Share

DAUN-5

Setelah puas menangis, aku mengurai pelukannya. Dia menatapku dengan wajah sendu.

“ Lo nggak di apa-apain kan sama Mas Herdi?” tanya Arkan. Aku pun membalas tatapannya sambil mengeleng pelan. Aku menceritakan semuanya ke Arkan tentang kejadian tadi. Dia terlihat emosi, dan beberapa kali mengumpat saat mendengar ceritaku. Bahkan, dia berkata akan menghajar Mas Herdi jika bertemu dengannya. Namun, aku melarangnya, bukan karena aku tidak benci ke Mas Herdi tapi aku tidak mau Arkan kena masalah. Arkan kembali memelukku saat aku selesai bercerita. Dia pun mengajakku pulang. Saat setengah perjalanan, tiba-tiba saja kakiku kram, sakit sekali digerakkan. Apa mungkin efek dari aku berlari sepanjang malam.

“ Aduh, kakiku kram Ar,” keluhku

“ Jangan banyak drama, ini udah malam,”

“ Beneran Ar, ini sakit banget nggak bisa digerakkin,” keluhku lagi.

Perlahan Arkan membungkuk untuk mengecek kakiku dengan sedikit menggerakkan kakiku. “Aduhh,” renggekku saat Arkan memegang kakiku. Segera Arkan melepas jaketnya, dan aku tidak tau dia akan berbuat apa.

“ Lo mau ngapain Ar?”

“ Gak usah mikir macem-macem,” jawabnya sambil memasangkan jaketnya di tubuhku. Kemudian dia berbalik dan membungkuk memintaku untuk naik dipunggungnya.

“ Buruan naik,” pintanya. Aku segera naik dipunggungnya, merepotkan memang tapi mau bagaimana lagi, kakiku masih kram.

Arkan menggendongku menyusuri gelapnya hutan pinus, dengan hanya bermodal flash handphone sebagai sumber pencahayaan. Sempat hening beberapa saat, karena aku tidak tau harus bagaimana, hanya bisa mengandalkannya

“ Emang nggak berat, Ar?” tanyaku

“ Hmmm,” sesingkat itu jawaban Arkan

“ Maaf ya Ar, aku repotin banget,”

“ hmmm,” jawabnya, aku mengeratkan peganganku di leher Arkan

“ Ingat pesan gue, kalo lo diajak keluar malam sama cowok yang baru lo kenal jangan langsung mau dan jangan sendirian,” ucap Arkan

“ Kalo lo yang ajak keluar,”

“ Kecuali gue,”

“ Dasar,” celaku. Andai dia tau bagaimana perasaanku saat ini. Serasa banyak kupu beterbangan di dalam perutku. Jantungku? jangan tanyakan lagi. Sedari tadi detak jantungnya sudah keluar dari ritmenya. Dengan posisi aku berasa di gendongan Arkan, seharusnya dia tau degup jantungku.

***

“ Lo kemana aja sih, Yash? Anak-anak panik tau nggak cariin lo,” tanya Mei-mei sesampainya di indekost. Aku hanya tersenyum dan merebahkan diri ke kasur kamarku. Dia tidak mencercaku lebih lanjut, seperti itulah Mei saat dia ingin tau sesuatu dia tidak memaksa orang lain untuk bercerita. Mei ikut merebahkan diri disebelahku, kemudian menatapku dengan posisi tengkurap.

“ Tau nggak Yash, tadi si Arkan panik banget nyariin lo. Apalagi waktu tau Mas Herdi balik ke area event tanpa lo. Arkan kayak setan kesurupan tanyain lo dimana. Gue heran sama Mas Herdi bisa-bisanya biarin lo balik sendirian,” ungkap Mei-mei

            “ Gue tadi nyasar nggak tau arah, mana jalannya sama semua,” jelasku

            “ Mana tadi gue telpon lo, nggak bisa jadi ikutan panik gue,”

            “ Maaf ya Mei, lo jadi panik gara-gara gue,”  

“ Apaan sih lo yash, jelas dong gue panik. Kan lo calon adik ipar gue,” jawab Mei. Aku langsung melemparinya dengan bantal. “ YEY, itu sih mau lo”. Mei-mei juga lansung membalasku dengan lemparan bantal sehingga terjadi perang bantal diantara kami. Sebelum akhirnya, Mei-mei pamit ke kamarnya untuk membersihkan diri.

