Share

3. Anak Bukan Sandaran Di Hari Tua

“Assalamualaikum.”

Sapaan salam yang terdengar langsung mengalihkan perhatianku bersama Mas Mirza ke arah sosok yang perempuan bertubuh bongsor yang bahkan sedang mengembangkan senyuman manisnya ke arah kami.

Aku langsung membalasnya dengan keramahan yang wajar sembari berusaha mengikis segala praduga yang sering tak bisa aku hindari bila melihatnya datang untuk menemui Mas Mirza, kakak tertuanya.

“Wa’alaikumsalam, Dina, pagi sekali kamu datang?”

Mas Mirza langsung meletakkan sarapannya yang belum ia sentuh.

Wanita berwajah lebar itu langsung mendekat, dan hanya sekilas melirikku.

Aku sedikit beringsut menjauh untuk memberikan celah pada adik iparku untuk berbicara dengan kakaknya.

“Mau sarapan ya Mas?”

Dina terlihat mulai berbasa basi.

“Ayo kalau mau, bergabung sarapan sekalian,” ajakku segera.

Wanita beranak tiga itu langsung menggeleng ketika melihat menu sarapan kami yang kelewat sederhana.

“Tumben kok cuma makan tempe?”

“Iya, Alhamdulillah disyukuri saja Din, “ balas Mas Mirza datar.

“Oh iya Mas, besok Riska harus membayar uang sekolah, apa Mas nggak ada uang sekarang?”

Adik bungsu Mas Mirza itu dengan lugas tanpa terlihat rikuh sama sekali mengungkapkan tujuannya mendatangi kami di pasar.

Suamiku tak segera menjawab, malah melirik ke arahku dan mendesah panjang.

“Untuk saat ini, aku tak memiliki uang, kami sendiri sedang membutuhkan banyak uang, bahkan untuk beberapa bulan ke depan.”

Ganti aku yang menarik nafas lega saat mendengar ketegasan suamiku menolak adiknya yang nyaris selalu tak pernah berhenti untuk merepotkan kakaknya itu.

Gurat masam langsung tersaji di wajah lebar Dina.

“Butuh banyak uang? Buat apa Mas? Kebutuhan kalian kan nggak banyak, bahkan kalian ndak ada anak yang harus dinafkahi,” cecar Dina sengit.

Terlihat Mas Mirza mulai membuka mulut, aku tahu suamiku itu hendak mengungkapkan tentang kehamilanku.

Aku langsung menahan dengan memberi isyarat pada pria penyabar yang sudah 25 tahun menikahiku itu, agar Mas Mirza tak mengatakan apapun.

“Masak Mas yang punya toko pakaian sebesar ini nggak punya uang sama sekali. Riska itu sudah menganggap kalian seperti orang tua sendiri lho, kalau kalian sudah tua nanti aku yakin Riska pasti mau merawat kalian. Aku cuma minta tolong sedikit saja untuk kepentingan yang jelas juga, kenapa Mas Mirza nggak pengertian sih?”

Selalu saja itu yang diucapkan Dina. Aku semakin bisa merasakan dengan jelas kalau wanita itu benar-benar memanfaatkan keadaanku bersama Mas Mirza yang sudah bertahun-tahun tak dikaruniai keturunan. Selalu akan mengandalkan anak-anaknya yang kelak akan disuruhnya untuk merawat kami jika kami sudah tua nanti, tapi tentunya dengan imbalan kami harus turut mencukupi kebutuhan mereka.

Kalau membantu sekedarnya dan sesuai kemampuan kami, aku bisa dengan ikhlas mengijinkan suamiku membantu adiknya itu.

Tapi Dina selalu menjadi tak tahu diri.

Sudah tak terhitung lagi bantuan yang diberikan Mas Mirza untuk Dina dan anak-anaknya. Belum lagi dengan uang yang dulu setiap bulan selalu diberikan Mas Mirza pada kedua adiknya yang lain. Meski mereka sekarang sudah tak lagi terlalu mengganggu kami.

Aku selalu bisa memaklumi karena suamiku adalah anak pertama demikian juga dengan diriku.

Tapi kalau terus menerus dan membuat kami harus mengabaikan kepentingan kami lagi, rasanya aku mulai menjadi keberatan.

Untunglah suamiku juga merasakan hal yang sama, dan sekarang Mas Mirza bisa dengan tegas menyatakan penolakan.

“Sekarang ekonomi sedang lesu, Din, pembeli juga nggak seramai dulu, sampai sekarang saja Mas belum mendapat pelaris, jadi maaf aku belum bisa membantu kalian.”

Mas Mirza berucap dengan terus terang.

Dina langsung bersungut-sungut.

