Share

Bab 01

"Kau ke sini lagi eh?" Raskal bersama beberapa anak buahnya, ternyata ada di hutan juga.

"Masalah?" Rafan melirik datar. "Kau ngapain?"

"Hm, ingin saja ke hutan. Tidak menyangka, bisa melihatmu asik liar lagi." Raskal, sejak awal penasaran dengan Rafan.

Rafan mengabaikan Raskal dan anak buahnya mendadak muncul, yap seperti yang dikatakan sebelumnya. Kembali menjadi liar bukan berarti akan kembali melakukan hal buruk dan gila di mata orang awam. Sejak kemarin sore hingga pagi tiba, terkadang bisa 24 jam. Kalau dulu benar-benar betah, karena dasarnya terasingkan—ah bukan! Lebih tepat, mengasingkan diri.

Rafan liar sekaligus melakukan hal ekstrem—tak ayal melatih kemampuan dan ketahanan tubuhnya. Kini terhenti dan duduk bersandar di dahan pohon. Mulai menghirup udara segar di pagi hari, sesekali melirik Raskal yang sedari tadi mengamati, ikut duduk di dahan pohon lain. Anak buahnya? Entah pergi ke mana.

Raskal mencoba akrab dengan Rafan. "Kau lulus 'kan? Kau mau melakukan apa?"

Rafan paling anti berbasa-basi, terbukti matanya semakin menyorot datar dan malas. "Kau penasaran sekali denganku?"

"Iyalah, habisnya kau itu sulit ditebak." Raskal membenarkan hal itu, karena sulit memahami jalan pikiran Rafan.

Rafan kepikiran perkataan Rivo lagi. "Mungkin mencoba bisnis, kebetulan ayah menyuruhku mencoba."

"Dari dunia gelap, menjadi dunia bisnis—eh." Raskal mulai meledek Rafan.

Rafan berdecih kesal, karena menjadi bahan ledekan mafia tua itu. "Diam kau!" Menyesal karena merespon mafia menyebalkan itu!

Raskal terkekeh, karena berhasil memancing emosi Rafan. bukan emosi mengerikan, melainkan ingin melihat Rafan mengekspresikan diri. Raskal lelah diabaikan—eh?

Selain itu, alasan lain. Efek mulai biasa dengan perubahan Rafan. Raskal suka sekali, menyuruh anak buahnya—mengintai ke manapun Rafan pergi. Menurutnya, Rafan memang berubah, tetapi terkadang masih terlihat dingin dan ketus. Terbukti tadi, saat mencoba meledeknya.

Bisa saja mengerikan lagi?

Raskal mengubah jalan hidup, dengan keluar dari dunia gelap. Bukan berarti hasrat mengerikannya dulu dan hobi melihat hal brutal—sadis apapun lenyap, nyatanya masih ada. Bahkan, ingin lagi bisa mencoba menyerang Rafan seperti dulu untuk dikendalikan. Intinya, hasrat itu masih ada. Namun, ditepis. Karena saat ini, bisa berada di dekat target—istilahnya Rafan itu berlian. Baginya sudah cukup.

"Nanti rumah ramai loh," celetuk Raskal.

"Rapat lagi ya?" tanya Rafan dengan malasnya.

"Ya." Setelahnya, Raskal pergi duluan bersama anak buahnya mulai bermunculan lagi.

Rafan masih asik duduk di dahan pohon. Jujur, malas sekali dan jengkel bila rumah ramai. Bisa saja memilih tidak pulang, tetapi kalau dilakukan Risa akan mengkhawatirkannya.

"Kau mengagetkan saja!"

Rafan melirik sejenak, kemudian melengos dan pergi. Walau tahu kemunculannya ini selalu mengagetkan orang lain. Terbukti, tidak hanya Aksa, tetapi beberapa anak rekan kerja juga terkejut melihat Rafan datang dengan tidak biasa.

Rafan terus melangkah, juga menyadari kalau Asya mengekori. Ah iya, berubah bukan berarti akan semakin terbiasa dengan hal baru. Terlebih lagi, mengenal Asya. Terkadang, Rafan masih suka—terkesan mengabaikan.

"Kapan pulang?" tanya Rivo, saat melihat kemunculan si sulung.

"Baru." Rafan membalas singkat, sembari terus melangkah ke lantai dua—ke kamar bersama Asya yang masih mengikuti. Namun, terhenti sejenak di anak tangga pertengahan. Hal itu membuat Asya heran.

Asya sedari tadi diam, kini heran. “Kenapa?”

Rafan mendengkus. “Jengkel dengan sesuatu hal.” Kembali melangkah.

"Coba biasakan." Asya tersenyum kecil, melihat Rafan berbaring telungkup.

"Malas." Rafan langsung menarik Asya, agar ikut berbaring juga. Mulai melakukan hal yang disukainya, yap membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya.

“Kudengar kau akan mencoba bisnis?”

