Share

TERNYATA AKU WANITA KEDUA
TERNYATA AKU WANITA KEDUA
Penulis: Tika Pena

Hanya Ingin Tubuhku Saja

"Jangan, Mas!" Aku melepas diri dari Mas Arfan, mendo-r0ng dadanya hingga lelaki itu mundur. Aktifitasnya di bibirku terhenti menyisakan napasnya yang memburu. 

"Kamu istriku, Nabila. Aku berhak melakukannya." Dia menatapku geram karna hasratnya yang tertahan. 

"Hanya istri di atas kertas, istri sementara yang tidak kamu cinta." Getir aku ucapkan. Rasa sesak menyeruak dalam dada.

***

Pernikahan yang kukira tulus adanya, ternyata suamiku terpaksa. Pada malam pertama kami dia ungkapkan semuanya. 

"Aku terpaksa menikahimu, Nabila. Demi orang tua dan demi agar aku dapat warisan. Aku sudah punya istri asal kamu tau. Istri yang baru kunikahi siri karna belum bisa kuresmikan. Dan aku sudah punya anak." 

Bagai tersambar petir aku mendengarnya. Mas Arfan yang kukira baik ternyata bukan lelaki lajang. Pria dewasa itu sudah punya istri yang disembunyikan. Aku bukan perempuan pertama baginya. Dia mencintai perempuan lain bahkan sudah memiliki anak .... 

"Aku tidak akan menyentuhmu sampai satu tahun. Setelah itu kita pisah."

Mendapati kenyataan pahit, aku tidak kuasa menahan tangis. Baru menikah tapi sudah membicarakan perpisahan.

"Aku akan memberimu uang, rumah, mobil setelah perceraian." 

"Kenapa kamu tidak terus terang sama aku, Mas?!" Aku marah tapi juga sambil menangis. Tidak kuhiraukan janjinya yang akan memberiku harta setelahnya. 

"Karna nanti kamu tidak mau."

"Aku menikah karna menyukaimu, Mas. Tapi kamu ternyata ... hanya manfaatkan aku. Aku menikah karna ibadah, Mas. Tapi kamu ternyata ... hanya karna harta." 

Sungguh menyesal jadinya. Andai tau, aku tidak akan menerima pinangan Om Kurniawan dan Tante Reni, selaku orang tua Mas Arfan. Mereka teman orang tuaku. Sepakat menjodohkan kami. 

Mas Arfan sendiri pintar mengambil hatiku. Bersikap ramah tidak ada gelagat sama sekali dia terpaksa. Sebelum menikah dia bahkan meyakinkanku dengan lembut. "Kamu mau menikah denganku, Nabila?"

"Mau, Mas." Aku yang tersipu bertambah malu saat dia tersenyum. Membuat wajahnya yang tampan menjadi lebih menawan. Mas Arfan lalu mengecup keningku. 

Berbunga-bunga hatiku setiap hari. Ternyata itu semua hanya kamuflase. Setelah menikah rasa senang itu lenyap. Berganti nestapa tak terperi kurasakan. Pernikahan menjadi mimpi buruk.

Malam-malam dilewati, aku dibiarkan tidur sendirian berteman sepi. Mas Arfan memilih tidur di kamar lain. Terkadang tidak pulang dan aku tahu ke mana perginya dia. Pada istri pertamanya.  

Tidak ada obrolan hangat. Mas Arfan menjadi sosok dingin tidak ramah lagi. Dia benar-benar menjaga jarak. Langsung pergi setelah menikmati sarapan yang kusediakan tanpa pamit. Dan aku hanya mematung sendu melihatnya berlalu. 

Namun, setelah satu bulan, Mas Arfan kudapati sering curi-curi pandang ke arahku. Ketika aku berpakaian terbuka. Tidak memakai hijab dalam rumah. Aku merasa tidak berdosa jika pun membuka auratku. Toh tidak ada orang lain di rumah ini selain kami berdua. 

Rupanya hal itu membuat Mas Arfan mendekatiku. Aku terkejut saat membuat teh hangat dia tiba-tiba memelukku. 

"Mas?" Aku cemas. Tangannya yang melilit di perutku kulepaskan. 

"Diam, Bila." Dia mempertahankan. 

"Mas, ini tehnya sudah jadi. Aku mau kembali ke kamar." 

"Begini saja dulu." 

"Tidak, Mas." Aku berlepas lagi dan berbalik.

"Kamu berpakaian seperti ini, sengaja menggodaku?"

