Rhea terbangun karena tenggorokannya yang terasa kering. Jam dinding di kamarnya telah menunjuk angka tiga. Entah sejak kapan ia tertidur, yang jelas ia hanya memejamkan mata, tidak ingin membukanya, dan mencoba mengosongkan pikiran.Derit pintu kamar Rhea yang terbuka membuat Naren terbangun seketika. Ia sebenarnya tidak benar-benar tidur. Karena itu ia masih awas akan segala suara yang ada di sekitarnya."Sayang, kamu kok bangun jam segini?"Rhea sempat terhenyak sesaat melihat Naren berada di ruang tengah rumahnya, sepertinya pria itu tadi tidur di sofa ruang tengah.Mengabaikan teguran Naren, Rhea memilih melanjutkan langkahnya ke dapur untuk mengambil segelas besar air dari dispenser."Haus?"Naren ternyata mengekorinya sampai dapur. Setelah meneguk setengah isi gelasnya dan kembali mengisi gelasnya hingga penuh, tanpa menjawab apa pun, Rhea beranjak menuju kamarnya sambil membawa gelas yang baru diisinya."Sayang." Naren berusaha menahan pintu kamar Rhea yang hendak ditutup. "Ak
Karena menyesali ucapan jahatnya itu, sekarang Rhea berada di salah satu kursi yang berada di selasar rumah sakit, menunggu Naren yang sedang mengurus administrasi untuk rawat inap Zanna."Kamu mau pulang atau di sini aja?" Naren memastikan kembali jam di ponselnya yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kalo mau di sini juga nggak apa-apa, nanti kan di kamarnya ada sofa. Aku khawatir kalo kamu pulang jam segini.""Zanna nggak keberatan kalo aku ikut nunggu di kamar rawatnya?""Dia keberatan pun, nggak bakal bisa ngapa-ngapain, Rhe. Bahkan buat ngusir kamu mungkin dia udah nggak punya tenaga."Naren tidak sedang menyindirnya, tapi ucapan Naren itu membuat Rhea termangu. Sejak kapan ia berubah menjadi orang sejahat itu yang meminta Naren berada di sisinya padahal Zanna sedang membutuhkannya."Ya udah, aku nunggu di sini. Besok pagi aku balik ke rumah, mungkin besok aku stay di Amigos aja."Naren mengulurkan tangannya. "Ayo, kita cari makan dulu sebentar, biar bisa dimakan pas di kamar n
"Kamu lagi di mana?"Naren mengangkat panggilan telepon dari kakeknya saat ia tengah menghabiskan waktu makan siang di salah satu restoran yang ada di dekat kantornya dengan Zanna.Siang itu Zanna tiba-tiba memberi kabar kalau ia sedang berada di dekat kantor Naren. Ini hari keduanya Zanna kembali bekerja setelah beberapa hari sebelumnya istirahat total di apartemen. Karena ia harus menemui klien, kesempatan itu ia gunakan untuk sekalian mengajak Naren makan siang."Lagi makan siang, Kek," jawab Naren.Aditama masih bisa mendengar samar-samar sisa suara Zanna yang tertawa. Ia menghela napas berat, membayangkan Rhea yang sendirian di rumah sakit. "Rhea kecelakaan di ruko—"Naren terdiam, meresapi semua informasi dari kakeknya. Setelah menutup telepon dari kakeknya yang berlangsung tidak lebih dari satu menit itu, Naren langsung berdiri dan meraih jasnya. "Na, aku tinggal ya, Rhea masuk rumah sakit."Tanpa menunggu jawaban dari Zanna, Naren meninggalkan restoran dan melajukan mobilnya m
Naren membuka pintu kamar rawat Rhea. Hatinya bergemuruh saat melihat Ega duduk di dekat Rhea. Keduanya sedang terbahak sambil menatap televisi.Tapi, kenapa ada Ega?"Hai, Ga," sapa Naren."Eh, Ren. Dari mana aja?"Naren tidak menjawab dan langsung beringsut mendekati Rhea. "Gimana, Sayang? Udah enakan atau masih pusing kayak kemaren?"Rhea menatap Naren sesaat. "Udah enakan kok." Kemudian perhatiannya kembali ke layar televisi yang menampilkan drama Korea. Ia kembali tertawa sambil sesekali membahas adegan yang ditontonnya dengan Ega.Naren duduk di pinggir ranjang Rhea, ikut menonton apa yang ditonton Rhea, tapi pikirannya sama sekali tidak terpusat di situ.Setelah satu episode selesai, Ega meminta Rhea untuk istirahat kembali. "Udahan ah nontonnya. Istirahat. Kalo bosen tidur, baru nonton lagi," perintah Ega.Saat ini, barulah Naren memiliki kesempatan untuk bertanya. "Kok kamu di sini, Ga? Tau dari mana Rhea masuk rumah sakit?""Oh ... penasaran banget kayaknya," ledek Ega. "Aku
