yang sedang tidur, tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan.

"Pak Yohan." Helena menuangkan segelas air untuknya, "Silakan minum airnya."

"Terima kasih." Yohan mengambil gelas air dan menaruh gelas itu di sampingnya, "Siapa namamu?"

Helena tertegun sejenak, tapi kemudian dia berpikir bahwa di antara puluhan asistennya, satu-satunya yang bisa mengikutinya kemana-mana seperti bayangan adalah Hasan. Kemampuan kerja Helena biasa saja dan dia juga jarang menonjol. Wajar kalau dia tidak bisa dipanggil dengan namanya.

"Helena Darwojo. Helena dari kata Helen yang berarti cahaya atau cerah ...."

"Asisten Helena, aku butuh bantuanmu untuk memastikan sesuatu."

"...." Kilatan kekecewaan melintas di mata Helena, tetapi dia masih mempertahankan senyumnya dan berkata, "Apa itu Pak?"

Yohan menjelaskan beberapa patah kata dan berjalan keluar dari bangsal.

Helena menggigit bibirnya dan berjalan selangkah demi selangkah ke samping tempat tidur Liana. Melihat Liana yang masih pingsan, emosi di matanya sangat rumit. Memikirkan penjelasan Yohan, dia mengerucutkan bibirnya dan mengulurkan tangan untuk membuka kancing kemeja Liana.

Satu kancing, dua kancing ....

Saat semua kancingnya terbuka, Helena melihat tanda di tubuh Liana dan segera menutup mulutnya karena terkejut.

....

"Pak Yohan, Anda dimana?" Setelah Hasan membawa rekan-rekannya kembali ke lokasi perkemahan, dia tidak menemukan Yohan dan segera menelepon untuk memastikannya.

Yohan berkata, "Liana pingsan, aku mengantarnya ke rumah sakit."

"Pegawai magang Liana?" Hasan agak terkejut, dia terkejut bukan karena Pak Yohan secara pribadi mengantar Liana ke rumah sakit, tetapi karena dia mengingat nama pegawai magangnya.

Perlu diketahui kalau ada puluhan orang di tim asisten Pak Yohan. Dia tidak ingat siapa mereka semua kecuali Hasan.

Namun, dia ingat nama Liana dan itu sangat menakjubkan.

"Ya." Yohan mengangkat pergelangan tangannya, melihat jamnya, lalu berkata, "Kalian bersenang-senanglah di sana dan semua bonus akan dibagikan setelah perkemahan selesai."

Dia menutup telepon setelah memberi penjelasan singkat itu.

Saat itu, pintu bangsal terbuka dan Helena keluar.

Yohan menatapnya, "Bagaimana?"

Helena membalas tatapannya dengan tenang, "Saya sudah melihatnya, tubuh Liana sangat bersih, tidak ada apa-apa di tubuhnya. Tanda di lehernya yang Anda lihat pasti ... itu ulah pacarnya."

"Pacar?" Yohan agak mengernyit, tetapi tidak berkata apa-apa lagi.

Helena berkata, "Apa Anda mau masuk dan menemuinya? Dia mungkin akan segera bangun."

"Enggak perlu." Ekspresi Yohan kembali seperti biasanya. "Masih ada yang harus aku urus, aku pergi dulu. Jangan lupa hubungi keluarganya saat dia bangun nanti."

"Baik, Pak Yohan. Jangan khawatir tentang itu."

Setelah melihat Yohan pergi, Helena segera berbalik dan memasuki bangsal.

Liana sudah bangun, matanya terbuka, tetapi dia sangat lemah.

Helena berjalan mendekat dan duduk di samping ranjang rumah sakit, "Liana, kamu sudah bangun? Bagaimana perasaanmu? Apa kamu merasa baikan?"

Liana mengangguk. "Apa aku ada di rumah sakit?"

"Ya." Helena memberikannya segelas air dan berkata sambil tersenyum, "Pak Yohan yang mengantarmu, dia bahkan memelukmu."

"Uhuk ...." Liana tersedak sebelum bisa menelan seteguk air pun. "Pak Yohan?"

"Ya." Helena bertanya dengan penasaran, "Liana, apa Pak Yohan menyukaimu? Sudah satu tahun aku bekerja di perusahaan, hanya satu kali aku melihatnya memeluk perempuan."

Wajah Liana terasa panas. "Nggak mungkin."

"Kenapa? Kamu cantik, muda dan punya penampilan yang bagus. Banyak bos menyukai gadis muda yang polos. Liana, kalau kamu nggak punya pacar, mungkin kamu bisa serius mempertimbangkan Pak Yohan. Pak Yohan nggak terlalu buruk ...."

"Aku punya pacar." Liana menyela perkataan Helena.

Kemudian, Helena berhenti bicara, "Benarkah?"

Liana menggigit bibirnya. "Ya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status