Rafan hanya berdeham, memilih asik dan sengaja melesak dalam dekapan Asya.

“Percobaan bagus. Bisnis memusingkan, tapi nggak buruk loh.” Asya melirik heran, karena tidak ada balasan. “Tidur kah?”

Rafan terlelap pulas, Asya pasrah karena sudah biasa diabaikan. Lambat laun tersenyum simpul, jari telunjuknya mulai menelusuri lekuk wajah Rafan. Mendadak tertawa pelan, melihat tidur Rafan terusik.

“Diam!”

“Abisnya kau mengabaikanku terus sih!”

Rafan kini berbalik memunggungi Asya, dan tidur lagi.

Tidak terasa, Rafan terlelap hingga sore—hampir malam. Efek insomnia, membuatnya sulit kembali mengatur pola tidur sehatnya.

Rafan ke balkon sejenak dan melirik ke arah anak pebisnis yang berkeliaran. Mendadak jengkel saat ada yang menatapnya. Yap, orang yang sama seperti tadi saat dirinya pulang. Rafan semakin jengkel, memilih masuk ke kamarnya lagi.

"Dia masuk lagi." Seseorang yang dimaksud Rafan, mendengkus kesal dan memilih bergabung dengan anak pebisnis lainnya. "Mungkin, lain waktu bisa mengobrol atau mungkin dekat dengannya ya?"

Rafan yang masih jengkel kelakuan orang asing—meskipun anak rekan bisnis Rivo. Tetap saja, semuanya asing. Seketika terusik saat Asya datang dan ternyata membawa makanan untuknya.

"Kau belum makan 'kan?" Asya, disuruh Risa ke kamar Rafan lagi, sekalian membawa makanan.

"Hm, nanti." Rafan masih badmood.

Asya menghela napas pasrah, seketika menatap heran, karena melihat Rafan badmood. “Kau kenapa?”

“Hanya jengkel.” Rafan melirik serius Asya. "Ya, menjengkelkan, aku nggak suka bila dia menatapku terus." Rafan berkata jujur.

"Perempuan?" tebak Asya.

Rafan mengangguk, benar saja semakin badmood.

Asya mulai ada rasa tidak suka, saat mendengar ucapan Rafan bila ada anak pebisnis yang mulai menatap Rafan—terlebih lagi perempuan. Namun, menepisnya karena tidak ingin terkontrol rasa cemburunya.

"Tenanglah." Asya mengelus lembut kepala Rafan.

Rafan hanya diam, kemudian merangkul erat Asya. Kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Asya.

"Makan dulu." Asya tidak mau, Rafan sakit karena telat makan.

"Iya." Dengan malasnya, Rafan melahap makanan yang Asya bawa tadi.

Asya tersenyum kecil, tangannya terulur lagi untuk mengelus lembut kepala Rafan. Mulai lucu sendiri, melihat Rafan makan dengan raut wajah badmood.

Rafan berhenti makan, dan mengernyit heran. “Apa?”

"Kau lucu." Asya berkata jujur, sembari memperlihatkan senyuman usil.

"Ya, ya, terserah kau saja." Rafan mulai tersenyum tipis, sepertinya mood-nya kembali bagus. “Kuliahmu bagaimana?”

Asya tidak menyangka Rafan bertanya hal itu, mengingat setelah kelulusan Rafan tidak mau mencoba masuk dunia perkuliahan. Anehnya, langsung mencoba menggeluti dunia bisnis. “Ya, menyenangkan di awal.”

Rafan dasarnya sulit berbasa-basi, memilih diam dan menghabiskan makanannya.

“Rafan.”

Yang dipanggil hanya berdeham dan mengerutkan kening.

“Cuma mau manggil.” Asya mulai iseng—eh?

Yang menjadi korban iseng, hanya mendengkus. Seketika terusik saat Asya menghamburkan diri ke arahnya. Mendekatkan wajah dan ya, mendusel ke wajahnya dan berakhir bertatapan. “Apa?”

“Mendadak sebel.”

Rafan berhasil dibuat bingung.

Asya sudah menduga akan terjadi. “Sebel karena ada yang menatapmu.” Kemudian memeluk erat Rafan. “Aku senang, kau mulai dikenal baik oleh semua orang. Tapi, tetep aja aku cemburu kalau ada perempuan lain yang menatapmu.” Asya akhirnya jujur di awal, jari telunjuknya iseng menyentuh dada bidang Rafan yang tidak tertutupi apapun.

Rafan malah tertawa. “Perempuan lain? Mana mungkin aku akan semudah itu dekat dengan perempuan lain? Dengan kau aja, butuh waktu lama. Itu juga, karena kau terus mengusik.”

Asya mendadak tersipu—eh? Meskipun, sering kali diabaikan. Ini yang sangat disukai Asya, Rafan tanpa sadar selalu mengatakan hal manis terhadapnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status