Share

6. Terlanjur Hamil

“Cukup ... !”

Aku menjadi kehilangan kendali.

Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.

“Kamu membentak ibu?!”

Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.

Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.

“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”

Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.

Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.

“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... “

“Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas.  Sekarang biar aku saja yang melakukannya.”

Mas Mirza langsung melangkah menuju almari es, tapi nyatanya ibu malah berdecih kesal.

“Sudah nggak usah, biar aku makan di luar saja. Untungnya kemarin anakku Sharma ngasih aku uang. Nggak seperti kamu Nia yang sekarang sudah jarang ngasih aku uang.”

Ketika mendengar ucapan ibu, kepalaku semakin terasa berdenyut.

Aku tidak menahannya hingga ibu memilih pergi begitu saja meninggalkan rumah, entah akan pergi ke mana. Aku berusaha untuk tak terlalu mengkhawatirkan beliau karena aku masih terkukung dengan rasa tak enak di tubuhku.

Sampai akhirnya Mas Mirza mendekat dan mengusap punggungku dengan lembut.

“Ayo sebaiknya kamu beristirahat di kamar, aku akan buatkan kamu teh tawar hangat.

“Nggak usah Mas, biar aku sendiri yang membuatnya, Mas bersiap saja ke pasar.”

Suamiku yang selalu saja menunjukkan perhatiannya yang besar itu menggeleng tegas, jelas tak bisa mengabaikan keadaanku yang sedang sangat lemah sekarang.

“Kesehatan kamu lebih penting, biar aku di rumah saja untuk menjaga kamu.”

Sekarang Mas Mirza sudah bersimpuh di dekatku, yang sedang duduk di atas kursi meja makan.

“Mas, aku baik-baik saja, sakitku ini karena aku sedang mengandung, lama-lama tubuhku bisa menyesuaikan diri. Sebaiknya Mas ke pasar, banyak keperluan yang harus dicukupi saat ini. Bahkan kita juga harus menabung untuk biaya persalinan nanti.”

Aku menatap lurus wajah Mas Mirza, wajah suamiku yang sekarang tampak digayuti beban yang sarat.

Lelaki yang aku cintai itu lalu menarik nafas panjang, seakan membenarkan semua ucapanku.

Tatapannya segera berubah luruh memandangku dengan penuh arti.

“Kamu benar, saat ini aku memang harus berusaha lebih keras, tapi ... “

Mas Mirza kembali memandangku dengan gurat duka di wajahnya yang terumbar lugas.

Aku hanya bisa memandangnya menunggu melanjutkan kalimat.

“Aku juga tak tega meninggalkan kamu sendirian, dengan keadaan kamu yang seperti ini. Jika saja kita masih memiliki sedikit pegangan seperti dulu, aku pasti akan mempekerjakan seseorang untuk menjaga toko, dan aku bisa selalu berada di sisimu.”

“Mas, jangan seperti ini, justru seharusnya kita bersyukur dengan keadaan kita sekarang. Bukankah Allah sudah mengabulkan doa kita hingga aku akhirnya hamil seperti keinginan kita selama ini?”

Mas Mirza kembali menarik nafas dalam.

“Tapi aku tak pernah menyangka kalau segalanya akan menjadi sulit seperti ini.”

“Mas sendiri yang mengatakan kalau kita harus mensyukuri kehamilanku ini, dan Mas juga yang bilang kalau aku pasti bisa melakukannya, sebagaimana wanita lain yang sudah pernah menghadirkan kehidupan baru ke dunia dari dalam rahimnya.”

Aku berusaha meyakinkan suamiku yang sekarang malah menatapku dengan penuh keraguan.

“Entah mengapa sekarang aku malah takut, Nia ... “

“Apa yang Mas takutkan?”

Aku mengernyit bingung.

“Aku takut terjadi sesuatu sama kamu, dan aku ... “

Mas Mirza kembali menatapku sangat lekat.

“Aku takut kehilangan kamu Nia.”

Aku terdiam. Kecemasan menghinggapi perlahan, tapi segera aku menggumamkan dzikir, mengagungkan Tuhan yang sudah menggariskan takdir kami.

Nyatanya aku bisa segera meraih sebentuk ketegaran, hingga aku bisa menyuguhkan segaris senyuman yang dengan cepat kemudian berubah menjadi kekehan ringan.

Mas Mirza mengernyit tak paham.

“Kenapa kamu malah tertawa?”

