Share

Bab 03

Asya membiarkan, menunggu hingga Rafan tertidur. Setelahnya, perlahan melepas pelukan Rafan. Melihat Rafan masih pakai jaket, langsung melepasnya perlahan agar Rafan tidak terbangun. Lalu melipat dan menyimpannya di atas meja. Setelahnya, menutup balkon kamarnya dan keluar, membiarkan Rafan tertidur.

Saat Asya ke dapur karena haus, mendadak terusik saat Aksa menatap aneh.

"Apa?"

"Kakak ngomong sama siapa?" Aksa heran, saat melewati kamar Asya, seperti sedang berbicara dengan seseorang.

"Oh, sama Rafan." Asya meneguk air di gelas hingga habis.

"Rafan? Kapan datang kok nggak liat?" Arina heran.

"Baru tadi, Rafan datang lewat balkon kamar." Asya berkata jujur, karena terkejut melihat Rafan muncul tadi.

"Oh pantesan," celetuk Aksa.

"Sekarang mana Rafan?" tanya Azdi, kebetulan mendengar pembicaraan anak dan isterinya.

"Tidur di kamarku." Asya mencuci gelas yang tadi dipakainya.

"Hm, gitu." Azdi hanya mengangguk paham.

****

"Kakakmu mana?" tanya Risa, heran hanya Refan saja yang pulang bersama Rivo.

"Mungkin bertemu Asya." Refan bangun dari tidurnya, melirik ke arah Rivo yang baru datang dan duduk di sebelahnya.

"Kenapa?" Rivo heran dengan Refan.

"Keluarga Ambara sejak kapan menjalin hubungan bisnis?" Refan mulai iseng.

Rivo berpikir sejenak. "Sekitar enam bulan yang lalu." Mendadak aneh dengan si bungsu. "Ada apa emangnya? Tiba-tiba bertanya begitu?"

"Hm, iseng saja." Refan menatap serius Rivo. "Sebenarnya, aku hanya nggak ingin ada masalah. Karena takut terulang kembali." Setelahnya, Refan pergi ke kamar.

Risa terdiam, dan paham dengan maksud Refan. Lalu melirik Rivo yang menghela napas gusar, setelah mendengar penuturan Refan tadi.

"Ada apa?"

"Hm, entahlah." Rivo hanya membalas begitu.

****

Rafan terlihat duduk terdiam di tempat tidur Asya. Baru saja terbangun, setelah rasa kantuk menyerangnya akibat pusing belajar bisnis. Lalu melirik ke arah jam dinding di kamar Asya, ternyata sudah pukul delapan malam.

Rafan mengernyit heran, saat Asya berdiri di hadapannya. "Apa?"

"Namanya siapa?" Asya mendorong Rafan hingga berbaring lagi, kemudian menindihnya dan memeluk erat.

Rafan berpikir sejenak, kemudian membalas, "Tanya Refan saja." Lalu berganti posisi menyamping. Tangannya, mulai menyentuh wajah Asya.

Asya langsung terpejam, saat wajahnya disentuh lembut oleh Rafan. Lalu menatap Rafan lagi, ketika bibirnya diusap pelan.

"Yang jelas dia dari keluarga Ambara." Rafan kembali berbicara, mulai mendekatkan wajahnya dan masih mengusap pelan bibir Asya.

Asya belum merespon, justru mengelus pipi hingga menjalar leher Rafan. "Hm, Ambara ya?” elusannya merembet hingga punggung tegap Rafan—kembali memeluk. “Aku mencoba agar nggak cemburu yang berlebihan, tetep aja susah dan sebel." Lalu membungkam bibir Rafan.

Rafan agak tersentak, saat Asya mengigit pelan, memperdalam dan ciumannya berubah menjadi liar.

Asya masih asyik mendominasi Rafan lagi, sekaligus meluapkan kekesalan—cemburu. Kemudian berhenti dan kini membenamkan wajahnya di dada bidang Rafan, menurutnya sangat nyaman. Tangannya lancang, menyelinap dan menggerayangi tubuh biseps Rafan.

Rafan membiarkan, dan semakin mendekap Asya. Bahkan menjadikan lengan kirinya sebagai bantal, tangan kanannya mulai menyisir lembut. Selagi Asya asyik dengan menggerayangi, bahkan sengaja melepas kaus hingga benar-benar bertelanjang dada.

Asya kembali mendongak untuk menatap Rafan sebentar, kemudian membenamkan wajahnya lagi. Lalu teringat, cerita Vio tentang Refan dulu yang masih manja sekali, bila sedang tertekan pasti minta digendong, dan tidur dengan Rafan.

Pantas saja manja terus.

Asya tersenyum tipis, semakin melesak ke dalam dekapan Rafan—seperti biasa selain menggerayangi, kini mengecup dan menggigit gemas.

Mereka berdua mulai lebih intim, melepas rindu dan kekesalan efek kemunculan orang asing. Bukan berarti akan kebablasan melakukan. Walau bisa dikategorikan hampir, Rafan membiarkan bukan berarti tidak bernafsu—lebih tepat menahan diri.

