Share

4. Sebuah Ide

“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”

                                                                  

Aku mulai bertanya dengan gamang.

Mas Mirza masih saja memandangku.

“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”

Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.

“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.

Aku langsung membalas tatapan suamiku.

“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”

Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.

“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”

Aku masih mengulas senyumku.

“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perkasa, apa yang akan Mas bilang?”

Mas Mirza sontak tersipu. Wajah suamiku itu langsung memerah. Suamiku memang cenderung pemalu, dan aku yakin dia pasti lebih memilih melipir pergi bila ada orang yang menyinggung tentang hal itu.

“Nyatanya Mas bisa membuat aku hamil pas sudah setua ini.”

Sekarang Mas Mirza malah terkekeh ketika mendengar ucapanku.

“Kamu sendiri malah semakin menggoda di saat sudah tak lagi muda, buktinya kamu langsung bisa hamil saat sudah memasuki usia 50 tahun.”

Ganti aku yang tergelak.

Namun setelah itu aku langsung memandang lurus penuh arti pada suamiku tercinta, yang selama ini masih gigih untuk bersamaku tanpa mau menduakan aku dengan siapapun di tengah banyaknya desakan dari semua pihak agar dia menikah lagi demi mendapatkan keturunan.

“Sekarang aku malah tak sabar saat semua orang tahu tentang kehamilan kamu, Nia.”

“Yang jelas kita harus siapkan mental untuk menghadapi omongan dan tanggapan orang.”

Aku mulai menimpali.

Mas Mirza tersenyum menanggapiku.

Kami kemudian tersenyum beriringan merasa sangat bahagia meski sebenarnya masih banyak persoalan yang sedang kami hadapi saat ini.

***

“Apa Mas yakin akan membawa dagangan kita berkeliling ke desa-desa?” tanyaku ketika keadaan toko kami kian tak bisa diharapkan.

Bahkan untuk bulan ini saja, kami terpaksa menunggak pembayaran angsuran di bank. Dulu Mas Mirza membuka pinjaman untuk tambahan modal toko, di saat keadaan pasar masih sangat ramai. Tapi kini semakin lama semakin banyak pembeli yang meninggalkan toko kami, karena memang banyak model pakaian yang kami jual mulai ketinggalan jaman.

“Aku harus melakukannya, Nia, agar kita bisa mendapatkan pemasukan.”

Aku mendesah panjang, menjadi tak tega kalau harus melihat Mas Mirza berusaha dengan sangat keras, membawa barang dagangan yang berat dan harus berkeliling di saat usianya yang sudah tidak muda lagi.

“Mas, kenapa keadaan kita malah semakin buruk di saat seharusnya kita berbahagia karena kehamilanku ini?”

“Jangan sampai kamu terpengaruh dengan ucapan ibu yang menganggap anak kita sebagai anak pembawa sial. Anggap saja Allah sedang menguji kita, jadi aku harap kamu bisa berbesar hati.”

Aku mendesah panjang meski setelah itu mengangguk pelan.

“Jadi mulai kapan Mas akan berkeliling?”

Aku mulai menjadi ingin tahu.

“Besok, aku akan mulai berkeliling. Sepulang dari pasar, kalau siang kamu aku tinggal di pasar sendiri nggak apa-apa kan?”

Aku langsung mengangguk tanpa ragu.

“Iya Mas, aku bisa kok tutup toko sendiri.”

Tapi sejurus kemudian wajah Mas Mirza malah terlihat bimbang.

“Tapi nanti kamu pulangnya sama siapa karena motornya akan aku pakai keliling?”

Aku diam tak menjawab.

Sebetulnya kami masih memiliki satu motor yang lain yang sebelumnya sempat dipinjamkan Mas Mirza pada adik kedua Mas Mirza, untuk anaknya sekolah dulu.

Tapi sekarang anak itu sudah lulus dan bahkan sudah bekerja di sebuah toko besar, aku yakin motor itu sudah tak terlalu dibutuhkan.

Namun aku masih saja ragu untuk mengungkapkan pada Mas Mirza agar mengambil motor miliknya itu.

“Aku bisa jalan kaki kok Mas, rumah kita kan dekat pasar juga.”

Aku memilih mengalah tanpa mengungkit sedikitpun tentang motor kami yang dipinjam oleh anak adik Mas Mirza itu.

Mas Mirza terlihat keberatan dengan usulku.

“Tapi kamu sekarang sedang hamil, kamu seharusnya tidak boleh terlalu capek.”

Mas Mirza menarik panjang dan menghembuskannya dengan kasar.

“Kalau keadaan kita membaik, kamu tak seharusnya bersusah payah seperti ini justru di saat kamu hamil. Padahal dulu kita bisa pergi ke manapun dengan nyaman menaiki mobil yang bahkan sekarang saja belum bisa kita menebusnya.”

Ada rasa sesal yang terselip dalam kalimat suamiku.

