Share

2

Mas Hanan tak langsung menjawab. Dia hanya diam sembari menatap Aluna dengan tajam. Aku yakin, Mas Hanan pasti akan lebih membelaku dibanding perempuan itu.

"Benar, Aluna. Apa yang dikatakan Nayma itu memang benar. Aku tak pernah mencintaimu. Saat pernikahan kita, yang aku rasakan hanyalah sebuah keterpaksaan. Sedang dengan Nayma ... aku seakan merasakan jatuh cinta yang sebenarnya. Rasa yang tak pernah aku rasakan saat bersamamu malah hadir saat bersama Nayma."

Mas Hanan menatapku penuh cinta, aku pun membalasnya dibarengi dengan senyum lebar. Setelahnya aku melihat ke arah Aluna, wanita itu tersenyum pahit mendengar jawaban Mas Hanan.

"Bahkan setelah adanya Alana diantara kita, Mas?" tanyanya dengan senyum getir. Mas Hanan mengangguk tegas.

"Baiklah. Aku sudah mendapat jawabannya. Terimakasih untuk waktumu selama 3 tahun ini. Mungkin memang jodoh kita hanya sampai disini." Seperti biasa, dengan tenang wanita itu berucap. 

"Dan untukmu, Nayma. Terimakasih, berkat kehadiranmu diantara kami telah menunjukkan sifat asli suamiku. Semua ini adalah pertanda, jika Mas Hanan bukan lah lelaki yang patut diperjuangkan. Aku berharap, semoga kejadian ini tidak menjadi boomerang untukmu kedepannya." Aluna bangkit dari kursinya. Aku mencebik mendengar ucapannya yang sok tenang itu, padahal dalam hati sudah terbakar.

"Ingat Nayma, hukum tabur tuai itu ada." Kalimat terakhir yang ia sampaikan sebelum kakinya benar-benar melangkah menjauhi tempat duduk kami tadi.

Tak ku hiraukan ucapannya itu, aku tak ingin ambil pusing, yang penting aku bahagia dengan Mas Hanan. Ku lihat Mas Hanan menghembuskan napas sembari menyugar rambutnya. Kenapa dia?

"Mas, kamu nggak akan ninggalin aku, kan?" kataku meraih lengannya.

"Iya. Mas nggak akan ninggalin kamu. Bukankah Mas sudah bilang kalau lebih memilihmu dibanding Aluna?" ucapnya menenangkan ku. Mas Hanan mengusap tanganku yang melingkar di lengannya sembari tersenyum manis sekali. Ah, Mas Hanan! Kamu benar-benar laki-laki idamanku.

"Sekarang kita balik, ya? Mas antar kamu pulang," ujarnya lembut. 

Aku memanyunkan bibir dan melepas rangkulan di lengannya. Ku buang muka karena merajuk, pasalnya Mas Hanan mengingkari janjinya. Tadi dia berjanji, setelah makan siang dia akan membawaku shopping, sekarang malah diajak pulang.

"Jangan marah, Sayang. Besok kita belanja, ya? Atau kamu mau Mas transfer saja?" tuturnya sembari membujukku. Mana mau aku? Aku lebih suka belanja berdua dengannya, bukannya belanja sendiri!

"Nggak mau! Kamu, kan, tau aku sukanya belanja bareng kamu, Mas. Supaya aku bisa minta pendapatmu tentang barang yang akan ku beli nanti," rajuk ku. Mas Hanan tersenyum sembari mengelus pipi ku.

"Yasudah. Kalau begitu ayok!" katanya menggenggam tanganku.

"Kita belanja sekarang, Mas?" tanyaku dengan mata berbinar. Mas Hanan mengangguk sebagai jawaban.

"Makasih banyak, Sayang." Aku bergelayut manja di lengannya. Mas Hanan hanya terkekeh saja. 

Mas Hanan mengatakan sangat menyukai sikap manjaku, dan hal itu pula yang membuatnya tak menyukai Aluna, alasannya karena perempuan itu terlalu mandiri dan jarang bermanja padanya. Mas Hanan merasa tak dibutuhkan saat bersama Aluna, dan tentu saja sangat berbanding terbalik saat denganku.

Kami bergandengan mesra menuju mobil. Aku sudah tak sabar, mengingat sepatu, tas, baju dan aksesoris sudah membuatku meneteskan air liur. Semenjak menjalin hubungan dengan Mas Hanan, tentu saja bisa memanjakan diriku.