Aku tersenyum kian lebar.

“Mas, kamu makin tua kok makin bucin sih sama aku.”

Suamiku langsung mendesah jengah meski senyumnya kemudian juga turut terunggah.

Aku lalu menangkup kedua pipi suamiku dan memandangnya lekat, masih dengan senyuman yang lugas tersaji.

“Percayalah aku akan baik-baik saja, karena aku nggak mau suamiku yang ganteng ini dimiliki oleh wanita lain dulu. Aku nggak bakal pergi dulu selama kamu masih seganteng ini.”

Mas Mirza menanggapi kegombalanku dengan cebikan datar.

“Aku ini sudah tua, sekarang kamu sendiri yang malah jadi bucin.”

Aku kembali tergelak ketika mendengar ucapan suamiku.

Nyatanya Mas Mirza kemudian juga tak bisa menahan tawanya.

Dengan cara kami sendiri kami akhirnya bisa menghalau kegelisahan dan kesedihan. Karena hati ini akan selalu kami sandarkan pada Dia yang menguasai seluruh alam semesta.

***

“Jadi kamu tetap bersikeras untuk mempertahankan kehamilan kamu itu?” tanya ibu lugas ketika kami hanya berdua di dalam rumah.

Aku yang sedang santai sembari menonton siaran televisi, segera mengalihkan perhatian pada ibu yang baru saja datang dan langsung duduk di dekatku.

Aku tak langsung menanggapi ucapan ibu, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Apa Ibu sudah sarapan?”

Ibu malah menatapku jengah.

“Aku mau sarapan atau tidak, sekarang kamu kan udah nggak peduli lagi.”

Aku mengulas senyuman tipis.

“Kalau nanti aku sehat lagi, aku pasti akan memasak lagi buat Ibu. Ngomong-ngomong Ibu mau aku masakkan apa?”

Ibu malah menyergapku dengan tatapan lugas.

“Kok kita malah membahas masakan sih.”

Ibu mencebik kesal.

Wanita sepuh yang deretan gigi depannya tak lagi utuh itu langsung menyergapku dengan tatapan tajam. Semakin bertambahnya usia ibu, kelogisan berpikir ibu juga sedikit terkikis. Sebagai seorang anak jelas aku harus bisa memahami keadaannya yang memang sangat alamiah ini. Karena pada akhirnya dan mungkin sebentar lagi aku akan mengalaminya.

Sekarang saja usiaku sudah lebih dari 50 tahun, dan aku sudah mulai merasakan tanda-tanda penuaan dengan tumbuhnya beberapa helai uban di rambutku meski kemunculannya berada di area tertutup.

“Lha emangnya tadi Ibu mau ngomong apa?”

Ibu menyergah sengit.

“Tentang kehamilan kamu itu.”

Ibu melirik ke arah perutku yang masih terlihat rata.

“Kamu itu terbilang cantik di usia kamu yang sudah tidak muda lagi. Bahkan teman-teman sepantaran kamu banyak yang sudah kayak nenek-nenek.”

Aku mengalihkan perhatianku pada ibu mengabaikan tayangan televisi yang sebelumnya aku tonton.

“Mereka kan memang sudah nenek-nenek karena mereka ada yang sudah punya cucu. Aku juga sudah nenek-nenek kalau ada keponakanku yang sudah punya anak nanti.”

Meski begitu aku tetap mengunggah sebongkah kesabaran untuk menghadapi ibuku yang sering bersikap sangat menyebalkan.

“Kamu itu cantik karena kamu nggak dipusingkan dengan anak-anak Nia. Kamu sadar nggak itu Nia?”

Aku menarik nafas panjang segera bisa menangkap arah pembicaraan ini.

Wajah ibu masih saja menyajikan kesebalan.

“Harusnya kamu itu nggak perlu hamil Nia. Lihatlah sekarang saja kamu jadi lebih sering sakit, nggak bisa makan enak, juga nggak lagi berdandan.”

Ibu memindai seluruh diriku yang memang saat ini aku tampil sangat polos tanpa riasan bahkan hanya memakai daster biasa yang warnanya sudah agak memudar.

“Tapi sekarang aku terlanjur hamil Bu.”

Aku berucap dengan datar dan membalas pindaian mata ibu dengan lebih lugas.

“Terus aku harus bagaimana dong?”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
laki bini sama2 lemot dan lemah. seorang ibu perlu juga ditegasin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status