Semua Bab Pulang Ka Bako: Bab 11 - Bab 20
122 Bab
Sepenggal Kisah
"Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h
Baca selengkapnya
Gibran
"Kapan pulang?" sapa lelaki bersuara renyah itu dengan senyum manis yang masih terkembang sempurna. Ia mengulurkan tangan pada Dinda sembari ikut duduk pada bangku kayu kosong di samping gadis yang menatapnya bengong. Gibran Aksa, kakak kelas yang juga merupakan pemuda yang diam-diam disukai Dinda ketika ia duduk di bangku SMA hingga tahun keduanya di perguruan tinggi. Pemuda yang selalu menyapanya ramah ketika ia hanya dianggap objek pelengkap penderita pada sekolah favorit di kotanya. Saat Dinda merasa tak ada yang menyadari eksistensinya di sekolah, hanya pemuda itu yang menyadari ia ada. Pemuda itu pulalah yang membuat Dinda termotivasi untuk masuk universitas tertua di Yogyakarta, universitas yang sama dengan pemuda tersebut. Bahkan Dinda memilih fakultas yang sama agar bisa terus mengagumi Gibran dalam jarak yang tak terlalu jauh. Gibran adalah pemuda yang sering Dinda sapa diam-diam dalam doa di setiap sujud sepertiga malamnya. Berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan lela
Baca selengkapnya
Tak Seperti Dulu
"Kita makan dulu ke Situjuh, yuk! Aku kangen sama gulai telur ikan di sana!" ajak Gibran begitu mobil double cabin yang ia kendarai perlahan menuruni lereng gunung dengan jalan berbatu. "Hah?" Dinda yang sedari tadi sibuk melepas tatap pada pemandangan sawah yang terhampar betingkat-tingkat dengan warna hijau menyejukkan mata, menoleh pada lelaki yang baru saja mengajaknya makan siang itu. Tadinya Dinda mau menjawab, iya dengan senang hati, tetapi urung. Teringat kini dua keluarga besar tengah merembukkan hari baik untuk pernikahannya dengan Fahri. Rasanya tak tau diri jika ia malah pergi bersama laki-laki lain. "Maaf, Uda. Nda nggak bisa," tolak Dinda dengan seulas senyum tipis. Dinda sebenarnya tidak tega menolak. Bukan karena siapa yang mengajak, tetapi karena membayangkan kesempatan untuk menyantap makanan favorit ketika ayahnya masih ada, lewat begitu saja. Dulu, sehabis gajian, ayahnya selalu mengajak untuk makan di luar. Dan tempat yang disebutkan oleh Gibran itu adalah tem
Baca selengkapnya
Terlalu Cepat
Fahri mengembuskan napas kasar setelah menutup percakapannya dengan Dinda. Entah kenapa emosinya selalu naik setiap kali berinteraksi dengan gadis itu. Ia hampir saja melempar ponsel, tetapi urung ketika benda itu bergetar di genggamannya. "Kenapa, Taf?" ketus Fahri saat menjawab telpon dari Gustaf, sahabat kampret yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. "Kadieu geura maneh, Ri. Si Pian arek bundir. Maneh arek say good bye teu ka maneh na," kata Gustaf dengan nada datar. (Ke sini lo. Si Pian mau bunuh diri. Kamu mau ngucapin selamat tinggal nggak sama dia.) Seolah yang disampaikan Gustaf hanyalah sebuah berita pemberitahuan bahwa Zoey—Golden retriever miliknya— baru saja selesai dikebiri, bahkan pemuda itu lebih ekspresif ketika menceritakan hewan peliharaan kesayangannya itu dibanding mengabarkan bahwa sahabatnya akan bunuh diri. Seolah nyawa temannya itu hanya sebuah lelucon yang tak berharga. "Kunaon deui (kenapa lagi) si kampret make bundir sagala." Fahri membalas tak kalah
Baca selengkapnya
Dinda Di Mata Gibran
Gibran masih tertegun menatap layar ponsel. Berulang kali ia baca pesan dari Dinda. Tadinya Gibran mengira, pertemuan tak terduganya dengan Dinda adalah takdir. Cara Tuhan mempertemukannya kembali dengan gadis yang pernah singgah dan sempat menetap di hatinya. Awal mula Gibran mulai menyukai Dinda semenjak melihat cara gadis itu bertahan menghadapi kerasnya dunia perundungan di sekolahnya. Jika beberapa korban perundungan yang Gibran kenal kebanyakan menyerah dan menyingkir dari dunia yang mereka anggap kejam, tetapi Dinda sebaliknya. Gadis itu tetap berjalan seolah-olah para perundungnya hanyalah partikel debu yang berterbangan di sekitarnya. Oh! Dia bukan tipe gadis yang melawan dengan kata-kata atau dengan kekuatan. Dinda hanya diam dan tak pernah menangis setiap kali para perundung mulai melancarkan aksinya. Pertama kali Gibran mengenal Dinda yaitu ketika ia memergoki beberapa orang gadis menyiramkan entah air apa dari dalam ember ke atas salah satu toilet perempuan. Sebagai in
Baca selengkapnya
Salah
