"Sebaiknya kau pergi dari hadapanku!" bentak seorang pria paruh baya penuh amarah. Dua bola matanya menatap tajam kepada seorang pemuda yang ada di hadapannya.
"Jangan banyak bicara, Panglima! Aku tidak mungkin pergi begitu saja dari hadapanmu, sebelum aku membinasakanmu." Pemuda itu balas membentak sambil berkacak pinggang penuh kesombongan.
Dia adalah Andaresta, dan pria paruh baya yang tengah berhadapan dengannya adalah Panglima Rakuti yang memiliki gelar Senapati Guna Yaksa di kerajaan Genda Yaksa. Entah apa penyebabnya? Tiba-tiba saja mereka terlibat dalam sebuah pertengkaran.
Panglima Rakuti semakin geram saja melihat sikap Andaresta yang berlaku sombong dan tidak sopan terhadap dirinya. Lantas, ia pun kembali membentak pemuda itu, "Aku muak melihatmu, kau sudah mengkhianati kepercayaanku selama ini. Pergilah dari hadapanku! Sebelum aku melakukan tindakan tegas!"
"Hahaha." Andaresta tertawa dingin. Kemudian berkata, "Sia-sia diriku ini, jika aku harus pergi dari hadapanmu." Andaresta bersikap angkuh dan jemawa, seolah dirinya merasa lebih kuat dari Panglima Rakuti.
"Kurang ajar sekali kau ini!" Panglima Rakuti balas membentak dengan suara tak kalah kerasnya dari suara pemuda itu. "Aku tidak peduli dengan perkataanmu! Kau benar-benar telah mengkhianati kepercayaanku," sambungnya menatap tajam wajah Andaresta.
Mendengar apa yang dikatakan oleh sang panglima, Andaresta tertawa lepas, "Hahaha!" Kemudian berkata lagi, "Asal kau tahu, aku datang untuk membunuhmu wahai Panglima!"
Panglima Rakuti semakin dibuat geram oleh sikap pemuda itu. "Bedebah kau Andaresta!" Amarah dalam diri sang panglima memuncak seketika dalam menghadapi sikap anak muda yang selama ini ia percaya sebagai pemuda baik. "Aku menyesal telah mengangkatmu sebagai prajurit senior," sambungnya.
"Itu tandanya kau ini orang bodoh yang gampang aku bohongi. Aku hadir di kerajaan ini, karena ingin menunaikan dendam masa laluku terhadapmu wahai Panglima."
Panglima Rakuti teramat geram mendengar perkataan dari Andaresta. Tampak jelas dari raut wajahnya, tersimpan rasa benci melihat Andaresta yang bersikap jemawa. Padahal, Andaresta memiliki kedudukan di bawah sang panglima.
Lantas, Panglima Rakuti pun kembali berkata, "Mulutmu teramat lancang, Andaresta. Kau telah berlaku sombong di hadapanku yang merupakan panglimamu sendiri!" Sorot matanya tajam terus menatap wajah Andaresta penuh kebencian.
Tanpa banyak basa-basi lagi, Andaresta langsung menyerang sang panglima dengan sangat deras. Tubuhnya melesat dengan begitu cepat, kemudian mengayunkan tangan hendak melakukan pukulan yang mengarah ke bagian kepala Panglima Rakuti.
Namun, sang panglima dapat mementahkan serangan lawannya dengan begitu mudah. Dengan demikian, Panglima Rakuti segera membalas serangan dari anak muda sombong itu. Ia langsung melancarkan sebuah pukulan keras tepat mengenai bagian dada Andaresta, sehingga pemuda itu pun jatuh bergelimpangan ke tanah, dari mulutnya tampak menyemburkan darah segar.
"Pukulanmu sangat luar biasa," kata Andaresta bangkit sambil memegangi dadanya yang terasa sakit dan sesak.
Meskipun demikian, Andaresta tidak merasa jera. Ia kembali mengerahkan tenaganya yang masih ada untuk menyerang Panglima Rakuti.
Melihat pergerakan Andaresta yang hendak menyerang dirinya kembali, Panglima Rakuti langsung bergerak cepat melepaskan pukulan keras menangkis serangan tersebut.
Terdengar bunyi dentuman yang sangat keras seiring dengan bentroknya dua kekuatan tenaga dalam yang mereka kerahkan. Hal tersebut, menyebabkan tubuh kedua kesatria itu terpental beberapa tombak ke belakang, dari mulut dan hidung mereka tampak keluar darah segar yang mengalir deras.
