Revenge
Bab 2 Goodnovel
****
-Alex-
"Selamat menikmati malam pertamamu, Alex," ucap Dirga sambil membalikkan tubuhnya, lalu, tangannya memutar daun pintu yang ada di depannya.
Brakk ....
Suara pintu yang di tutup dengan keras, membuat Gendis semakin merasa ngeri.
Kembali, pria yang dipanggil Alex oleh Dirga menatap tajam wajahnya.
Lalu, tangan kasar Alex menyentuh pipi Gendis.
Namun Gendis menepis kasar tangan Alex, dan hal itu membuat Alex semakin beringas.
Di dekatkannya wajahnya ke wajah Gendis, hingga jarak keduanya hanya tinggal beberapa senti.
Bau alkohol begitu menyengat, keluar dari mulut Alex.
Kembali, tangan Alex menyentuh wajah Gendis, lalu turun ke leher.
Gendis mendekap dadanya dengan kedua tangannya.
"A--apa yang akan kamu lakukan padaku?"
Gendis bertanya dengan rasa diliputi ketakutan.
Sementara itu, Alex menatap wajah Gendis seolah ingin melumat wajahnya.
Seringai kembali dia tampakkan, membuat Gendis semakin jijik sekaligus ngeri.
"Tenanglah, Gendis. Malam masih begitu lama. Kenapa kita tidak bermain-main lebih dulu?"
"Cuih ... aku tidak sudi."
Plaakk ....
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gendis, hingga dari sudut bibirnya, keluar cairan segar berwarna merah, darah.
***
Mata laki-laki bertubuh tambun itu memerah, giginya gemeretak, sementara sebelah tangannya mencengkeram wajah Gendis.
Sementara, Gendis hanya bisa terisak sambil menahan perih akibat tamparan tangan Alex.
"Jangan ... aku mohon, lepaskan aku. Biarkanlah aku pulang." Gendis memohon pada laki-laki yang ada di depannya.
Namun, laki-laki itu justru makin beringas, dan dengan kasar, menarik bagian atas baju yang dikenakan Gendis, hingga menampakkan pakaian dalam yang dia kenakan.
"Jangan ... jangan lakukan itu, aku mohon."
Isak Gendis sambil mendekap bagian atas tubuhnya.
Kebaya pengantin, yang baru beberapa jam dia pakai, kini telah robek, dan koyak hanya dengan satu tarikan saja.
Gendis memejamkan matanya dengan masih mendekap bagian atas tubuhnya, dalam hati dia berdoa, akan ada malaikat penolong yang akan menyelamatkan diri dan kehormatannya dari kebringasan laki-laki yang ada di depannya.
Tangan besar pria tambun yang dipanggil Alex itu, lalu membopong tubuh Gendis dan menghempaskan dengan kasar di atas tempat tidur, hingga membuat tubuh langsing Gendis sedikit mental.
Gendis berusaha turun untuk berlari ketika Alex, mendekat dan mendekap tubuhnya. Namun, tangan Alex berhasil memegang kaki Gendis dan menariknya kasar.
"Ayolah manis, jangan membuatku kesal. Aku tidak suka bermain kucing-kucingan."
"Lepas ... lepaskan aku, tolong ...." jerit Gendis.
"Tidak akan ada yang bisa mendengar teriakanmu, percuma. Jangan buang-buang tenagamu."
Lalu, tangan kasar Alex menarik baju dalam yang masih menempel di tubuh Gendis.
Sekuat tenaga gadis itu melawan, namun tenaganya bukanlah tandingan laki-laki yang kini menindih tubuhnya.
Dengan nafas memburu, Alex melepas sisa baju yang masih menempel di tubuh Gendis, hingga gadis itu kini polos tanpa sehelai kain menutup tubuhnya.
Airmata terus membanjir membasahi kedua pipinya, tubuhnya terasa lemas karena kehabisan tenaga melawan Alex.
Kini, dia hanya bisa pasrah, membiarkan laki-laki itu menikmati setiap inci bagian tubuhnya hingga tanpa sisa.
Tubuh nya terguncang tiap kali Alex menghentak, dan tak terhitung berapa kali Gendis menjerit karena tak kuasa menahan rasa sakit.
Setelah puas menikmati tubuh Gendis, Alex terkulai di sisi tubuh gadis itu. Sementara Gendis, memandang jijik laki-laki yang baru saja merampas kesuciannya di malam pertama.
