Share

7. Sesuatu Yang Sedang Disembunyikan Suamiku

“Terus aku harus bagaimana dong?”

Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.

“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”

Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.

Ibu memandangku nyinyir.

“Harusnya kamu itu ... “

“Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”

“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”

“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”

“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyawa kamu melayang, saat persalinan.”

Aku mendesah panjang, berusaha menghalau rasa takut yang kembali hadir saat ibu mengungkit tentang resiko kehamilanku.

“Apa kamu nggak memikirkan tentang hal fatal ini Nia?’

Aku memilih menggeleng, menanggapi.

“Sebagai seorang Ibu, aku berharap Ibu mendoakan aku agar aku bisa melalui persalinan ini nantinya dengan baik, juga bayi di dalam kandungku bisa lahir dengan selamat.”

Setelah itu aku bangkit dari kursi, mendadak kepalaku kembali terasa nyeri. Mendengarkan ocehan ibu selalu saja membuatku merasa tertekan dan hatiku diselimuti kabut kecemasan.

“Kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara.”

Aku mendesah panjang melirik sekilas pada ibu yang sudah mendongakkan kepala untuk bisa menatapku dengan sangat tegas.

“Aku mau istirahat ke kamar dulu.”

“Nia anak itu sudah membuat kamu sangat lemah. Aku yakin nantinya dia juga akan membawa sial buat keluarga kita.”

Aku mendengkus geram. Selalu saja ibu menyebut calon bayiku sebagai anak pembawa sial. Sungguh sebuah takhayul yang sangat menyesatkan, dan tak akan pernah aku percayai.

“Anakku ini tak akan pernah membawa sial untuk keluarga kita, sebaliknya dia akan selalu membawa keberuntungan buat kami,” tegasku yakin setelah itu aku berusaha untuk melipir pergi.

Tapi ibu malah mengeraskan suaranya.

“Nia, sekarang semua orang sedang menertawakan kamu karena kamu hamil di usia tua. Kamu sudah membuat malu aku!”

Aku tetap tak membalikkan badan meski langkahku terhenti sejenak.

Aku memilih mengabaikan ucapan ibu seperti juga aku akan menghiraukan omongan orang lain tentang kehamilanku yang disangsikan oleh banyak orang.

***

Aku masih menekuni untuk mentadaburi Al Quran yang ada dalam genggamanku. Menghayati kalamullah, demi mendamaikan hati yang masih saja gelisah karena digempur ucapan nyinyir dari orang terdekatku sendiri.

Sampai akhirnya suamiku mulai masuk ke dalam kamar kami dan perlahan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Sejenak aku menoleh ke arahnya dan mendapati wajah suamiku yang tampak kuyu.

Segera aku akhiri bacaanku dan menutup kembali mushaf.

“Shodaqallahuladzim.”

Setelah itu aku bangkit sambil melipat mukena yang aku pakai lalu menghampiri suamiku yang tampak lelah.

“Mas, apa mau aku pijat?”

Aku menawarkan diri sembari mulai memijat kaki Mas Mirza perlahan.

Tapi nyatanya Mas Mirza malah mengangkat punggungnya, mendekatiku untuk ia bawa berbaring di sampingnya.

“Kamu beristirahat saja di sampingku.”

Setelah itu Mas Mirza mulai memelukku sembari mengelus punggungku seperti kebiasaannya.

“Apa kamu masih merasa pusing dan mual?”

“Kalau malam seperti ini, aku sama sekali tak merasa mual Mas.”

Aku kian menelusupkan wajahku di dada bidangnya yang selalu memberiku kenyamanan. Dengan menghirup aroma tubuh suamiku saja, aku sudah merasa sangat tenang, seperti sekarang yang sudah aku rasakan.

“Syukurlah kalau begitu.”

“Mas ... “

Aku sedikit mendongakkan kepala, memandang wajah tampan suamiku yang sekarang bahkan sedang mengulas segaris senyumnya untukku.

