“Maksud lo apa nanya begitu? Lo nuduh gue yang neror Nada? Iya?”
Sayangnya, pertanyaan yang Riga lontarkan secara baik-baik, justru diterima Alena dengan negatif. Gadis itu merespons tak suka atas pertanyaan Riga. Suasana hati yang sebelumnya buruk karena kejadian di koridor tadi, sekarang makin memburuk.
“Enggak, bukan begitu maksud gue, Al. Gue nggak nuduh lo, gue cuma nanya aja ke lo soal ponsel itu. Kenapa lo malah tiba-tiba sensi begini, sih?” Meskipun sedikit kaget dengan respons Alena, tapi Riga berusaha untuk tidak ikut terbawa emosi juga. Ia tidak mau Alena marah dan malah menjauhinya hanya karena hal sepele.
Beruntungnya, kelas sedang kosong karena murid-murid sudah keluar sejak bel istirahat berbunyi. Jadi, tidak ada yang tahu apa yang sedang mereka ributkan sekarang.
“Ya, gimana gue nggak kesel coba, lo tiba-tiba aja nanya gitu ke gue. Lagian ngapain juga gue teror sahabat gue sendiri? Kurang ajar banget itu naman
Cahaya lampu-lampu yang cantik di setiap toko yang menarik minat, orang-orang yang berjalan serta keluar masuk pertokoan seolah tak pernah merasa lelah, dan suara petugas yang mengumumkan bahwa ada anak kecil yang terpisah dari ibunya, menjadi latar suasana pusat perbelanjaan sore itu. Namun, keramaian tersebut nyatanya tidak cukup bisa membuat Riga menjadi sedikit tenang. Pikirannya justru sama ramainya dengan pusat perbelanjaan sekarang. Bagaimana bisa ia merasa tenang jika ada banyak pertanyaan tiba-tiba menghuni benaknya.Pembicaraan dengan Gamma di lapangan basket tadi nyatanya masih tetap berdiam di benak Riga. Ia bahkan masih ingat jelas bagaimana ekspresi Gamma saat mengatakan semua itu. Gamma kalut dan ada percikan amarah yang berusaha ditahannya. Entah amarah pada si peneror atau juga amarah padanya yang masih belum padam meskipun sudah sekian tahun berlalu.Sayangnya, hal itu membuat Riga sedikit kehilangan fokusnya hingga tanpa sengaja menabrak sepasang remaja yang saat it
Sejak hari itu, sebisa mungkin Riga mengurangi interaksi dengan Nada. Beruntungnya, tugas kelompok yang waktu itu sudah selesai dan kelompok mereka juga sudah melakukan presentasi, jadi Riga memiliki alasan untuk tidak terlalu dekat dengan gadis itu. Nada sendiri pun tampaknya tidak terlalu memedulikan perubahan sikap Riga tersebut. Mereka paling hanya akan saling menyapa atau melempar senyum satu sama lain ketika bertemu di kelas atau koridor sekolah. Memang ini lumayan sulit dilakukan karena ia terbiasa banyak berinteraksi dengan Nada, tapi sepertinya usahanya kali ini akan berhasil. Karena ia tahu rasanya percuma terus menyimpan perasaan kepada seseorang jika hatinya saja bukan untukmu. Bukankah dengan begitu, melupakan adalah cara terbaiknya supaya tidak menyiksa hati lebih dalam lagi? Jadi, ketika malam itu ia pulang dari kafe usai bekerja dan mampir ke sebuah toko kue, ia mengirim pesan kepada Alena. Ia meminta gadis itu menunggunya di teras rumah karena ia sedang dalam perja
Izin yang diberikan Alena tempo hari berusaha Riga manfaatkan dengan baik. Lagi pula ia sudah berjanji jika ia akan melupakan Nada dan fokus dengan perasaannya pada Alena—berusaha mengambil hati gadis itu lagi dengan baik-baik. Harapan Riga, semoga suatu hari nanti tidak hanya perasaannya saja yang mantap dengan Alena, tapi Alena juga. Karena Riga ingin kali ini, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.Riga dan Alena masih tetap berangkat bersama. Bahkan tidak jarang, di jalan, mereka bertemu teman-teman Riga dan kemudian bersama-sama ke sekolah. Gosip kedekatan mereka di sekolah sesekali masih terdengar di telinga Alena, hanya saja tidak seramai dulu ketika ia awal-awal menjadi murid baru. Mereka sendiri juga sudah bodo amat dengan gosip-gosip tersebut dan mengabaikannya.Seperti pagi ini, di koridor dekat parkiran ada empat orang siswi yang sedang berkumpul dan tanpa sengaja Alena mendengar namanya disebut oleh salah satu siswi yang rambutnya dikuncir ekor kuda. Namun, Alena deng
Seingat Alena, saat masuk gedung jurusan IPA, Riga berjalan mengikutinya. Namun, saat Alena menginjakkan kaki di lantai dua, laki-laki itu tidak ada di belakangnya. Alena menatap sekitar, barangkali menemukan sosok Riga di antara lalu-lalang murid-murid di koridor. Sayangnya, setelah cukup lama mencari ia tetap tidak menemukan sosok Riga di tengah kerumunan. Bahkan tidak ada tanda-tanda kedatangan Riga juga dari arah tangga.Ke mana sebenarnya Riga?“Loh, Alena, tumben masih di sini? Biasanya lo langsung masuk kelas. Lo lagi nunggu orang?” tanya Danar yang baru datang dan melihat Alena berdiri bersandar di pagar pembatas depan kelas.“Enggak kok, nggak lagi nunggu siapa-siapa. Gue cuma mau cari suasana baru aja, ternyata di sini enak, ya. Adem,” jawab Alena.“Emang di sini seger anginnya kalau pagi-pagi. Gue sering banget nongkrong di sini. Lo harus Cobain juga, Len biar nggak gampang ngantuk.” Danar ikut bergabung dengan Alena di sana. Laki-laki itu berdiri tiga langkah dari posisi A