Seperti sebuah mimpi buruk, semua terjadi begitu cepat.
Padahal, baru seminggu yang lalu, dia mengatakan pada sang Ayah untuk melanjutkan pendidikannya setelah lulus SMA, namun dia harus menerima keputusan sang Ayah untuk menikah dengan Dirga, anak seorang juragan kaya di kampungnya.
Walau berkali-kali Gendis menolak dan mengatakan kalau Dirga bukanlah pemuda yang baik, namun tidak meluluhkan hati sang ayah sampai akhirnya sang ayah jatuh sakit dan membutuhkan biaya yang banyak untuk biaya operasi.
Disaat itulah, Dirga datang bak dewa penyelamat yang akhirnya meluluhkan pendirian Gendis untuk menikah dengannya, walau tanpa cinta dan dengan terpaksa.
Dan malam ini, malam yang seharusnya dia habiskan bersama dengan Dirga, justru harus dia lalui dengan pria yang tidak di kenal.
Dan yang lebih menyakitkan, pria itu telah membayarkan sejumlah uang sebagai harga dari kesuciannya.
Gendis beringsut turun dari tempat tidur, dan dengan sisa tenaganya, dia berjalan perlahan menuju kamar mandi.
Dia mengguyur tubuhnya di bawah shower, membersihkan noda darah yang menempel di paha dan kakinya.
Gendis meringis kesakitan, pangkal pahanya seperti habis di tusuk-tusuk, terasa begitu perih. Namun tidak dia hiraukan.
Di bawah guyuran shower, Gendis meraung sejadinya. Menyesal pun tiada berguna.
*****
"Wah ... kamu terlihat lebih segar."
Alex yang sudah terbangun dari tidurnya, berkata sambil mendekati Gendis yang duduk di sofa dekat tempat tidur.
Gadis itu mengenakan sisa baju yang koyak di sana-sini.
Gendis menatap jijik laki-laki yang bary saja merenggut paksa kesuciannya.
"Berapa kamu membayar Dirga?" tanya Gendis.
"Kenapa kamu ingin tahu hal itu?"
"Katakan saja, berapa kamu membeliku?"
"Aku membayar 50 juta untuk menikmati malam pertamamu. Dan ternyata, kamu memang masih perawan, tidak sia-sia aku membayar mahal."
Darah Gendis berdesir, mendengar penuturan Alex. Kalau ternyata Dirga, suaminya, telah menjual dirinya seharga 50 juta.
Dada Gendis bergejolak, dengan kebencian dan dendam pada suaminya, Dirga.
Tangan Gendis terkepal, dengan rahang yang mengeras.
"Hai ... apa kabar? Bagaimana malam pertama kalian, pasti sangat menyenangkan."
Dirga berjalan masuk ke dalam ruangan sambil berkata. Sementara Gendis membuang muka melihat Dirga yang berdiri di depannya.
"Bagaimana sayang ... kamu menikmati malam pertamamu?" tanya Dirga.
Plak ....
Gendis melayangkan tamparan ke pipi Dirga. Dirga hanya tersenyum sambil mengelus pipi yang baru saja di tampar oleh Gendis.
"Jangan pernah lakukan ini pada suamimu, karena akan ada malam-malam berikutnya setelah ini."
Dirga berkata sambil menarik kasar rambut Gendis ke belakang, hingga membuat gadis itu mendongak menatap wajah Dirga.
"Apa maksudmu?" tanya Gendis penasaran.
"Kamu akan tahu nanti, sekarang, pakai ini, lalu kita pulang."
Dirga melempar sebuah tas berisi pakian ke arah Gendis, namun Gendis membiarkannya hingga baju yang berada di dalam tas berhamburan keluar.
"Apa maksud dari ucapanmu, Dirga ... katakan!" teriak Gendis ke arah Dirga.
Namun Dirga tidak menghiraukan teriakannya, namun justru keluar dari ruangan bersama Alex dan meninggalkan dirinya seorang diri di dalam ruangan itu.
Tubuh gadia itu merosot hingga akhirnya bersimpuh di atas lantai, diraihnya baju yang berhamburan dan mendekapnya sambil menangis.
