Share

Bab 04

Tengah malam, Rafan masih terjaga. Seperti biasa insomnianya kambuh, "Hm, rasa takut ya?" Berpikir sejenak, sekaligus berusaha menebak sesuatu. "Sepertinya akan sedikit berbeda, tapi ...."

Rafan tidak melanjutkan ucapannya, lalu melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Ternyata sudah pukul tiga pagi.

"Cepat sekali ya?" Beranjak dari duduknya, melompat begitu saja dan melangkah santai menuju halaman belakang rumahnya. "Hm, hm, hm," gumam Rafan mulai berjalan santai—sesekali berlari-lari kecil. Terus melakukannya, hingga para pelayan mulai beraktivitas.

"Sejak kapan di luar?" Rivo kebetulan sedang ada waktu luang, bisa bersantai di rumah.

"Malam," balas Rafan singkat, masih betah duduk di teras rumah.

"Insomnia lagi kah? Nggak bisa kau hilangkan?" Rivo tidak suka, anak sulungnya terus-menerus insomnia.

"Nggak tau, sudah mencoba untuk tidur tetap saja susah." Setelahnya, Rafan masuk.

Rivo hanya menghela napas gusar, karena anak sulungnya selalu sulit tidur. Kemudian, masuk dan pergi ke ruang makan untuk sarapan bersama. Lalu terusik saat Risa menatap heran.

"Kenapa?" Risa mulai mendudukkan diri di sebelah Rivo.

"Rafan insomnia lagi," jelas Rivo, sesekali mengusap pelan wajahnya.

"Lagi ya? Pantas saja, terlihat dari luar rumah tadi." Risa sempat berpapasan dengan Rafan, ingin bertanya tetapi keburu masuk. Ditambah, mendadak heran saat melihat Refan yang keluar dari kamar Rafan.

"Iya, tadi ayah melihatnya sedang duduk di teras rumah." Rivo kembali menjelaskan, lalu melirik ke arah Refan sudah rapi dan bersiap makan. "Tidur dengan kakakmu lagi kah?"

"Iya, sekali doang kok. Sepertinya, lebih cocok dibilang tidur sendiri, soalnya kakak nggak pernah tidur."

****

Asya asyik  sendiri di toko buku langganannya. Setelah menemukan buku referensi untuk menambah rangkuman, terkadang masih kurang materi dari dosen. Juga, dosen suka lupa membagikan rangkuman materi yang dijelaskan. Sekarang sedang mencari novel baru untuk tambahan koleksinya. Asya berhasil menemukan tiga novel yang membuatnya tertarik. Kemudian, pergi ke kasir untuk membayar dan bergegas untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti saat ada seseorang yang mendekatinya.

"Alisya Givano kah?" Laki-laki seumuran dengan Asya mulai menyapa.

Asya masih terpaku, lambat laun familier. Hingga tersadar, saat baru saja dipanggil dengan nama lamanya.

"Kau lupa denganku?" Laki-laki itu, kembali menatap serius Asya. Walau agak heran, saat Asya diam saja dan seperti terkejut.

"Hm, Bagas ya?" Asya mulai ingat teman lamanya, saat masih kelas enam SD.

"Kupikir kau lupa." Bagas tersenyum senang, lagi pula dulu akrab dengan Asya ketika baru naik kelas enam SD saja. Sebelumnya, hanya berpapasan dan tidak mencoba akrab meskipun sekelas. "Kau selama ini masih hidup? Kenapa saat itu, keluarga Givano diberitakan telah meninggal?"

Asya membeku, saat Bagas berbicara hal itu lagi lagi. Entah kenapa, teringat kejadian pahit yang menimpa keluarganya—dulu. Mencoba untuk tenang, dan bersikap biasa. "Ya, aku masih hidup, dan ... namaku bukan Alisya lagi, tapi Asya. Jadi, bisa berhenti memanggil dengan nama lamaku?"

"Kenapa?" Bagas menatap bingung.

"Ehm, nggak." Asya berusaha tetap tenang.

Bagas malah semakin heran. "Kau kenapa?" Saat melihat Asya—tidak tenang.

"Nggak, aku pulang dulu." Asya langsung pergi begitu saja, meninggalkan bagas.

Bagas hendak memanggil Asya, tetapi tidak jadi. Karena Asya sudah tidak terlihat, setelahnya Bagas memutuskan untuk pergi, meskipun mulai penasaran dengan tingkah Asya tadi.

Asya terus berjalan menuju rumahnya, tetapi terhenti saat tidak sengaja menabrak seseorang. Lalu mendongak dan tidak menyangka yang ditabraknya adalah Rafan, tanpa pikir panjang langsung memeluk erat.

Rafan mengerutkan kening, kemudian membiarkan Asya memeluknya. Mulai mengelus lembut kepalanya. "Kenapa?" Rafan mulai aneh, itu sebabnya memutuskan untuk bertanya.

"Nggak tenang, karena bertemu ... seseorang. Bahkan, dipanggil dengan nama lama." Asya semakin memeluk erat Rafan.

"Teman lama kah?" tebak Rafan, membalas pelukan dan terus mengelus lembut kepala Asya. "Kau teringat, kejadian itu lagi?"

"Iya, dan tiba-tiba bertemu dengannya lagi." Asya mengiyakan, lalu melepas pelukannya karena sudah agak tenang. "Kau mau ke mana tadi?"