“Puas?” Rafan bertanya sembari mengecup bibir Asya berulang-ulang, merembet ke leher jenjangnya.

“Ya,” balasnya, seketika melenguh saat merasakan gigitan kecil merembet ke bahu. Mengingat libur, seharian ini Asya hanya mengenakan piama. Entah sejak kapan, sedikit terbuka hingga memperlihatkan bahu—setengah tertutup.

Rafan kembali menatap intens Asya, beralih ke leher Asya dan kini jari tangannya mulai menyentuh. Asya terusik, langsung menggenggam tangan Rafan yang sempat menyentuh lehernya. "Kau belum makan 'kan?"

"Ya, tapi aku nggak lapar." Rafan membiarkan tangannya digenggam Asya.

Rafan menindih dan merangkul pinggang Asya.

Asya tersenyum kecil, mulai mengelus lembut kepala Rafan. "Nggak pulang?" tanya Asya pelan.

"Hm, sebentar." Rafan membuat wajahnya berdekatan dengan Asya, lalu membungkam sebentar bibir Asya. Lalu menyingkir dan memakai jaket hitamnya lagi. Kemudian keluar, dengan Asya juga. Teringat, tadi sore datang melalui balkon.

Saat melewati ruang tengah, langkah mereka terhenti. Mendadak Azdi bertanya sesuatu. Bisa dikatakan, ingin mencoba mengobrol dengan Rafan.

"Dunia bisnis menurutmu gimana?"

"Hm, merepotkan." Rafan mendadak malas, karena ditanya dunia bisnis lagi.

Azdi hanya tersenyum kecil, tadi sempat datang ke Xander Corp. Lucu sendiri, melihat Rafan terus menggerutu kesal saat memahami materi bisnis.

"Tapi menyenangkan ya?" Azdi berbicara lagi.

"Apanya yang menyenangkan? Ditemani tumpukan kertas?" Rafan kesal, malas sekali melihat tumpukan kertas meskipun itu semua penting dan berharga. Berbagai macam jenis laporan, membuat Rafan pusing melihatnya.

"Mungkin saja." Azdi kembali ke ruang kerja, karena teringat ada sesuatu yang belum dikerjakan.

Rafan masih kesal karena ditanya tentang bisnis lagi, lalu melirik ke arah Asya asyik menertawakan dirinya. "Puas sekali menertawakanku?"

"Maaf, deh." Asya berhenti tertawa.

"Hm, iya." Rafan berniat pulang. Namun, terhenti dan berbalik menatap Asya.

Asya heran dengan Rafan, baru saja ingin bertanya. Langsung tidak jadi, karena Rafan mengecup bibirnya. Rafan menjauhkan wajahnya, mulai tersenyum kecil. Karena melihat wajah Asya kembali memerah.

"Kau ini." Asya terkejut dan sebal bila ada yang melihat Rafan menciumnya.

"Tapi suka 'kan?" Rafan semakin usil.

"Kok jadi ngeselin banget sih!" Asya semakin heran dan sebal.

"Entahlah." Rafan langsung pamit pulang.

Sedangkan Asya semakin sebal. Walau sebenarnya, suka dengan perlakuan Rafan tadi. Terbukti, wajahnya kembali memerah.

"Ih kakak, wajahnya merah banget?" Aksa mulai usil.

"Sejak kapan kau di sini?" Asya tidak menyangka Aksa sudah berada di ruang tengah.

"Ehm, dari tadi." Aksa semakin menatap usil. "Bisa dibilang saat Rafan mengobrol dengan ayah sebentar, aku masuk loh. Jahat banget sih, nggak merasakan kehadiranku!"

"Ih, masa? Beneran loh, nggak melihat kau datang." Asya benar-benar tidak sadar. "Kau dari mana?" Asya kumat lagi.

"Rahasia." Aksa masih tidak mau menjawab.

"Dih! Kok rahasia lagi sih!" Asya semakin sebal dengan Aksa.

"Suka-suka dong." Aksa langsung masuk ke kamarnya, tetapi terhenti dan mulai menatap usil Asya.

Asya menduga sesuatu, dari tatapan usil Aksa. "K-kau me-melihatnya?" Asya mulai gugup dan malu.

"Hm, bisa jadi." Setelah berkata begitu, Aksa kembali masuk ke kamarnya. Yang dikatakannya benar. Aksa melihat Rafan mengecup bibir Asya, dan itu tidak sengaja.

Asya terdiam, semakin malu karena Aksa melihatnya. Lalu orang tuanya datang dan menatap heran dirinya.

"Kenapa?"

"Nggak!" Asya langsung berlari masuk ke kamarnya.

"Dia kenapa?" Arina heran dengan Asya, karena wajahnya merah sekali.

"Entahlah." Azdi hanya mengangkat bahu, karena tadi kembali ke ruang kerja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status