Share

Bab 02

Asya kembali menggerayangi biseps di tubuh Rafan, sesekali terpaku pada bekas luka kini terkesan menjadi tato alami di setiap jengkal tubuh Rafan. Kemudian membenamkan wajahnya, sesekali mengecup dan menggigit gemas.

Rafan tadinya kembali mengabaikan, kini terusik. Lebih tepat, ikut merespon apa yang Asya lakukan terhadapnya. Untuk membalasnya, Rafan memilih mengincar leher jenjang Asya.

Asya suka, itu sebabnya selalu memancing Rafan. Kini menggeliat dan semakin memberi ruang untuk Rafan.

“Sengaja kah?” bisik Rafan, dianggap tidak pernah peka karena selalu mengabaikan bukan berarti tidak paham.

“Ehm ya.” Asya mendorong Rafan dan menindihnya. Mendadak ingin mendominasi—eh?

Rafan sendiri membiarkan Asya melakukan apa yang disukainya.

"Jalan-jalan yuk?" ajak Asya, seperti sudah puas setelah asik menggerayangi tubuh kekar dan berotot Rafan.

Rafan mengangguk, langsung bangun dan mengambil kaus tanpa lengan dan jaket hitam.

Asya membawa peralatan makan tadi, dan pergi ke dapur sebentar. Diikuti Rafan di belakangnya.

"Kenapa tidak gabung tadi?" tanya Risa, sambil mengelus lembut kepala Rafan.

"Hm, malas." Rafan membalas begitu, lalu menarik Asya.

"Kalian mau ke mana?" tanya Risa lagi.

"Hanya jalan-jalan sebentar." Asya yang menjawab, karena Rafan diam saja.

"Oh gitu." Risa saat melihat anak sulungnya keluar dari kamar. Merasa kalau wajah Rafan, agak terlihat badmood dan tidak tenang. Namun lega, karena ada Asya yang bisa menenangkan Rafan.

Rafan terus menggenggam erat tangan Asya, saat berjalan melewati ruang tengah. Jujur, kembali jengkel karena ditatap lagi. Namun, terpaksa menghentikan langkahnya saat Rivo bertanya.

"Ke mana lagi nih?" Rivo penasaran.

"Mana saja." Rafan membalas singkat, berjalan lagi sambil menarik Asya.

Rivo membiarkan, sudah menduga kalau Rafan badmood karena rumah ramai orang.

Asya terus mengikuti langkah Rafan, tetapi sempat melirik ke arah lain dan berhenti melangkah, karena merasa ditatap oleh seseorang.

"Kenapa?" Rafan heran.

"Hm, nggak." Asya tersenyum kecil, lalu mengajak Rafan jalan lagi.

Ternyata, perempuan yang terus menatap Rafan. Mulai beralih menatap Asya. "Hm, mereka benar-benar dekat ya?" Lalu berbalik dan memilih bergabung dengan lainnya lagi.

Namun, tersentak saat berpapasan dengan Refan. Kemudian langsung pergi.

Refan semakin menatap selidik perempuan tadi. "Dia yang membuat kakak jengkel." Refan tahu hal itu, karena saat Rafan pulang dari hutan dan masuk ke kamar. Perempuan itu terus menatap Rafan.

"Kenapa?" Aksa heran dengan Refan, karena menatap selidik ke arah perempuan.

"Perempuan tadi, terus menatap kakak." Refan berkata jujur. "Aku takut, perempuan tadi akan semakin mendekati kakak dan membuat kakak nggak nyaman." Refan tidak mau hal itu terjadi, di sisi lain takut memicu emosi Rafan lagi.

"Hm, begitu kah?" Aksa mulai tidak suka dengan perempuan itu, setelah mendengar penuturan Refan tadi.

"Iya." Refan mengiyakan.

Rafan dan Asya memilih duduk di taman komplek perumahan. Kebetulan tidak didatangi orang banyak, karena sudah malam juga.

Rafan terpejam dan menikmati ketenangannya, Asya mengelus lembut kepala Rafan. Sengaja, agar Rafan semakin tenang. Namun, tersentak saat Rafan tiba-tiba mengumpat kesal.

"Kenapa lagi?" tanya Asya.

Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius Asya. "Kau akan terus bersamaku 'kan?"

"Tentu saja." Asya mengelus lembut wajah Rafan. "Kenapa bertanya begitu?"

"Ingin saja." Rafan tersenyum tipis. "Hanya kau perempuan pertama yang membuatku nyaman. Bahkan, mau membantuku agar sembuh. Aku nggak tau apa yang akan terjadi, bila terpisah darimu."

Asya senang dan agak malu saat mendengar penuturan Rafan. "Aku tetap akan bersamamu, aku kan menyukaimu, untuk apa pergi meninggalkanmu?"

Rafan mendekap erat Asya dan membungkamnya sejenak. “Pulang?”

Asya mengangguk.

"Jadi, kau dengan Asya habis ke mana tadi?" tanya Risa penasaran lagi, setelah melihat si sulung pulang dan kini sendirian.

"Taman komplek." Rafan membalas singkat, lalu merebahkan diri di sofa yang kebetulan ada Refan yang berbaring duluan.

Risa memilih pergi, tersisa hanya Rafan dan Refan saja.

"Kakak jengkel karena ditatap oleh perempuan ya?" tanya Refan spontan.

"Iya, terus-menerus menatapku. Aku nggak suka itu, dan terkesan seperti ada sesuatu." Rafan berkata jujur.

"Sesuatu apa?" Refan mulai penasaran.

"Entahlah, baru dugaan saja." Rafan kembali diam. "Kau usir dia, bila mendekatiku ya? Apa lagi, saat belajar bisnis nanti." Rafan benar-benar tidak nyaman dengan perempuan itu.