"Tidak kusangka Andaresta ternyata memiliki kemampuan yang cukup mumpuni," desis Panglima Rakuti sambil menyeka darah yang mengalir dari hidung dan mulutnya.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali bangkit, dan bersiap untuk melanjutkan pertarungan tersebut. Keduanya tengah melakukan persiapan untuk mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang mereka miliki, agar segera mengakhiri pertarungan itu dengan sebuah kemenangan.
"Atas nama ayahku, aku berjanji bahwa hari ini kau akan aku kirim ke neraka!" bentak Andaresta menatap tajam wajah sang panglima. "Harus kau ketahui, aku akan segera menjadi seorang panglima untuk menggantikan posisimu!" sambungnya penuh rasa percaya diri dan bersikap sangat jemawa.
"Kau telah dibutakan oleh dendam masa lalu. Perlu kau ketahui bahwa kematian ayahmu, itu disebabkan oleh perbuatannya sendiri!" Panglima Rakuti menyahut sambil menatap tajam wajah Andaresta.
Andaresta tampak geram mendengar perkataan dari Panglima Rakuti. Dengan penuh kegusaran, ia kembali membentak, "Kau adalah penyebab utama kematian ayahku. Karena kau sudah melaporkan tentang kesalahan ayahku kepada raja, sehingga ayahku mendapatkan hukuman mati!" bentak Andaresta sambil menghentakkan kakinya, dan kembali menerjang sang panglima.
Mereka pun kembali terlibat dalam sebuah pertarungan yang sangat sengit, di antara mereka terus saling serang dan mengerahkan pukulan demi pukulan. Keduanya berusaha untuk saling menjatuhkan satu sama lain.
Tanpa terduga, Andaresta ternyata mulai mengeluarkan jurus andalannya yang ia pelajari dari Resi Naraya, jurus tersebut hanya dimiliki oleh Andaresta dan Pandu sebagai murid Resi Naraya.
Dari telapak tangan pemuda itu, tampak keluar asap putih mengepul hingga membumbung tinggi membentuk sebuah lingkaran, Andaresta langsung menghentakkan kedua tangannya ke arah Panglima Rakuti.
“Kau akan segera binasa, Panglima!” Seiring dengan demikian, asap putih tersebut meluncur deras menyerang tubuh sang panglima.
Dengan serta-merta, Panglima Rakuti segera menangkis serangan tersebut. Asap putih itu benar-benar berisi tenaga dalam yang sangat luar biasa, mengandung hawa panas yang sangat dahsyat. Hingga menyebabkan tubuh sang panglima terpental jauh akibat terdorong oleh sebuah kekuatan yang sangat besar. Ia pun terjatuh dengan mulut menyemburkan darah segar begitu derasnya.
Meskipun demikian, sang panglima masih bisa bangkit. Ia kembali mengerahkan jurus tenaga dalamnya untuk mengobati luka di dalam tubuhnya.
"Hebat sekali kau ini, masih bisa bertahan hidup," kata Andaresta sambil tertawa dingin.
"Majulah! Jika kau menginginkan aku mati, maka bertarunglah denganku hingga tetes darah penghabisan!" tantang sang panglima kembali membentangkan kedua tangannya, kemudian tubuhnya berputar kencang dan melesat cepat ke arah Andaresta.
Andaresta tidak tinggal diam, ia langsung menyambut serangan tersebut dengan sebuah pukulan keras berkekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Sehingga tubuh sang panglima kembali terpental jauh, karena kekuatan tenaga dalam yang dikeluarkan oleh Andaresta tidak seimbang dengan kekuatan jurus tenaga dalam yang dikerahkan oleh Panglima Rakuti.
Sang panglima jatuh bergelimpangan, kepalanya membentur bongkahan batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Dengan demikian, ia tak dapat bangkit lagi, wajahnya tampak pucat. Dari hidung dan mulutnya terus mengeluarkan darah segar mengalir sangat deras, begitu pula dari kepalanya tampak mengalami luka yang sangat serius.
"Andaresta!" teriak sang panglima yang sudah terluka parah, ia berusaha bangkit. Namun tenaganya sudah terkuras dan tubuhnya pun sudah lemah tak berdaya.
"Kau akan menerima balasan dari perbuatanmu ini!" ucap sang panglima, suaranya terdengar parau terhalang derasnya aliran darah yang memenuhi tenggorokan dan hidungnya.