Selalu aku tak sanggup melihat wajah murungnya, meski hatiku juga masih memar karena penipuan yang dilakukan teman suamiku hingga menggerus sebagian kekayaan kami itu.

Aku tetap berusaha untuk mengulas senyum demi membesarkan hati suamiku.

“Mas, Allah pasti memiliki rencana yang indah untuk kita berdua, aku yakin Allah akan mengganti segala yang hilang dengan rejeki yang lebih baik.”

Senyum Mas Mirza langsung terkembang kembali.

Hatiku langsung disusupi kelegaan.

“Iya kamu benar, buktinya sekarang kamu mengandung, itu adalah rejeki yang sangat luar biasa.”

Aku kembali mengelus perutku.

“Aku yakin Mas, anak ini pasti akan membawa rejeki sendiri juga.”

Suamiku kembali tersenyum.

“Kita memang tak boleh terlalu mencemaskan persoalan dunia, karena Allah sudah menjamin semuanya.”

Sejurus kemudian terdengar suara adzan berkumandang.

“Sudah adzan, Mas ke masjid dulu ya, setelah sholat kita tutup toko dan langsung pulang.”

Aku mengangguk mengiyakan, lalu mulai melepas langkah suamiku menuju masjid untuk menunaikan sholat berjamaah.

***

Sudah tiga hari ini tubuhku terasa kian lemas. Setiap pagi aku akan selalu memuntahkan semua isi perutku.

Mas Mirza dengan sabar selalu mendampingi, mengelus punggungku dan memijat tengkukku agar bisa sedikit merasa nyaman.

“Apa kita sebaiknya ke dokter lagi, sayang?”

Mas Mirza terlihat jelas mencemaskan aku.

Aku langsung menggeleng, menampik tawaran suamiku. Aku anggap mual dan muntah adalah gejala yang wajar untuk wanita hamil. Jadi mau tak mau aku harus menyiapkan diri untuk menghadapi hal ini.

Walau aku menjadi sangat kepayahan harus mengalami semua itu di saat usiaku tak lagi muda.

Tapi aku harus tetap menguatkan diri, agar aku bisa menjalani kodratku sebagai wanita tanpa keluh kesah apapun.

Lagipula bukankah aku sudah sangat menginginkan melewati fase seperti ini bahkan sejak awal pernikahan kami.

Fase di mana aku harus bersusah payah menjalani kehamilan hingga sampai pada tahap melahirkan, menyusui dan mendidik anak kami ini nantinya, yang seharusnya aku jalani dengan penuh rasa bahagia.

“Tapi Nia, Mas nggak tega melihat kamu seperti ini. Kamu terus saja muntah dan makan kamu juga sangat sedikit. Belum lagi kamu masih memaksakan diri untuk membantuku di toko.”

“Mas, ini tidak akan lama, kehamilanku masih memasuki trimester awal, jadi wajar kalau aku akan selalu muntah setiap pagi.”

Aku berusaha menenangkan suamiku yang masih saja tak berhenti untuk mengkhawatirkan aku.

“Kalau begitu aku buatkan teh hangat ya buat kamu, tanpa gula biar perut kamu menjadi lebih nyaman.”

Tanpa aku minta Mas Mirza langsung berjalan ke dapur untuk membuatkan aku secangkir teh yang aku yakini akan bisa meredakan rasa mual yang masih mengganjal perutku.

Setelah membersihkan mulut dan wastafel, aku ikut menghampiri ke dapur dan langsung duduk di kursi meja makan berdampingan dengan suamiku yang kemudian mulai menggeser teh buatannya di depanku.

“Minumlah dulu, nanti siang aku akan buatkan susu hamil buat kamu, supaya kamu dan anak kita terpenuhi gizinya.”

Aku mengangguk sembari tersenyum.

Setelah sempat kami kesulitan untuk mendapatkan uang hanya demi bisa membeli sekotak susu hamil, akhirnya setelah suamiku berusaha dengan menjajakan barang dagangan secara berkeliling, kami bisa mendapatkan uang itu.

“Kalau kamu masih lemas, sebaiknya kamu nggak usah ikut bantu di toko, kamu istirahat saja.”

Aku langsung menggeleng tegas.

Aku merasa masih cukup kuat dan selalu menjadi tak tega kalau suamiku harus berusaha sendiri.

“Tidak Mas, aku akan tetap ke toko, lagipula pas kemarin sore kita masih kedatangan pembeli, waktu Mas sudah pergi untuk berkeliling.”

Mas Mirza menarik nafas panjang.

Suamiku terlihat masih tampak keberatan.

“Nia, yang terpenting sekarang adalah kesehatan kamu, karena kamu sedang mengandung anak kita. Kamu harus banyak istirahat.”

Mas Mirza kembali mendesah lama, tatapannya kiat lekat memindaiku.

“Sepertinya aku memiliki ide, itu kalau kamu setuju.”

Segera aku membalas tatapan suamiku.

“Ide apa Mas?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status