Share

Saat Hati Harus Kembali Terbagi
Saat Hati Harus Kembali Terbagi
Author: Rifatul Mahmuda

1

"Ada hubungan apa kamu dengan Mas Hanan?" Seorang perempuan cantik, berhijab dan lemah lembut menghampiri meja tempat aku dan Mas Hanan menghabiskan waktu.

Aku mendongak, begitu juga dengan Mas Hanan. Lelaki itu tampak terkejut, tapi kembali bisa menguasai dirinya. Sudah bisa ku tebak, perempuan itu adalah Aluna –istri dari lelaki yang sedang bersamaku saat ini.

Ku akui, Aluna perempuan yang cantik. Kulitnya putih, bersih, aroma tubuhnya juga wangi. Gaya berpakaiannya juga modis, tapi tetap sopan dan enak dipandang. Satu kekurangan perempuan itu, selama tiga tahun pernikahan mereka, tak sedikit pun ia menempati hati Mas Hanan –suaminya. Setidaknya itu yang aku dengar dari mulut lelaki yang mencintaiku itu.

"Aluna? Ngapain kamu disini?" Mas Hanan berdiri, aku pun ikut berdiri.

Aku ingin menyaksikan drama hari ini. Apa Aluna akan melabrak ku seperti di film-film dan cerita novel yang ku baca? Lalu apa Mas Hanan akan lebih membelaku dibanding istrinya sendiri? Apa dia akan melindungi ku dari amukan istrinya itu?

"Aku tidak sedang bicara denganmu, Mas. Aku bicara dengannya," kata Aluna melirikku. Aku hanya tersenyum sinis menanggapinya.

"Kita pulang dan bicara di rumah saja! Ini tempat umum." Mas Hanan mengambil langkah. Aku berinisiatif mengikuti ayunan langkah lelaki itu, hingga sebuah tangan menahan lenganku lebih dulu.

Aku menoleh dan menatap tangannya di lenganku, Aluna melepasnya kemudian tersenyum tenang sekali. Apa sebenarnya mau perempuan ini? Jika ingin melabrak ku, kenapa tak langsung saja?

"Seperti yang kukatakan, aku tak ingin bicara dengan Mas Hanan. Aku hanya ingin bicara denganmu. Jadi, tinggal lah sebentar." Tenang sekali pembawaan perempuan ini, pikirku.

Mas Hanan berbalik, mungkin sadar jika kami tak mengikuti langkahnya. Lelaki itu menghempaskan napas, kemudian menatap Aluna dengan tajam.

"Luna! Sudah kukatakan, kita bicara di rumah saja!" Mas Hanan mencekal pergelangan tangan Aluna, membuat perempuan cantik itu sedikit meringis.

Beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Sejujurnya aku begitu malu, apalagi dari mereka secara terang-terangan melempar tatapan sinis padaku, seolah aku adalah seorang terdakwa.

"Kenapa kamu harus takut begitu, Mas? Kamu tau sifatku, kan? Apa 3 tahun tak cukup untukmu mengenal dan tahu akan sikap dan sifatku, Mas?" balas perempuan itu tetap tenang, meski raut wajahnya terlihat menahan sakit sebab cekalan tangan Mas Hanan.

Gila! Besar sekali nyali perempuan ini. Bahkan dia tak sedikit pun meninggikan suaranya terhadap kami. Apa yang membuatnya setenang ini? Apa dia tak sedikit pun merasa cemburu?

Mas Hanan melepaskan tangan Aluna dengan sedikit sentakan. Entah kenapa, ada rasa senang saat melihat perlakuan Mas Hanan terhadap perempuan cantik itu.

"Apa yang ingin kamu tanyakan?" ketus Mas Hanan.

"Duduklah dulu. Kita tak mungkin bicara sambil berdiri begini. Bisa-bisa kita akan semakin menjadi pusat perhatian pengunjung lainnya," sahut Aluna sambil menarik kursi dan duduk disana dengan tenang.

Aku memilih duduk didekat Mas Hanan, ingin melihat apakah dia cemburu dan terpancing emosinya, atau tidak? Aku yakin, sejak tadi Aluna pasti sedang menahan cemburu. Mustahil rasanya jika ia tak merasa cemburu saat memergoki suaminya sedang bersama perempuan lain.

"Apa aku bisa memulai pertanyaan?" tanya Aluna.