"Rhea tinggal sama aku!" Rahang Naren mengeras ketika mengatakannya."Enak aja. Kalian kan belum nikah!" tolak Ega.Keduanya tengah berdiskusi tentang kondisi Rhea. Siang hari itu Rhea sudah diperbolehkan pulang, tapi karena kekhawatiran berlebih membuat dua orang lelaki yang sedang duduk di sofa itu beradu pendapat."Terus yang paling masuk akal, di mana selain di tempatku?" Naren menatap Ega dengan tatapan tajamnya. Ia masih ingat kejadian saat Ega memukulnya, pun ia tidak membalas karena ada bagian dari dirinya yang merasa ucapan Ega benar. Ia salah malam itu telah meninggalkan Rhea sendiri."Ya ... di rumah Leny, Amee, atau siapa kek.""Leny sama Amee kerja. Di sini cuma kerjaanku yang bisa fleksibel.""Kerjaanmu memang fleksibel, tapi waktumu nggak. Bahkan kamu ninggalin Rhea waktu itu, di saat dia paling butuh kamu. Masih merasa berhak untuk ada di samping Rhea?"Rhea yang dari kasurnya mendengar pertengkaran mereka, hanya bisa menghela napas. Kalau sudah begini, pendapatnya pun
"Coba lihat bekas jahitannya." Naren menarik Rhea agar duduk di sampingnya.Keduanya baru kembali dari rumah sakit setelah melepas jahitan Rhea, dengan begitu seharusnya Rhea sudah bisa kembali ke rumahnya. Alasan apa lagi yang akan digunakan Naren untuk menahan Rhea di apartemen? Mungkin juga saatnya Naren kembali ke rumahnya. Dengan pengobatan rutin yang dilakukan Zanna, akhir-akhir ini juga dia sudah bisa beraktivitas normal dan hampir tidak pernah mengeluh sakit lagi.Rhea menunduk, membiarkan Naren melihat bekas jahitan di kepala sebelah kirinya. "Jelek ya? Untung ketutupan rambut.""Cantik kok.""Bekas jahitan dibilang cantik!" Rhea menatap Naren dengan kesal.Naren terkekeh. "Apa pun yang ada di kamu cantik kok."Karena geli mendengar ucapan Naren, Rhea berpura-pura memejamkan mata."Lain kali kalo masuk bangunan yang masih direnovasi gitu pake helm.""Hmm," jawab Rhea dengan gumaman.Naren masih mengamati Rhea dalam diamnya, rasanya sudah lama mereka tidak memiliki quality tim
"Mas, kamu jahat banget sih sama Ega."Mereka berdua telah kembali bergelung di dalam selimut dan melanjutkan menonton setelah berhasil mengusir Ega dan Pras untuk pulang.Meskipun Ega tahu kalau ia tidak punya hak melarang Rhea melakukan apa pun yang ia mau, tapi Ega tetap berpesan kepada Rhea untuk menjaga diri. Tentu saja yang dimaksud Ega di sini adalah menjaga diri dari Naren. Bagaimana pun juga ia tahu hormon laki-laki akan sangat susah dikontrol jika dihadapkan pada situasi seperti mereka, hanya berdua di dalam ruang tertutup."Jahat gimana?""Ya ... gitu tadi, udah lah nggak usah dibahas.""Emang aku nggak mau ngebahas lagi sih. Enakan meluk kamu sambil nonton gini."Rhea tersenyum. Ia baru sadar kalau merindukan seseorang kadang bukan hanya karena keberadannya, tapi bisa juga karena perlakuannya. Beberapa minggu terakhir, Naren memang ada tapi Rhea merasa hampa, mungkin karena perlakuan manis Naren padanya yang tiba-tiba tidak dirasakannya lagi.Dan malam ini, bolehkah ia ser
“Hei Ren,” sapa Dio yang terlihat membawa tumbler dengan merk sebuah gerai kopi ternama.Siapa yang tidak mengenal Narendra di perusahaan tempatnya bekerja. Casanova yang juga menjabat Direktur Legal. Tidak ada seorang pun di perusahaan itu, atau mungkin bahkan di Jakarta, yang memiliki jam terbang pacaran sebanyak dirinya.“Lo masih sama Ratri?” Dio menarik lengan Naren untuk mengajaknya ke tukang bubur yang berada di belakang kantor mereka.Dio yang juga merupakan teman semasa kuliah Naren dan masuk ke perusahaan yang sama—hanya berbeda departemen—tentu saja tahu sepak terjang Narendra.“Ratri?”“Shit! Masih aja lo ya. Abis macarin anak orang trus dilupain begitu aja.”Naren masih terlihat berpikir keras mengingat-ingat siapa sosok Ratri yang dibicarakan Dio.“Adiknya Friska, temen kuliah kita. Friska juga pernah lo pacarin. Pasti lo lupa juga. Udah deh, capek bikin lo inget. Intinya, sekarang lo lagi ada cewek nggak?”“Ada. Danisha.”“Siapa lagi itu Danisha?”Naren mengedikkan bahu