Dunia seolah benar-benat runtuh, ingi sekali dia berlari keluar meminta pertolongan, namun pintu itu terkunci rapat. Bahkan, untuk sekedar menelepon seseorang pun, dia tidak bisa.
Karena ponselnya, entah kemana.
"Aaargggg ...." Gendis berteriak melampiaskan kekesalan dan ketakutan akan apa yang bakal terjadi setelah hari ini.
Karena dia yakin, penderitaannya belum berakhir.
*****
Gendis melepas kebaya koyaknya dan mengganti dengan pakaian yang tadi diberikan oleh Dirga.Setidaknya, dia tidak terlihat seperti gembel dengan baju compang campingnya, walau sebenarnya gembel mungkin lebih berharga daripada dirinya, yang telah ternoda dan dijual.Sekitar sepuluh menit kemudian, suara pintu terdengar dibuka oleh seseorang."Kita pulang sekarang," ucap Dirga yang sudah berdiri di depannya dengan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana."Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku.""Apa kamu bilang? Pulang ke rumah orang tuamu? Kamu lupa, ya, kamu itu sekarang sudah menjadi istriku. Jadi kamu harus pulang kerumahku."Lalu Dirga menarik tangan Gendis dengan paksa keluar dari rumah tersebut."Lepas ... lepaskan aku." Gendis meronta, berusaha melepaskan tangan Dirga yang mencengkeram tangannya."Jalan, dan masuk ke dalam mobil kalau kamu
Brak ....Terdengar seperti sesuatu yang terjatuh di lantai.Dan bersamaan dengan itu, terdengar suara teriakan seorang perempuan dari luar."Ampuun ... sakit, jangan pukul saya."Jeritan dan rintihan itu begitu menyayat hati, hingga membuat Gendis penasaran dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi di luar kamar.Gendis berusaha membuka pintu kamar, namun sia-sia.Karena pintu tersebut terkunci rapat.Tak kekurangan akal, Gendis lalu membungkuk dan mengintip dari lobang kunci di kamarnya.Dari lobang kunci tersebut, Gendis melihat seorang gadis muda sedang di tendang dan di pukul oleh seorang pria berbadan tegap serta berkulit gelap dengan tubuh yang dipenuhi dengan tato."Sakit ... ampuun ...." Rintih gadis itu sambil memegangi perutnya yang di tendang berkali-kali. Darah menetes dari sudut bibir dan juga pelipisnya."Suli ...." teriak Gendis begitu m
Malam pertama di rumah berlantai dua itu, terasa begitu lama.Walau di dalam kamar, Gendis bisa mendengar suara orang berlalu lalang melewati kamar tempat dia dan Suli berada, namun dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja mereka yang berjalan di lorong depan kamarnya.Gendis mendekati Suli yang sedang terbaring di tempat tidur, peluh membasahi kening Suli.Di raihnya baskom berisi air lalu menyekanya dengan handuk kecil yang ada di dalamnya.Suli memegang tangan Gendis yang tengah menyeka peluh di keningnya."Gendis, aku baik-baik saja. Sebaiknya kamu beristirahat untuk memulihkan tenagamu."Lalu Suli bangkit dan menyandarkan tubuhnya di tempat tidur."Aku tidak bisa tidur Suli, di luar berisik sekali. Aku takut jika tiba-tiba ada orang masuk ke kamar ini."Gendis duduk di sisi tempat tidur, sesekali matanya melihat ke arah pintu."Mereka tidak akan masuk ke sini
"Hei ... hei, sabar. Kita selesaikan dulu urusannya."Dirga menepuk pundak pria yang baru saja memenangkan lelang, hingga dia mundur lalu membalikkan tubuhnya mengahadap Dirga."Bams."Pria itu menjentikkan jarinya pada seorang pengawal yang masuk bersamanya.Dengan sigap, pengawal yang di panggil Bams mengeluarkan buku cek dari kantong jas dan menyerahkan pada pria itu.Kemudian, pria itu menulis sejumlah nominal pada sebuah cek lalu menyerahkannya ke Dirga.Dengan cepat, Dirga mengambil cek tersebut dan senyum lebar mengembang dari bibirnya."Senang berbisnis dengan anda, 'Tuan Muda'."Pria yang di panggil tuan muda itu membalas ucapan Dirga dengan menarik sedikit sudut bibirnya.Lalu, dia melepaskan jas yang saat itu dia kenakan, dan memakaikannya pada Gendis.Gendis sedikit kaget melihat apa yang dilakukan pria itu."Selamat bersenang-senang."