"Matilah dengan tenang, Panglima. Kau tidak perlu mengancamku!" bentak Andaresta sambil tertawa puas melihat lawannya sudah tidak berdaya lagi.
"Pandu akan membalaskan dendamku ini, Andaresta!" Suara sang panglima terdengar semakin parau. Darah segar terus mengalir dari mulut dan hidungnya.
Kemudian, Andaresta menghunus pedang. "Selamat tinggal, Panglima!" Andaresta langsung menancapkan pedangnya ke bagian lambung Panglima Rakuti.
* * *
Demikianlah, sang panglima pun tidak dapat mengelak lagi, karena tubuhnya sudah dalam kondisi lemah tak berdaya. Sehingga, ia langsung meregang nyawa dalam kondisi mengenaskan.Perut sang panglima mengalami luka yang cukup parah, pakaian kebesarannya sebagai seorang panglima prajurit telah berlumuran darah merah yang tak henti-hentinya mengalir hingga membanjiri sekujur tubuhnya.Setelah mengetahui lawannya sudah binasa, Andaresta tertawa lepas merayakan kemenangan dirinya, "Hahaha!""Hanya ini kemampuan seorang panglima perang," desis Andaresta sambil membusungkan dada.Setelah itu, ia langsung berlalu dari tempat tersebut, meninggalkan jasad sang panglima yang tergeletak di pinggiran sungai.Tindakannya sungguh kejam, ia tidak menghargai jasa Panglima Rakuti yang telah memberikannya kesempatan untuk menjadi seorang prajurit. Bahkan, Andaresta pun tidak me
Wira Karma tampak kaget mendengar apa yang telah dikatakan oleh putranya itu. Seketika tubuhnya bergetar hebat, ia pun merasakan sedih dan kesal atas perbuatan Andaresta yang begitu keji telah membinasakan Panglima Rakuti yang tiada lain adalah adik kandungnya sendiri.Meskipun demikian, ia tetap berusaha tenang. Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berpaling ke arah petani paruh baya itu. Berkatalah ia, "Benar apa yang dikatakan oleh putraku?""Iya, Ki. Aku sendiri yang menyaksikan perbuatan Andaresta," jawab Ki Warka berkata dengan penuh kesungguhan."Atas dasar apa, Andaresta tega membunuh Rakuti?" kata Wira Karma dalam hati."Di mana jasad Rakuti sekarang, Ki?" tanya Wira Karma di antara deru napasnya."Di sungai yang ada di dalam hutan dekat ladangku," jawab pria paruh baya itu."Baiklah, terima kasih, Ki. Aku minta tolong, sebaiknya Aki laporkan kejadian ini
Walau demikian, ia pun sedikit merasa kaget dengan apa yang telah diucapkan oleh Andaresta. Lantas, Pandu berkata lagi, “Tidak mungkin! Kau pasti bohong, Andaresta! Aku sangat mengenal baik Paman Rakuti,” tegas Pandu menyela perkataan Andaresta.Namun, Andaresta terus membumbui perkataannya dengan kebohongan-kebohongan yang sengaja ia buat-buat. Sehingga jiwa dan pikiran Pandu sedikit mulai goyah terpengaruh oleh derasnya kebohongan yang dilancarkan oleh Andaresta.“Apa benar, Paman Rakuti sudah berbuat demikian? Apa karena selama ini hubungan guru dengan Paman Rakuti selalu bertolak belakang. Sehingga Paman tega merencanakan hal seperti itu?” kata Pandu dalam hati.Di saat ia sedang dalam keadaan bingung dan merasa gundah mendengar hasutan dari Andaresta. Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang pria berteriak dari arah belakang tempatnya berdiri, “Pandu, jangan kau dengarkan perkataan Andare
Pandu mengangguk dan menjawab lirih, “Baik, Paman.” Pandu dengan serta-merta menuruti permintaan Damara, ia langsung surut beberapa langkah ke belakang.Setelah itu, tanpa basa-basi lagi, Damara langsung melancarkan dua pukulan keras secara mendadak mengenai kepala dan leher pemuda sombong itu.Dengan demikian, Andaresta pun terjatuh. Namun dengan sangat cepat ia bangkit kembali.Andaresta hanya tertawa dingin sambil menatap wajah Damara yang berdiri tegak di hadapannya, “Hahaha!"Tanpa terduga, kaki kanannya dengan begitu cepat menyapu lawannya dengan tendangan berkekuatan tinggi, sehingga Damara pun terjatuh karena kehilangan keseimbangan."Pemuda ini benar-benar memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Pantas saja sang panglima bisa dia kalahkan," kata Damara dalam hati.Tak berhenti sampai di situ saja, Andaresta kembali menyerbu ke arah Damara yang sudah terpuruk di hadapannya.Namun dengan gerakan ce