"Iya, tenang. Kakak nggak akan diganggu lagi. Nah, saat belajar bisnis nanti, aku akan di dekat kakak terus." Refan tidak akan membiarkan Rafan tidak nyaman dan memicu emosinya.

Keesokan harinya Rafan mengikuti Refan, menuju ruangan Rivo.

Terakhir kali ke sini, saat aku melakukan balas dendam. Selebihnya, nggak pernah ke sini lagi.

Rafan teringat hal itu lagi, sambil terus menyamakan langkah kaki Refan. Mood-nya kembali buruk, karena perempuan itu menatap lagi. Sejak datang terus-menerus ditatap oleh perempuan itu. Rafan mencoba tenang, tetapi tetap saja gagal. Refan yang melihat itu, langsung paham. Sesuai janjinya tadi malam, akan terus didekat Rafan.

"Hari ini saja, setelahnya kau bebas mau datang kapan saja." Rivo berkata begitu, karena ditatap kesal oleh Rafan.

"Hm." Rafan hanya membalas begitu.

Rivo memaklumi, sesekali mengelus lembut kepala Rafan. Lalu menyuruh anak kembarnya untuk bergabung dengan anak pebisnis lainnya.

Selama mempelajari materi bisnis. Refan yang sebelumnya sudah mencoba, lucu sendiri melihat Rafan semakin badmood akibat mempelajari bisnis.

Benar-benar merepotkan!

Rafan menatap malas beberapa tumpukan kertas, alias poin-poin penting dalam berbisnis.

Rivo diam saja, sedari tadi menatap anak sulungnya yang raut wajahnya semakin badmood. Lagi pula, tidak akan memaksa. Setidaknya, anak sulungnya mau berkunjung lagi ke Xander Corp.

****

Sore pun tiba, bagi Rafan adalah kebebasan setelah berusaha memahami poin penting dalam bisnis. Rafan terlihat duduk diam, berusaha menenangkan pikirannya. Sambil mengabaikan tatapan, dari anak perempuan dari rekan kerja Rivo. Tetapi, anak pebisnis lain juga.

Rafan refleks melontarkan umpatan kekesalan, karena perempuan itu mendekatinya. Bahkan, dengan santainya duduk di sebelahnya.

"Rafan Alexander ‘kan?" tanya perempuan itu alias Liana dari keluarga Ambara.

Rafan mengabaikan, dan pergi begitu saja. Namun, terhenti karena Liana menghalangi.

"Nggak sopan loh, mengabaikan orang yang mau berkenalan," celetuk Liana.

Rafan tetap diam.

Liana kesal karena didiamkan, saat ingin mengobrol lagi. Terhenti karena Refan datang dan berdiri di sebelah Rafan, dan menatap serius Liana.

"Mau apa?" tanya Refan spontan.

"Mengobrol dengan kembaranmu itulah," balas Liana.

"Oh." Refan hanya membalas begitu, lalu melirik Rafan yang semakin diam dan kesal karena diganggu. Bahkan, pergi lagi.

Refan kembali menatap Liana. "Kau bisa liat 'kan? Kakak nggak ingin diganggu." Setelahnya, pergi menyusul Rafan.

Liana berdecak kesal, karena sulit mendekati Rafan. "Pergi lagi!"

Rafan duduk dengan tatapan datarnya, di ruangan Rivo. Benar-benar badmood dan ingin pergi.

"Kenapa sih?" Rivo menatap heran, karena Rafan masih badmood.

"Sudah selesai ‘kan?" Rafan malah balik tanya.

"Iya." Rivo mulai paham, kalau Rafan ingin pergi.

Rafan langsung memakai tudung kepala dari jaket hitamnya, berjalan menuju balkon ruang kerja Rivo.

"Eh, mau pergi ya?" celetuk Raskal, sedari tadi ada di ruangan Rivo dan duduk di sebelah Refan, bahkan terus menatap lucu dengan tingkah Rafan.

"Diam kau!" Rafan menatap kesal, kemudian melompat dan pergi dari Xander Corp.

Raskal semakin terkekeh geli, lalu menatap Rivo. "Butuh waktu yang lama, bagi orang yang biasanya terjun ke dunia gelap, kali ini jadi dunia bisnis." Raskal berkata begitu, karena sudah mengalaminya.

"Iya, butuh waktu lama dan semoga saja bisa." Rivo mengiyakan perkataan Raskal.

****

Asya saat itu asik duduk di balkon kamarnya. Sambil memakai earphone dan fokus dengan novel yang dibacanya. Langsung tersentak saat ada seseorang muncul dan duduk di belakangnya. "Rafan!"

Rafan diam saja, langsung memeluk dari belakang. Mulai membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya. Asya membiarkan, sambil melepas earphone yang dipakainya dan menutup novel yang dibacanya. Sesekali menahan geli, karena hidung Rafan bersentuhan dengan lehernya.

"Kenapa?" tanya Asya.

"Jengkel." Rafan semakin memeluk erat dan bermain di leher Asya. Namun, terhenti karena Asya melepas pelukannya dan berbalik.

"Mendekatimu ya?" Asya mengelus lembut kepala Rafan, lalu menariknya ke dalam pelukannya.

"Iya." Rafan kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya. Perlahan tertidur, karena ngantuk berat.

Asya yang menyadarinya, hanya tersenyum lucu. "Ayo masuk." Asya menarik Rafan, agar masuk ke kamarnya.

Rafan menurut saja, tetapi malah duduk diam di tempat tidur Asya.

"Tadi ngantuk 'kan?" Asya menatap heran, lalu tersentak saat ditarik Rafan dan ikut berbaring juga.

"Diam!" Rafan kembali memeluk dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status