"Ti-tidak, Mas." Aku mundur saat dia mendekat dengan tatapan yang kutahu artinya. Mas Arfan seperti lupa ucapannya malam itu. Dan dia tampak tak peduli. 

"Aku ... menginginkanmu," ucapnya dengan suara berat. 

Aku menggeleng lalu pergi. Aku senang jika dia mencintaiku dan tidak ada perempuan lain selain aku. Pasti suka rela kuberikan semua. Tapi aku sadar dia sedang hilaf, dan aku menyesal akhir-akhir ini sering memakai dress pendek. 

Aku tersentak saat pintu dibuka. Mas Arfan menyusul ke kamar. Menatapku dengan tatapan semakin damba. Aku berjalan mundur lagi saat dia mendekat. Hingga tubuhku membentur tembok dan berhenti bergerak. 

Dia menarik aku lagi dalam pelukan. Kami yang menempel membuat aku bisa merasakan degup kencang di dadanya. Sama berdebar denganku. Tapi aku takut, berbeda dengan dia atas dorongan hawa nafsu. 

"Lepas, Mas." Aku hendak menjauh tapi Mas Arfan malah semakin mempererat pelukan. Beberapa kecupan menyusul mendarat di rambutku. Dia lalu melepasku, membelai pipi lembut. Kemudian mendekat lagi menyatukan bibir denganku. 

Mataku membola. Antara terkejut, tak terima, tapi juga ... rindu. Baru pertama kurasakan dalam sepanjang hidupku. Tapi menjadi tidak indah karna dilakukan bukan atas dasar cinta. Aku senang tapi juga sakit. 

"Jangan, Mas!" Aku melepas diri dari Mas Arfan, mendo-r0ng dadanya hingga lelaki itu mundur. Aktifitasnya di bibirku terhenti menyisakan napasnya yang memburu. 

"Kamu istriku, Nabila. Aku berhak melakukannya." Dia menatapku geram karna hasratnya yang tertahan. 

"Hanya istri di atas kertas, istri sementara yang tidak kamu cinta." Getir aku ucapkan. Rasa sesak menyeruak dalam dada. Aku malu telah terbuai dan membiarkan sesaat. 

Mas Arfan terdiam mencoba mengatur napasnya yang tersengal. "Kamu sendiri yang bilang tidak akan menyentuhku." Laki-laki itu melengos saat melihat bulir bening jatuh di pipiku.

"Bagaimana dengan perempuan itu, Mas. Kamu sudah menghianatinya dengan menikahiku dan mau menghianatinya lagi dengan menyentuh tubuhku?" 

Mas Arfan tampak membuang napas. Menatapku tak suka. Lalu mengusap wajah kasar. "Jangan berpakaian seperti itu lagi di depanku!" tegasnya. Kemudian pergi. Menutup pintu kamar kencang. Aku mendekat ke pintu itu dan bersandar pilu. 

Aku merindukanmu, Mas ... tapi aku tidak mau hanya menjadi pelampiasanmu. Rintik hujan jatuh banyak di pipi dan menjadi deras saat terdengar suara mobil Mas Arfan. Lelaki itu pergi. Tubuhku pun luruh di lantai. Tersedu sendiri. 

***

 

Setelah dua hari tidak pulang Mas Arfan mengajakku pergi. Entah ke mana aku tidak tahu. Hanya terdiam penasaran dalam mobil. Sesekali meliriknya yang serius mengemudi. Lelaki ini tidak merasa bersalah sudah meninggalkanku begitu saja. 

"Kita mau ke mana?" Aku yang sebenarnya tengah marah akhirnya bertanya meski tanpa melihat padanya hanya menatap lurus ke depan. 

"Ke apotek." 

"Mau apa?" 

"Beli pil KB."

Aku mengeryit heran. "Buat siapa?"

"Buat kamu." Cepat aku menoleh dengan mata yang membelalak. Mas Arfan tidak terganggu dengan keterkejutanku beralih lagi memandang jalan. "Kamu suruh aku minum itu?"

"Ya."

"Kamu ingin menggauliku?"

"Tidak ada yang salah, kamu istriku." 

"Dan kamu tidak ingin terjadi anak?" Mas Arfan diam. "Tega, kamu, Mas! Setelah menipuku, memanfaatkanku, mempermainkan perasaanku, kini kamu hanya ingin tubuhku?" 

"Selain rumah, mobil, uang, aku akan menambahkan sebidang tanah untukmu setelah kita berpisah nanti." 

"Lanca-ng kamu, Mas! Kamu pikir aku pela-cur pribadimu?" Seketika mata memanas dan menjatuhkan bulir air meski aku berusaha tegas. Meski rahangku mengeras. 