Damara bergegas menotok seluruh titik aliran darah di tubuh Pandu. Kemudian, ia segera mengeluarkan racun tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya. Beberapa saat kemudian, Pandu sudah mulai sadar dan kembali membuka matanya. "Kau kunyah dan telan serbuk ini!" perintah Damara menyerahkan bungkusan kertas dalam bentuk lipatan berukuran kecil kepada Pandu. "Iya, Paman." Pandu langsung meraih kertas yang berisikan serbuk penawar racun tersebut. Lantas, ia pun segera menelan serbuk ramuan itu tanpa menggunakan air. Setelah memberikan penawar racun, Damara langsung meminta bantuan kepada beberapa orang warga yang tengah mencari kayu di hutan tersebut, untuk membawa Pandu pulang ke kediamannya. Di tempat terpisah, Andaresta pun tengah berjuang untuk mengobati luka dalam yang dideritanya. Namun, ia masih tetap bersikap sombong. Andaresta sangat yakin, bahwa Pandu tidak akan mungkin selamat oleh pengaruh racun itu. "Pandu, ajalmu akan segera ti
Mendengar perkataan dari ayahnya, sikap Pandu mendadak bimbang dan gundah. Ada rasa bahagia dan ada pula rasa sedih yang membelenggu dalam jiwa dan pikirannya kala itu. Seakan-akan, ia tidak rela jika harus meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun demikian, Pandu sangat berkeinginan untuk mengabdi di istana sebagai seorang prajurit. Karena dirinya mempunyai cita-cita tinggi, ingin menjadi seorang senapati seperti ayahnya di masa lalu. Pandu menghela napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Lantas, ia segera menjawab perkataan dari ayahnya, "Aku tidak tega jika harus meninggalkan Rama sendirian." Suaranya terdengar berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kenapa, Nak?" tanya Wira Karma menatap tajam wajah putra semata wayangnya. "Sedari kecil aku tidak pernah berpisah dengan Rama, sekarang aku harus meninggalkan Rama sendiri hanya karena mengejar cita-cita," jawab Pandu balas menatap wajah sang ayah. Bulir bening
Pandu menghentikan langkahnya sejenak. Lalu berpaling ke belakang. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil ke arahnya. "Reksa Pati," desis Pandu meluruskan dua bola matanya ke arah pemuda tersebut. Reksa Pati tersenyum-senyum ketika sudah berada di hadapan Pandu. Ia terus menatap lekat wajah sahabatnya. Lalu bertanya, "Kau mau ke mana, Pandu?" Pandu balas senyum. Lantas menjawab dengan lirihnya, "Aku hendak menemui Paman Damara di saung. Apa kau mau ikut?" "Tidak, Pandu! Aku masih ada urusan," jawab Reksa Pati tersenyum lebar. "Baiklah kalau memang seperti itu. Lain kali kalau ada waktu, aku tunggu kau di rumahku!" kata Pandu balas tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya. "Baiklah, kapan-kapan aku pasti berkunjung ke rumahmu," tandas Reksa Pati. Dengan demikian, Pandu pun langsung pamit kepada sahabat baiknya itu, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ladang untuk menemui Damara. "Aku pikir Reksa Pati mau
Mendengar bentakkan dari Pandu, dua orang pria itu tertawa lepas, "Hahaha!" Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami ini!" Salah seorang dari mereka balas membentak, kemudian melangkah mendekat ke arah Pandu. "Kami adalah orang yang diutus untuk membinasakanmu," ucap pria berikat kepala hitam tampak jemawa. Mendengar perkataan dari pria itu, Pandu pun lantas berkata sambil tertawa dingin, "Sekarang aku ingin tahu apa kau masih berani keras kepala?" Bersamaan dengan itu, tangan Pandu mengayun cepat bagai kilat hendak menyambar kepala orang yang mengenakan ikat kepala hitam itu. Namun, orang itu dengan begitu mudahnya dapat menghindari serangan dari Pandu. Sambil membentak ia langsung membalikkan tangannya dengan sangat cepat, dan sudah berbalik mencekal pergelangan tangan Pandu. "Kau tidak akan bisa lepas dari cengkraman kami, Anak muda." Pandu tidak banyak bicara, ia langsung mengerah