            Aku sendiri disini membuatku teringat dengan kejadian yang baru saja kualami. Jika aku tidak teringat life hack tentang uang koin yang mengalihkan perhatian orang jahat.  Jika saja Arkan tidak datang, mungkin aku masih berapa di hutan gelap itu. Sebenarnya masih ada rasa takut dalam diriku tentang kejadian tadi. Saat aku kembali ke area event, mas Herdi juga menghampiriku, lirikan matanya sangat tajam. Seakan berkata “ lo jangan bilang tentang apa yang terjadi tadi,”. Namun, Mas Herdi tidak sempat berkata apa-apa karena Arkan lebih dulu menyembunyikan diriku di belakangnya. Kemudian menarikku dan mengantarkan pulang. Miris memang, aku tidak melakukan kesalahan namun aku dibayang-bayangi rasa takut jika kejadian sama terjadi lagi. Tidak banyak perempuan yang berani speak up masalah ini, karena masih banyak yang menganggap ini adalah aib. Aku pun sama, masih memikirkan hal sama bolehkah aku speak up? Dan adakah yang percaya padaku.

***

        Keesokan harinya, saat matahari belum sepenuhnya terbit. Arkan dan motornya sudah berada didepan indekostku. Memang hari ini adalah puncak dari event seminar yang telah kami persiapkan. Untuk itu, seluruh panitia diminta berangkat pagi-pagi untuk briefing terakhir. Arkan dengan setelan hitamnya telah menungguku di pagar. Dia telah berjanji untuk bersamaku hari ini, menjagaku agar kejadian semalam tidak terulang. Kulambaikan tangan ke Arkan dan dia membalas dengan senyuman, kemudian kita berjalan menuju motornya. Tak lupa, dia memberiku helm. Kali ini, dia tidak hanya memberiku helm tetapi juga memakaikannya padaku. Sesaat hatiku merasa hangat atas perhatian kecil yang diberikan Arkan.

       Motor kami melaju membelah jalanan pagi yang sepi, masih sedikit kendaraan yang melintas. Udara pagi yang sejuk belum terkena asap-asap kendaraan. Aku menikmati suasana pagi ini. Sesaat Arkan memakirkan motornya di depan gerobak bubur ayam. Sarapan dulu, katanya. Dia memintaku untuk turun dan aku mengikutinya. Arkan menarik kursi plastik yang disediakan oleh penjual, menyuruhku untuk duduk. Dia berjalan kearah penjual untuk memesan bubur ayam, kemudian kembali menghampiriku. Arkan duduk sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya. Memang udara pagi ini dingin, mungkin juga karena matahari belum sepenuhnya terbit.

“ Kaki lo udah gapapa,” ucapnya memandangku.

“ Udah gapapa kok, klo lo mau balapan lari sama gue. Ayok gue jabanin,” ucapku balas menatapnya. Manik mata coklat yang menyihir, sesaat aku tenggelam dalam pesonanya. Seketika  tersadar, ketika abang penjual mengantar bubur ayam pesanan kami.

“ Ini neng, bubur ayamnya,” kata abang tukang bubur ayam.

“ Eh, Iya bang. Makasih,” anggukku diakhiri dengan senyuman oleh abangnya

“ Makan dulu yang banyak, nanti baru balapan lari sama gue,” ucap Arkan. Secara spontan, Arkan sudah mengambilkan sendok dan memberikannya kepadaku. Aku hanya memandangnya sambil mengucapkan terimakasih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status