"Kamu rugi membiarkan kegadisanku?" Mas Arfan masih diam, hanya fokus ke depan.  

"Kamu rugi berpisah denganku sementara tidak menyentuhku?" 

"Saat ini posisi kamu sebagai istri sahku. Kamu harus melayaniku. Berdosa dan durhaka kalau menolakku." 

"Kamu pikir kamu tidak berdosa, Mas, sudah menyakitiku? Kamu pikir kamu tidak berdosa, menentukan waktu pernikahan kita dan hendak menceraikan setelahnya?"

"Nabila, jangan membantahku!" 

"Turunkan aku. Hentikan mobilnya."

"Kita akan tetap ke apotek. Kamu harus rutin minum pil KB mulai sekarang."

"Aku tidak mau!" 

"Mau tidak mau kamu harus menyerahkan dirimu." 

"Kamu minta saja sama istri pertamamu! Jangan minta padaku. Aku hanya istri sementaramu!"

"Kamu tidak usah merasa rugi, Nabila. Karna aku akan membayar semua waktumu." 

"Aku tidak ingin apa-apa. Aku mau cerai sekarang juga!" Tak tahan rasanya. Mas Arfan melupakan ucapannya. Aku tidak sudi jika hanya disuruh melayani tanpa boleh memiliki anak dan tetap berpisah. Lebih baik kuakhiri secepatnya.

"Silahkan cerai sekarang dan Ayahmu yang tengah sakit jantung itu akan terkejut mendengarnya. Kamu mau terjadi sesuatu dengannya?" 

Aku membelalak. Seketika tidak bisa berkutik. Selain merasa sedih yang amat dalam. 

***

Mas Arfan berhasil membawaku masuk ke sebuah apotek di klinik. Membeli lima lembar pil KB sekaligus. Dia rela bertanya pada apoteker perempuan yang sudah berpengalaman tentang penggunaan dan aku hanya diam menyimak penjelasan dengan hati perih. 

Aku tidak bisa menebak pikiran lelaki itu. Menjaga jarak, bersikap dingin, mendekat, menjauh lalu sekarang hendak mendekatiku lagi. Bagaimana dengan perempuan itu? Di sisi lain dia tidak ingin mengecewakannya tetapi sekarang seolah tak peduli. Egois memang, kamu, Mas.

Selesai berurusan dengan mbak itu, Mas Arfan mengajak keluar. Belum sampai mobil seseorang mendekat cepat padanya. Menghentikan langkah kami. 

"Sayang, kok kamu ada di sini?" Perempuan cantik memanggil Mas Arfan sebutan mesra sambil menyentuh lengannya. 

"Saskia?" Kulihat wajah lelaki itu menegang kaku. "Em ... aku ... habis beli obat." Dan terbata bicaranya. Sikap tegas yang dipertunjukkan padaku hilang berganti cemas. 

"Obat apa?"

"Cuma obat demam." Perempuan dengan tubuh semapai dan modis itu tampak tidak puas dengan jawabannya dan memberi tatapan menyelidik. Tanpa berkata-kata lagi merebut kantong plastik dari tangan Mas Arfan. 

"Jangan, Saskia." 

Telat. Perempuan itu sudah melihatnya. Wajah cantiknya berubah memerah. Menatapnya marah. Dia juga melihat padaku dengan pandangan yang sama. Lalu tertuju pada Mas Arfan lagi. Aku meringis ketika tamparan keras mendarat di pipinya.

"Kamu bilang tidak akan sentuh dia. Tapi ini, apa?!" Perempuan itu menunjuk padaku juga mengangkat ke atas kantong berisi pil KB, ke hadapan wajah Mas Arfan. "Kamu tega, Mas." Dia lalu bersedih terisak kecil. Merasa didustai ucapannya tadi. Juga merasa sakit hati. 

"Saskia, aku bisa jelaskan." Perempuan itu tidak menggubrisnya. Menjatuhkan dan menginjak kantong pil tersebut dengan ujung sepatu haknya yang runcing. Lalu mendekat cepat padaku. Menarik hijabku kencang sampai rambut di dalamnya tertarik. "Dasar pelakor! Jangan menggoda suamiku!" 

"Ah, sakitt."

"Saskia, hentikan!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau nabila njing. harus di malam pertama arfan bilang alasannya kau harus tegas. minimal bilang ssms mertua mu. kau g lebih dari pelacur halal bagi arfan. cuma ngangkang,menye2 dan bacot g penting kemampuanmu. kau pantas utk dihina krn sikap mu sendiri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status