"Hanya ingin jalan." Rafan berkata jujur, lalu menggenggam tangan Asya dan mengantarnya pulang. "Sudah tenang?"

"Iya, meskipun masih sedikit teringat." Asya membalas genggaman tangan Rafan.

Mereka terus berjalan, hingga sampai kediaman Adriano. Rafan menyuruh Asya masuk, anehnya malah diam di depan gerbang.

"Kenapa lagi?" Rafan langsung mendekap Asya.

"Kau masuk juga," pinta Asya, semakin melesak ke dalam dekapan Rafan.

Rafan mengiyakan, langsung melepas pelukannya dan masuk. Bahkan membiarkan, saat ditarik oleh Asya. "Sepi?"

"Iya, ibu ikut ayah. Kalau Aksa, nggak tau ke mana." Asya mengambil pakaian ganti, dan masuk ke kamar mandi.

Rafan memilih ke balkon, sambil melirik sekitar perumahan. Lalu terusik, saat Asya memeluknya dari belakang. Kemudian berbalik, dan membalas pelukan Asya.

"Tetap di sini ya?" Asya masih ingin memeluk Rafan, lalu menariknya agar ikut berbaring dengannya.

Rafan membiarkan, karena tahu Asya masih tidak tenang. Lega, karena Asya mulai tertidur. Terbukti, semakin melesak ke dalam dekapannya. Rafan terus menatap, sesekali menyentuh pelan wajah Asya.

Setelahnya, melepaskan diri perlahan. Beranjak keluar dari kamar Asya, memilih duduk sejenak di ruang tengah. Hingga terdengar suara mesin mobil, tidak lama kemudian Orang tuanya Asya muncul.

“Asya mana?” tanya Arina, hanya melihat Rafan di ruang tengah.

“Tidur.” Rafan hanya membalas singkat. Setelahnya, Rafan pamit pulang.

Rafan terus melangkah ke manapun, niat awal memang ingin berkeliaran. Sempat tertunda untuk mengantar Asya pulang dulu dan menemaninya sebentar.

Hm, teman lama kah?

Rafan mulai berpikir positif mengenai sesuatu hal, sesekali mendengkus pelan, mencoba untuk mengabaikan. Agar tidak memicu dirinya sendiri, untuk memikirkan hal negatif. Rafan hendak pergi lagi, tetapi terhenti saat Aksa mendekat dan menatap serius. “Apa?”

“Saat belajar bisnis, kau didekati oleh anak dari salah satu pebisnis ya?” tanya Aksa spontan.

Rafan mendengkus kesal, karena Aksa bertanya hal itu. “Ya, bisa jangan bicarakan hal itu lagi?” Tiba-tiba kembali badmood.

“Baiklah, tapi aku bertanya untuk memastikan sesuatu.” Aksa merasa sesuatu, akan tetapi malah lupa. “Perempuan kan? Putri dari keluarga Ambara ya?” tebak Aksa.

“Ya.” Rafan mulai mengamati raut wajah Aksa, setelah mengiyakan. Aksa seperti mencoba mengingat sesuatu.

Aksa memilih menepisnya dulu, meskipun masih ingin mengingat sesuatu yang tanpa sadar dilupakan olehnya. “Aku pulang dulu.”

“Jangan terlalu dipikirkan,” celetuk Rafan.

“Kau menebak ya?” Aksa menatap serius. “Langsung tau maksudnya?”

“Hm, mungkin.” Rafan terdiam sebentar. “Intinya seperti itu ... ehm, lupakan.

Aksa berdecak kesal, dalam sekejap menyipitkan matanya. “Kau jadi aneh.”

Rafan loading sejenak. “Iya kah?” Jujur, tidak sadar dengan hal itu.

“Iya.” Aksa dengan cepat meyakinkan Rafan..

“Lalu ingin gimana? Selalu saja dibilang aneh,” balas Rafan, mulai kesal sendiri.

“Hm, bukan begitu. Hanya saja, aku penasaran ....” Aksa tidak melanjutkan ucapannya.

Rafan mulai mengernyit heran. “Hm, penasaran apa?” Walau sebenarnya, sudah menduga sesuatu.

“Sifatmu perlahan agak berubah, apa pernah kau kembali terpikir untuk melakukan kebiasaanmu ... dulu?” Aksa penasaran dengan sisi mengerikan Rafan, jujur Aksa agak was-was. Mulai merasa kalau Rafan sewaktu-waktu bisa kembali ke jati diri aslinya, yang amat mengerikan.

“Oh itu ya.” Rafan terdiam sebentar, tidak menyangka Aksa akan bertanya soal dirinya yang sebenarnya. Rafan menghela napas sejenak, manik hitamnya mulai melirik serius Aksa. “Aku memang masih berprinsip, tapi agak berbeda dan bukan berarti ... aku sudah tidak melakukannya lagi.” Setelahnya, Rafan memilih pergi.

Aksa terdiam mendengarnya, merasa benar akan terjadi lagi. “Tunggu! Maksudmu, berbeda itu gimana?”

“Bukan berbeda sih, yang jelas ... ehm, lupakan saja.” Tanpa menoleh ke arah Aksa, Rafan langsung pergi cepat sekali.

Aksa hanya menghela napas pasrah, dan memilih pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status