Pria tua itu melangkah memasuki kamarnya, sesekali terlihat dia menggelengkan kepala."Kamu melakukannya lagi, Tuan muda." Pria tua itu bergumam.Matanya menatap deretan foto yang berjejer rapi di atas meja yang yang terletak di sudut kamarnya."Maafkan aku, Tuan. Yang telah gagal mendidik Steve. Aku gagal, Tuan."Pria tua yang duduk di tepi tempat tidurnya, membungkuk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.Pria itu merenung, bayangan masa lalu seolah berkejaran di benaknya. Bagaimana dirinya, yang saat itu berusia belasan tahun, dipungut dari jalanan oleh sang Tuan, yang merupakan Ayah dari Steve.Masih lekat di ingatannya, bagaimana Ayah Steve yang saat itu masih muda, memperlakukan dirinya seperti saudara, memberinya tempat tinggal yang layak, baju dan juga pendidikan.Hampir seumur hidupnya, dia abdikan pada keluarga yang telah mengambilnya dari jalanan hingga membawa dirinya bergaul deng
Setelah Gendis menghabiskan makanan yang dibawakan oleh pak Markus, dia mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun apa daya, luka-luka di punggungnya belum kering dan terasa perih setiap kali tergesek.Hingga akhirnya Gendis memutuskan untuk bersandar dengan memiringkan tubuhnya. Dia berusaha untuk memejamkan matanya, kalau bisa tidur, itu lebih baik. Setidaknya, dia tidak merasa begitu sakit ketika tertidur.Ketika kesadarannya mulai berkurang, antara tidur dan terjaga, Gendis merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan halus.Ingin sekali dia membuka mata, namun matanya terasa begitu berat untuk di buka."Tidurlah, kamu pasti merasa lelah." Dia berkata, sambil membetulkan selimut yang di pakai GendisMendengar suara itu, Gendis begitu terhenyak.Jantungnya berdetak lebih kencang dan tidak beraturan.Lalu perlahan, dia membuka matanya dan melihat seorang laki-laki duduk di tepi ranjang.Laki-laki bertubuh jangkung dengan t
"Kembalilah beristirahat di atas tempat tidur, karena besok Tuan muda akan mengantarmu kembali."Pak Markus membantu Gendis untuk kembali ke atas tempat tidur.Namun, Gendis justru memegang erat tangan lelaki tua itu sambil berkata, "Kembali? Apakah aku akan kembali ke rumah orang tuaku."Tanya Gendis dengan mata berbinar. Dia membayangkan esok dirinya akan di antar kembali ke rumah orang tuanya di kampung.Pak Markus melepaskan tangan Gendis yang masih memegang tangannya, kemudia dia menatap lekat wajah Gendis.Dengan tatapan penuh iba, pak Markus berkata pada Gendis, "Tidak."Jawaban yang sangat singkat, namun cukup membuat binar mata Gendis hilang dalam sekejap."Lalu, kemana aku akan di kembalikan? Apakah kalian akan mengembalikanku ke rumah itu lagi?"Gendis menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya di penuhi kecemasan dan ketakutan."Beristirahatlah, karena Tuan muda akan membawamu keluar
Gaun hitam melekat sempurna di tubuh Gendis.Beberapa kali dia memutar tubuhnya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna.Sungguh konyol memang, jika beberapa waktu yang lalu, Steve hampir saja membuat tubuh Gendis tidak lagi sempurna, namun saat ini, Gendis justru ingin terlihat sempurna di hadapan Steve.Gendis berjalan menuju tempat tidur, meletakkan bobot tubuhnya di tepi tempat tidur. Rasa jengah menyerang, matanya menatap ke bawah, melihat kaki jenjangnya yang tanpa alas.Gendis menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar."Apa aku harus keluar seperti ini? Dia bisa membelikanku baju, tapi kenapa tidak sekalian membeli sepatu," omel Gendis.Mata Gendis menyapu seluruh kamar, mencari-cari keberadaan sandal selop yang dia pakai ketika datang ke rumah ini.Namun tidak dia temukan keberadaan benda tersebut di kamar itu."Apakah pak Markus sudah membuangnya?" pikir Gendis.Dengan rasa gamang, Gendis membu