Share

8. Ocehan Tetangga

“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.

Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.

Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.

Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.

“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”

Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.

“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong  Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantinya.”

Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi mereka. Meski kemudian beberapa omongan dari para wanita yang sedang berada di dalam warung ini, entah untuk belanja atau hanya untuk sekedar mendengar gosip terhangat saja, mulai terdengar semakin santer.

“Tapi Jeng Nia kok bisa hamil ya?”

“Jeng Nia kan wanita mandul?”

“Jeng Nia sudah nggak muda lagi lho nggak pantas kalau hamil karena sudah tua dan seharusnya sangat tidak disarankan untuk hamil.”

“Terus kalau nanti anaknya lahir, manggilnya apa ya? Soalnya aku yang sepantaran dengan Jeng malah sudah punya cucu,” celetuk seorang wanita paruh baya yang wajahnya sudah dipenuhi keriput.

“Jangan-jangan nanti anaknya malah nganggap Jeng Nia sebagai neneknya lagi.”

Kali ini Cici ikut menimpali.

“Ya nggak juga kali Ci, Jeng Nia ini kan masih kelihatan cantik, wajahnya aja masih kenceng nggak kayak kamu Mak Janah, yang sudah keriput dan peyot karena gigi Mak Janah sudah banyak yang copot.” Mbak Narti lagi-lagi mengeluarkan pernyataan yang terdengar seperti membelaku.

Padahal aku tahu jelas kalau wanita pemilik warung ini sedang berusaha untuk menjilatku agar aku tetap setia menjadi pelanggan warungnya.

Dulu sewaktu keadaan ekonomi kami berjalan baik, aku sering menggelar acara besar dan selalu memborong sayur dagangan Mbak Narti.

Wanita itu pikir kali ini aku datang memborong lagi.

Tapi aku memilih untuk mengabaikan cecaran semua orang yang terlalu mencampuri urusanku itu.

Segera aku meminta Mbak Narti untuk menghitung belanjaanku.

Seperti dugaanku aku malah ditanggapi nyinyir oleh pemilik warung yang selalu suka memakai gelang emas berjejer hingga menutupi pergelangan tangan.

“Cuma segini aja belanjanya Jeng?”

“Iya Mbak,” jawabku datar.

Dengan sedikit kecewa wanita berusia awal 30 an itu mulai menghitung belanjaanku yang tidak seberapa.

Saat aku menunggu, Mak Janah memanfaatkan kesempatan itu untuk mencecarku lagi.

“Emang sih Ti, sekarang Jeng Nia keliatan masih cantik, tapi lihat deh kalau nanti udah punya anak, pasti keliatan beda. Dia akan jadi kayak aku, jadi tua, karena anak bisa menyedot kekuatan dan kecantikan seorang wanita. Dia bakal nggak bisa punya waktu buat merawat diri. Nggak bakal punya waktu buat pakai skincare atau ikutan senam biar langsing. Bisa-bisa tanpa semua itu Jeng Nia nanti akan keliatan langsung bukan lagi langsing ... “

Ucapan Mak Janah yang panjang lebar malah memancing tawa semua orang.

Aku sangat kesal kenapa aku harus memiliki tetangga toxic seperti mereka. Selalu saja nyinyir dengan hidupku. Saat aku belum bisa hamil aku sangat kenyang menjadi bahan gunjingan mereka. Pas sekarang hamil juga masih saja dibicarakan, bahkan mereka sekarang ngomong langsung di depanku tentang kehamilanku yang mereka bilang sangat tidak pantas.

Meski aku tak mau mendengarkan ucapan wanita paruh baya yang kedua pipinya tampak sangat kendur itu, nyatanya aku merasa sedikit terpengaruh juga. Apa nanti setelah melahirkan keadaanku akan menjadi sangat menyedihkan. Padahal semua yang diomongkan wanita itu tentang diriku sama sekali tidak benar. Sudah sangat lama aku tak memakai skincare, sejak usaha kami mengalami kemunduran dan aku sama sekali tak pernah ikut senam atau kegiatan semacam itu untuk menjaga kelangsingan tubuhku.

Kecantikanku semata adalah anugerah dari Tuhan yang memang sangat aku syukuri, bahkan bentuk tubuhku yang tidak gampang melar ini, benar-benar alami yang membuatku lebih tampak awet muda.

“Jeng jadi sekarang usia kandungannya sudah jalan berapa bulan? Kok belum kelihatan ya perutnya?”

Wanita yang biasa dipanggil Mak Janah itu kembali bertanya.

Walau tak senyinyir tadi dan terdengar wajar, aku masih tetap harus menata hatiku agar tak terlalu terbawa rasa emosional.

“Baru jalan tiga bulan,” jawabku datar.

“Nanti kalau tujuh bulanan pasti bikin acara yang meriah ya Jeng, kan anak pertama, juga nunggunya lama lagi. Jadi nggak sabar untuk diundang,” celetuk Mak Janah lagi.

Aku hanya mengulas senyuman tipis sembari membayar belanjaanku dengan segera.

Aku agak malas menjawab, karena memang aku dan Mas Mirza bahkan belum sampai memikirkan tentang acara seperti itu.

Perhatian kami saat ini lebih tertuju tentang kehamilanku yang ternyata tak mudah untuk dijalani. Kekuatan tubuhku nyaris tersedot karena aku masih belum bisa mengkonsumsi banyak makanan.

Terlebih dengan kondisi toko kami yang akhir-akhir ini semakin sepi. Rasanya aku menjadi pesimis meski hati kecilku tetap tak membenarkannya.

“Insya Allah ... “

Aku hanya menjawab sekedarnya saja.

“Saya permisi dulu ya Ibu-ibu,” ucapku setelah membayar belanjaan yang nggak sampai tiga puluh ribu itu.

Bergegas aku melangkah pergi sebelum telingaku mendengar pertanyaan nyinyir lain kenapa aku hanya belanja sangat sedikit.

Aku sungguh tak menyangka kalau keadaan kami sekarang menjadi terasa sangat berat, terlebih setelah aku bertemu dengan para tetangga julid yang memiliki jiwa kepo yang terlalu maksimal.

***

{“Assalamualaikum, apa kabar Mbak?”} sapa Sharma adikku nomor dua yang sekarang tinggal di Kalimantan, menjadi pemborong di pulau penghasil batu bara terbesar itu.

{“Wa’alaikumsalam, kabar baik Ma. Kamu sendiri gimana? Kemarin nggak ada kendala apapun kan saat perjalanan pulang?”} Ganti aku menanyakan kabar adikku yang sekarang memang sudah kembali ke Kalimantan tepatnya di Balikpapan, setelah beberapa saat lalu sempat pulang untuk mengunjungi ibu yang memilih untuk tinggal bersamaku.

{“Alhamdulillah semuanya lancar, bahkan besoknya aku bisa langsung ke kantor. Eh ... ngomong-ngomong aku mau kasih selamat nih sama Mbak sekaligus mau kasih kejutan sama Mbak.”}

Tanpa sadar aku mengernyitkan kening.

{“Selamat untuk apa?”}

Aku bertanya lugas.

{“Selamat untuk kehamilannya Mbak.”}

Aku terkekeh sejenak menjawab ucapan selamat dari adikku itu.

{“Terima kasih.”}

Setelah itu aku kemudian kembali bertanya.

{“Oh iya katanya tadi juga mau kasih kejutan, emangnya kejutan apa?”}

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uyay Kim Song
ibunya stres
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status