Dua bulan untuk persiapan pernikahan di dua kota yang berbeda ternyata cukup menguras emosi. Sesuai kesepakatan, akad dan resepsi sesi pertama akan diadakan di kota kelahiran Dinda. Untuk resepsi berikutnya akan diadakan di kota tempat Fahri menetap. Tak terasa hari menjelang pernikahan pun makin dekat. Namun, Dinda masih saja belum percaya statusnya sebagai gadis akan berganti menjadi nyonya hanya dalam hitungan hari. Makin mendekati hari besar dalam hidupnya, Dinda makin merasa bosan. Bagaimana tidak, selama masa persiapan itu hari-harinya hanya berkutat di sekitar rumah dan kamar saja. Ia tak lagi diizinkan keluar rumah sendirian tanpa alasan yang jelas. Hari ini, seperti beberapa hari sebelumnya, Dinda kembali menghabiskan waktu di dalam kamar, menonton beberapa drama seri demi untuk membunuh rasa bosan."Nda." Pintu kamar terkuak bersamaan suara ibunya memanggil. Dinda membalikkan badan dari posisi tengkurap, mendapati ibunya dengan kening berkerut. " Kok belum beberes?""Apan
Baca selengkapnya
Topeng
Tak lama berselang, suara gumaman diselingi isakan, yang awalnya samar, terdengar makin jelas seiring terbukanya pintu kamar. Dinda buru-buru menyeka air mata yang terlanjur luruh. Menegakkan punggungnya tatkala melihat tiga orang yang saling melempar kata amarah masuk dengan wajah sarat emosi. "Waang (kamu) bikin malu keluarga, Ri!" Pamannya—Muhtar yang mulai bersuara sembari mencengkeram kerah kemeja putih dibalik beskap krem keemasan yang dikenakan Fahri. Emi yang datang dipapah Niar terisak sembari menyusut ujung matanya. "Om! Ari gugup!" Fahri mengutarakan pembelaannya. Gurat wajahnya menyiratkan apa yang ia ucapkan. "Tapi kenapa harus nama perempuan itu yang waang ingat?" Kali ini Emi yang angkat bicara di sela tangisnya. Satu tangannya menjewer kuping Fahri dengan gemas. "Baa dek bodoh bana ang, Ri!" (Kenapa bodoh sekali kau, Ri!) Kali ini cubitan Emi mendarat di bahu Fahri. Pria yang menjadi objek kekesalan paman dan ibunya itu meringis dengan wajah terlihat kesal. "Umi
Baca selengkapnya
Sah!
Gibran menatap lama layar ponsel, menunggu balasan dari gadis yang seharusnya tersenyum bahagia di hari ini. Namun, kesalahan yang diperbuat oleh sang calon mempelai pria, membuat Gibran merasakan bahwa pernikahan mereka bukanlah didasarkan atas rasa saling suka. Rasa khawatir menghinggapi hati pemuda itu, tatkala mengingat gadis yang sudah ia relakan beberapa waktu lalu ternyata tak mendapatkan kebahagiaan seperti yang seharusnya. Gibran merasa iba pada Dinda, sekaligus geram pada sang mempelai pria. Kenapa harus pria itu yang mendapatkan Dinda. Padahal selama ini, dia lah yang telah bertahan sekian lama menunggu Dinda siap menerimanya menyatakan perasaan. Suara pembawa acara kembali memecahkan dengung suara tamu yang masih membicarakan kesalahan fatal yang dilakukan calon mempelai pria beberapa waktu lalu. Acara kembali dilanjutkan. Suasana kembali senyap, jelas terasa ketegangan di antara tetamu yang hadir. Mereka menatap cemas ke arah meja tempat mempelai kembali duduk saling be
Baca selengkapnya
Canggung
Setelah melewati hari yang melelahkan, acara resepsi itu pun berakhir. Kini dua insan itu terjebak dalam satu ruangan yang seharusnya menjadi tempat nyaman mereka untuk beristirahat, atau mungkin saling menatap malu-malu sebagai pengantin baru. Namun, yang terjadi keduanya malah saling sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dinda sibuk menanggalkan hiasan kepala yang beratnya hampir sama dengan berat seorang bayi baru lahir. Kesusahan seorang diri menarik tali pengikat suntiang¹ di belakang kepala tanpa berniat meminta bantuan dari Fahri. Pun, sebaliknya pemuda itu tampak tak peduli dengan kesusahan yang dialami Dinda. Ia sibuk mengumpat seorang diri membaca puluhan pesan dari para sahabatnya. Mereka yang datang menyaksikan acara akad nikah Fahri, membahas kesalahan fatal yang dilakukan Fahri siang tadi. Gustaf : Anjir lah si Ari, bisa salah sebut nama gitu! Anwar : Gue rasa ntar malam gagal MP gegara diambeg Dinda 🤣Pian : Emang enak meluk guling lagi. Padahal udaranya mendukung ba
Baca selengkapnya
Malam Pertama Terkampret
Dinda keluar kamar mandi setelah membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Badannya yang sedari tadi terasa lengket karena mengenakan pakaian pengantin yang cukup tebal, sedikit terasa lebih segar. Hanya saja, pegal ditubuhnya belum sepenuhnya hilang. Saat Dinda hendak kembali masuk kamar, beberapa orang sepupunya menggoda Dinda sambil tertawa cekikian. "Nda, kalau bisa jangan langsung unboxing sekarang, kamarnya nggak kedap suara," goda Meli, saudara sepupunya dari pihak ibu yang sudah berumah tangga dan memiliki satu anak balita yang lucu. "Ish! Apaan, sih, Mel!" Dinda menoyor bahu Meli dengan wajah memanas. Meli membalas kalimat Dinda dengan cekikikan tertahan. "Bilang sama si uda, jangan langsung—" Kalimat Meli terpotong karena Dinda membekap mulut sepupunya itu dengan handuk. "Berisik! Nda malam ini mau tidur, nggak ada cerita unboxing-unboxingan!"Meli mencibir mengiringi langkah Dinda yang bersungut-sungut meneruskan niatnya masuk kamar. "Astaghfirullah!" Dinda reflek menut
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status