Sebelum mengenal Mas Hanan, kehidupanku tak jauh berbeda dengan para perantau lainnya. Harus berhemat demi bisa kembali makan esok hari, apalagi aku harus rutin mengirim uang ke kampung. Ibu dan bapakku sudah tua dan sepuh, untuk bekerja tentu saja mereka sudah tak bisa.

Semenjak menjalin hubungan dengan Mas Hanan, kehidupan Ibu dan Bapak di kampung pun mulai membaik. Uang gajiku bisa ku kirim full untuk mereka, sedang untuk kebutuhanku sendiri aku biasa merengek pada kekasihku. Rumah Ibu dan Bapak di kampung pun ku minta agar di renovasi, itu semua kulakukan tentu saja agar kedua orang tuaku itu bisa tinggal dengan nyaman.

Pencapaianku keren, bukan? Baru menjelang 3 bulan berhubungan dengan Mas Hanan, tapi aku sudah bisa mengubah gubukku menjadi istana. Mas Hanan memang terbaik.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di pelataran parkir sebuah pusat belanja terbesar di kota. Aku tersenyum lebar, sudah tak sabar ingin segera menjelajahi setiap lantai demi mencari keinginanku.

"Ayok, Sayang. Tunggu apalagi?" kata Mas Hanan padaku. Aku mengangguk antusias dan membuka seat belt kemudian segera turun.

Aku kembali menggandeng tangan Mas Hanan. Lelaki itu tak sedikit pun merasa risih, dia malah terlihat senang.

Ku langkahkan kaki beriringan dengan Mas Hanan. Toko pertama yang ingin ku kunjungi adalah toko tas branded, baru setelahnya aku akan merengek minta dibelikan sepatu dan juga baju. Aku yakin, seperti biasa Mas Hanan tak akan keberatan untuk menambahkan koleksi barang branded milikku.

"Wah, Mas! Koleksi tas terbarunya bagus-bagus banget! Aku jadi bingung milihnya." Aku berseru girang. Segera kulepaskan rangkulan di lengan Mas Hanan, kemudian mulai menjelajahi toko tas tersebut.

Aku mulai melihat-lihat, saking banyaknya barang bagus yang berjejer membuatku tak bisa menentukan pilihan dengan cepat. Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah tas mini, berwarna hitam dan terlihat sangat mewah sekali. Aku yakin, jika tas itu ku kenakan saat ke kantor, pasti orang-orang akan memandang kagum padaku.

Aku berjalan cepat menuju tempat tas itu di pajang. Dengan tingkat percaya diri yang tinggi, aku meminta salah satu karyawan disana untuk mengambilkan tas itu untukku. Tapi apa yang kudapat? Karyawan itu malah mengatakan sebuah kalimat yang mampu membuatku kecewa.

"Maaf, Bu. Tas itu sudah milik seseorang. Dia sudah memesannya jauh-jauh hari. Jadi mohon maaf, kami tidak bisa memberikannya pada anda," ucap karyawan wanita itu. 

Aku tercengang bukan main. Ternyata ada yang lebih cepat dariku?

"Mana bisa begitu, Mbak? Saya datang langsung ke toko kalian, loh! Kenapa malah lebih mementingkan yang mesen dari pada yang datang langsung?" kataku tak terima. Mana bisa begitu, kan?

"Dan satu hal lagi. Saya bakal bayar cash sekarang juga! Jadi berikan tas itu padaku sekarang!" titahku lagi. Aku memasang tampang garang, aku yakin sekali karyawan itu akan memberikannya. Jelas saja, karena mereka tak mau menimbulkan keributan yang berakibat buruk pada toko mereka sendiri.

"Maaf, kami tetap tak bisa menuruti, Bu. Beliau pelanggan kami, dia sudah membayar cash bahkan sebelum barang itu sampai." Karyawan itu kembali berucap. Dia menunduk sopan, tapi aku malah semakin kesal.

"Aku akan bayar lebih, jika kalian memberikan tas itu padaku. Katakan saja pada yang memesan, barangnya sudah habis. Simple, kan?" Aku bersikeras.

"Sekali lagi kami mohon maaf, Bu. Toko kami menjunjung tinggi nilai kejujuran. Itu semua demi pelanggan setia yang selalu belanja pada kami. Kami tak mungkin mengecewakan pelanggan yang rela menunggu dalam waktu lama." Karyawan itu kembali menolak. 

Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Kenapa susah sekali membujuk karyawan itu?

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Viala La
penasaran sama Aluna sih aku
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
rasain tuh nayma wkwkwk
goodnovel comment avatar
Baby Yangfa
bikin emosi bacanya si Pelakor ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status