“Bukankah sekarang suami kamu sudah mendapat pekerjaan yang layak? Aku yakin suami kamu juga sudah menafkahi kamu kan.”

“Tapi kebutuhanku juga banyak Mas, harus ngasih makan anak-anak juga.”

Sekarang tatapan Dina mulai memindai pada jariku.

“Mbak Nia kan masih makai cincin Mas, kalau aku pinjam sebentar boleh?”

Aku langsung tersengat kaget ketika wanita yang usianya selisih dua tahun di bawahku mulai mengungkit tentang cincin kawin yang aku pakai.

Dengan lugas aku langsung menggeleng.

“Ini cincin kawin Din, aku nggak mau melepasnya,” jawabku tegas.

“Kamu jangan keterlaluan Din,” sergah Mas Mirza menambahkan.

Dina terlihat begitu kecewa.

“Jadi kalian beneran nggak mau bantu nih?”

Aku dan Mas Mirza menggeleng bersamaan.

“Maaf Din,” ucap Mas Mirza kemudian.

Wanita itu bukan hanya mengunggah wajah masam, tapi juga langsung bangkit dari duduknya dengan deru nafas terlihat tak teratur tampak sedang memendam emosi.

“Kalau gitu aku nggak akan bisa menjamin, masa tua kalian nanti akan ada yang merawat. Kalian benar-benar tak memiliki rasa empati sama sekali.”

Dina kembali mengeluarkan ancamannya sebelum kemudian melangkah pergi begitu saja, tanpa mengucapkan salam seperti kedatangannya tadi.

Aku dan Mas Mirza membiarkan saja kepergiannya.

Rasanya aku telah muak karena sudah terlalu lama dikelilingi oleh orang-orang yang bersikap seperti parasit. Kami selalu saja diperlakukan seperti sapi perah. Jika kami tak dibutuhkan kami tak akan lagi didatangi. Seperti juga kedua adik Mas Mirza yang sekarang sudah sangat jarang menanyakan kabar kami, apalagi datang berkunjung semenjak Mas Mirza sudah tak lagi membiayai anak-anak mereka, setelah semua keponakannya telah lulus kuliah.

Hanya adik bungsu Mas Mirza yang masih datang, karena memang anak-anak Dina masih kecil.

Aku bisa merasa kalau Dina pasti akan datang lagi, karena dia masih sangat membutuhkan uluran tangan kakaknya.

“Sudahlah Nia, jangan terlalu dipikirkan kata-kata Dina. Adikku itu memang orangnya seperti itu. Aku minta maaf ya kalau keluargaku sering menyusahkan.”

Aku langsung menggeleng cepat.

“Kita sama-sama anak pertama Mas, keluargaku juga sering menyusahkan kamu, terutama ibu ...”

“Jangan seperti itu, sudah kewajiban kita untuk membahagiakan hati orang tua, apalagi orang tua kita hanya tinggal ibu kamu.”

Aku terpekur diam menjadi sangat tersentuh karena mendapati kebesaran hati suamiku.

Setelah itu aku lihat Mas Mirza tersenyum lembut padaku.

“Sebaiknya kamu jangan memikirkan apapun lagi, cukup kamu perhatikan saja anak kita yang ada dalam kandungan kamu.”

“Apa Mas berpikir akan menjadikan anak ini sandaran kita bila kita sudah tua nanti?” Aku sedikit mengulik ucapan Dina tadi.

Mas Mirza langsung menggeleng dan tersenyum penuh makna.

Sementara aku terus mengelus perutku yang masih rata yang kadang menerbitkan keraguan apa aku benar-benar hamil, sebuah fakta yang masih saja aku anggap sebagai keajaiban.

“Sekarang saja kita sudah tua, Nia.”

Setelah itu Mas Mirza menghela nafas panjang.

“Anak adalah amanat, kalaupun kita baru sekarang mendapatkannya, insya Allah sebentar lagi, itu artinya Tuhan baru memampukan kita saat ini. Seharusnya kita bersandar hanya pada Allah semata, karena umur manusia itu tak ada yang tahu, dan bagaimana keadaan kita saat tua nanti.”

Aku sungguh membenarkan ucapan Mas Mirza, memang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Tapi aku memang tak akan pernah menyandarkan apapun pada manusia, bahkan juga pada anak yang sedang aku kandung saat ini.

Aku hanya berdoa semoga Tuhan memberikan kami kesehatan yang baik saat tua nanti hingga kami bisa hidup mandiri tanpa harus merepotkan siapapun.

Aku kembali mengelus perutku sebelum kemudian memandang lurus pada wajah suamiku yang juga mengarahkan tatapannya pada perutku.

“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”

                                                                  

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status