Perbedaan sikap Alena semakin Riga rasakan hingga jam pulang sekolah tiba. Biasanya gadis itu akan merengek untuk nebeng, tapi hari ini tidak. Alena menjadi sedikit lebih pendiam daripada sebelumnya. Bahkan ketika teman sebangku gadis itu pamit pulang duluan, Alena juga tidak menyuruhnya buru-buru mengemasi barang-barangnya supaya mereka bisa cepat pulang.“Lo tumben nggak rewel kayak biasanya? Nggak mau nebeng gue lagi?” Riga menoleh sekilas pada gadis yang duduk di belakangnya, sebelum kembali memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.“Nggak, lagi males ngomong aja. Tapi kalau lo nggak mau nebengin gue lagi, ya nggak apa-apa. Gue bisa naik ojol,” jawab Alena tanpa menatap lawan bicaranya.“Enak aja pulang naik ojol. Kita kan udah ada perjanjian, selama gue bisa dan ada waktu, ya gue yang antar-jemput lo. Lo berangkat bareng gue, berarti ya pulangnya sama gue. Kecuali kalau gue emang nggak bisa, baru lo boleh pulang naik ojol.”“Ish, pacar aja bukan. Posesif amat sih lo.”“Lo lupa apa ya
Sudah lebih dari dua jam sejak Danar mengantarnya pulang, tapi pertanyaan laki-laki itu masih bersarang di benak Alena. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya dari hal itu, sayangnya sia-sia. Sekarang, ia hanya berdiam diri di kamarnya sambil terus meyakinkan diri bahwa Auriga Wijaya adalah temannya. Teman baiknya, tidak lebih.Alena menghela napas pelan, mencoba kembali fokus pada novel di pangkuannya. Ini adalah novel pertama yang Alena beli setelah kembali ke Jakarta. Novel yang tanpa sengaja mempertemukannya dengan seorang gadis bernama Nada, si pecinta novel dan ilmu perbintangan sama seperti dirinya, dan Gamma di sebuah toko buku beberapa bulan lalu. Dan karena pertemuan tak sengaja itu pula, ia justru bertemu dengan Riga. Awal kembalinya ia ke Jakarta, ternyata penuh drama.Astaga, kenapa ia jadi sedih begini mengingat itu? Bukankah ini juga karma yang harus ia dapatkan karena dulu pernah menyakiti hati Gamma?Sudahlah, rasanya tidak perlu lagi mengingat se
Kelas sudah sepi karena penghuninya sudah langsung keluar kelas ketika bel istirahat berbunyi, menyisakan Riga yang masih tetap di bangkunya. Laki-laki yang dua bulan lagi menginjak usia tujuh belas tahun itu sedang sibuk mengerjakan tugas Bahasa Inggris. Padahal tugas tersebut baru diberikan gurunya saat jam pelajaran kedua tadi.“Rajin amat lo ngerjain tugasnya sekarang, kan masih dikumpulinnya hari Senin.”“Nyicil tugas nggak ada salahnya kali.” Riga mengangkat wajahnya dan mendapati Manda menghampirinya. Riga menoleh ke pintu, tapi ternyata Manda hanya sendirian.“Alena masih di kantin sama Via. Nada, nggak tau ke mana tadi. Ngapel mungkin,” ucap Manda seolah sudah mengerti isi kepala teman sekelasnya tersebut. Gadis itu tertawa pelan.“Apa sih, Man? Gue nggak nyari temen-temen lo juga. Cuma tumben lo balik duluan, biasanya kan kalian harus bel masuk bunyi dulu masuk kelas. Kenapa?”“Gue tuh kadang bingung ya sama lo. Lo terkenal nggak peka, tapi sebenarnya lo itu orangnya paling
Sudah hampir sepuluh menit sejak Riga menghentikan motornya di depan sebuah rumah, tapi ia tak kunjung memencet bel atau memberitahu si pemilik rumah terkait kedatangannya. Riga hanya berdiam diri di atas motornya sambill menatap pagar rumah yang tertutup. Padahal niatnya pulang duluan dari rumah Dana tadi karena ia badannya lelah dan ia ingin istirahat. Namun, kenyataannya ia malah membelokkan motornya ke sini.Benar, memang. Kadang hati dan pikiran tidak sinkron. Hati menginginkan A, tapi pikiran kita justru memilih B. Dan kalau sudah begini siapa yang bisa disalahkan? Tidak ada.Riga merogoh ponsel di saku jaketnya. Jemarinya bergerak lincah di layar, membuka ruang obrolannya dengan Alena. Ia mengetikkan sebaris kalimat di sana dan siap menekan tombol kirim, tapi ragu tiba-tiba menyerangnya. Dipandanginya layar ponsel itu, sebelum kemudian memutuskan untuk menghapus kalimat itu dan memasukkan ponselnya lagi ke saku.“Jangan! Biarkan saja. Ini bukan urusannya,” batinnya memperingatk