“Bagaimana tokonya, apa Mas kewalahan sampai kelihatan lelah seperti ini?”

Ketika mendengar pertanyaanku Mas Mirza malah terkekeh. Aku sendiri juga tergelak.

Kami tertawa satir, seakan menertawakan kondisi usaha kami yang memang cenderung sepi akhir-akhir ini.

“Saking kewalahannya aku sampai ketiduran sebentar.”

Kami semakin tergelak.

Tapi setelah itu Mas Mirza malah mengeratkan dekapannya, sembari menatapku lekat.

“Oh iya Nia, mulai besok aku akan meminta Dina untuk membantuku di pasar.”

“Mas yakin?”

“Aku tak memiliki pilihan lain, tapi aku akan selalu mengawasi dan bersikap tegas padanya.”

“Kalau memang itu Mas anggap baik, Mas lakukan saja.”

Setelah itu aku malah mendengar helaan nafas panjang suamiku.

Aku tetap merasa kalau Mas Mirza masih digayuti beban pikiran yang pelik. Meski saat ini Mas Mirza tak mengatakannya, tapi bisa merasakan kalau masih ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suamiku saat ini.

“Mas, aku yakin besok keadaanku akan membaik, Insya Allah mungkin besok aku akan ikut ke toko juga, jadi Mas bisa berkeliling lagi ke desa-desa untuk menjajakan dagangan kita.”

Mas Mirza malah memandangku sangat lekat.

Aku bisa melihat sorot khawatir di kedua matanya.

“Tidak, aku tidak mau kamu memaksakan diri.”

Aku hanya termangu membalas tatapannya.

“Sudah aku katakan sebaiknya kamu fokus dengan kehamilan kamu, tenangkan pikirkan kamu juga. Cukup kamu berdoa saja, biar aku yang berusaha untuk keluarga kita, untuk kamu, untuk ibu juga untuk calon bayi kita.”

“Tapi Mas ... “

“Hussh ..., sudahlah sayang, sekarang tidurlah, agar nanti malam kita bisa bangun untuk menunaikan tahajud.”

Mas Mirza menutupkan telunjuknya di depan bibirku, setelah itu dia kembali memelukku erat, sembari terus memberikan elusan lembut pada punggungku, ingin membuatku nyaman, agar aku bisa segera terlelap.

Nyatanya dalam waktu singkat aku sudah mulai merasa mengantuk, hingga pada akhirnya aku jatuh tertidur di dalam pelukan hangat suami yang aku cintai.

***

Pagi-pagi sekali Mas Mirza sudah berangkat ke pasar. Bahkan saat dia baru saja turun dari mushola setelah sholat subuh Mas Mirza sudah bersiap pergi.

Memang sekarang keramaian pasar terjadi di awal hari. Sementara di siang hari pasar menjadi sangat lengang.

Setelah Mas Mirza berangkat aku memutuskan untuk berbelanja di warung terdekat untuk membeli sayur dan bahan makanan lain.

Aku sudah berjanji pada ibu untuk memasak hari ini. Untunglah hari ini aku tak merasa terlalu mual lagi seperti hari kemarin. Jadi aku bisa melakukan sedikit aktivitas meski aku tahu kalau Mas Mirza tak akan membiarkan aku melakukan apapun dulu, sampai aku benar-benar sehat.

Tapi seharian di rumah tanpa melakukan apapun jelas akan terasa sangat membosankan.

Lagipula aku hanya memasak masakan sederhana pastinya tidak akan sampai terlalu berat.

Sesampainya di warung aku langsung memilih beberapa ikat kangkung juga satu tongkol jagung. Rencananya hari ini aku akan memasak sayur asam.

Tapi ketika aku akan mengulurkan belanjaanku pada Mbak Narti, si empunya warung, aku kemudian baru menyadari kalau sekarang tatapan semua orang sedang terarah padaku.

Sorot mata mereka terlihat dalam dan penuh arti, malah menerbitkan rasa bingung juga penasaranku.

“Ada apa ya?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status