Bahkan ia tak sedikit pun menoleh pada aku dan Mas Hanan yang duduk berdekatan. Ku rasa ia sudah gila, bagaimana bisa ia tak cemburu? Bukankah cemburu itu tandanya cinta? Apa jangan-jangan ... dia sama sekali tak mencintai Mas Hanan?

"Aku hanya ingin bertanya padamu, apa hubunganmu dengan Mas Hanan?" Aku mendongak menatapnya. Tak terlihat kaca-kaca di matanya. Pintar sekali dia menyembunyikan rasa sakitnya.

"Sebelumnya kenalkan dulu. Aku ... Nayma. Untuk pertanyaanmu itu, mungkin bisa tanya langsung pada Mas Hanan." Aku sengaja melirik Mas Hanan. Lelaki itu menatapku dengan kening berkerut. Aku sengaja, ingin mendengar langsung dari mulutnya. Apa dia mengakui hubungan kami secara terang-terangan?

"Ah, Nayma. Apa kau ... tak punya mulut? Aku bertanya padamu, dan itu artinya aku ingin mendengar jawaban pun dari mulutmu. Tak usah takut, katakan saja, aku tak akan marah," sahut perempuan itu.

Sialan! Entah kenapa aku merasa sangat marah dengan ucapannya itu.

Baru saja aku hendak membuka mulut, Mas Hanan sudah lebih dulu menjawab.

"Nayma kekasihku!"

Sontak aku menoleh pada Mas Hanan, senyum lebar terbit dari bibirku. Ah, ternyata lelaki itu benar-benar mencintaiku. Bahkan dia berani mengakui hubungan kami.

Ku lirik Aluna. Dia tampak diam sejenak, raut wajahnya sudah berubah. Di detik kemudian, dia kembali memasang wajah tenangnya dan tersenyum pahit pada kami.

Rasakan, kau! Cemburu juga ternyata? Batinku senang.

"Sudah berapa lama kalian berhubungan?" Dia kembali mewawancarai kami. Aku diam saja, kubiarkan Mas Hanan yang menjawab pertanyaan istrinya itu. Sedang aku, hanya memainkan kuku-kuku cantikku.

"Menjelang 3 bulan." Singkat. Mas Hanan menyahut sesuai pertanyaan perempuan itu.

"Apa ... kalian ... sudah pernah ... berhubungan badan?"

Aku terkesiap. Ku lihat Mas Hanan pun begitu. Aku tak menyangka, pertanyaan itu keluar dari mulut Aluna. Aku menggerutu dalam hati, kenapa dia harus sekepo itu?

"A-apa maksudmu?" Mas Hanan memelankan suaranya. Mungkin takut pertanyaan itu didengar oleh pengunjung lain. Ah, dasar perempuan sialan! Apa dia tak sadar ada banyak telinga disini? Apa dia sengaja ingin mempermalukan kami?

"Apa pertanyaanku kurang jelas? Perlu ku ulangi?" tanya perempuan itu.

"Tak perlu! Kenapa kamu harus menanyakan urusan pribadi?" Aku menyahut kesal. Dia malah terkekeh pelan.

"Aku tau, ini mungkin memang pertanyaan pribadi. Tapi, apa kamu lupa, siapa lelaki ini? Dia suamiku! Jadi, aku harus memastikan, apa suamiku sudah pernah mencicipi barang lain diluar sana?"

Tenang tapi penuh penekanan. Aku meneguk ludah dengan susah payah. Ku lirik Mas Hanan, tetapi lelaki itu malah diam saja.

"Kau kira aku barang, hah? Sembarangan sekali kau bicara!" balasku. Aku mulai kesal berada disana, apalagi melihat wajah sok polos Aruna.

"Dengar, ya, Mas Hanan itu tidak pernah mencintaimu! Bukankah pernikahan kalian itu karena sebuah perjodohan? Jadi, jangan pernah berpikir jika Mas Hanan lebih memilihmu dibanding aku! Benar, kan, Mas?" Aku menatap Mas Hanan, berharap lelaki itu akan mengiyakan perkataanku.

Mas Hanan tak langsung menjawab. Dia hanya diam sembari menatap Aluna dengan tajam. Aku yakin, Mas Hanan pasti akan lebih membelaku dibanding perempuan itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
aduh si nayma ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status