“Hei Ren,” sapa Dio yang terlihat membawa tumbler dengan merk sebuah gerai kopi ternama.
Siapa yang tidak mengenal Narendra di perusahaan tempatnya bekerja. Casanova yang juga menjabat Direktur Legal. Tidak ada seorang pun di perusahaan itu, atau mungkin bahkan di Jakarta, yang memiliki jam terbang pacaran sebanyak dirinya.
“Lo masih sama Ratri?” Dio menarik lengan Naren untuk mengajaknya ke tukang bubur yang berada di belakang kantor mereka.
Dio yang juga merupakan teman semasa kuliah Naren dan masuk ke perusahaan yang sama—hanya berbeda departemen—tentu saja tahu sepak terjang Narendra.
“Ratri?”
“Shit! Masih aja lo ya. Abis macarin anak orang trus dilupain begitu aja.”
Naren masih terlihat berpikir keras mengingat-ingat siapa sosok Ratri yang dibicarakan Dio.
“Adiknya Friska, temen kuliah kita. Friska juga pernah lo pacarin. Pasti lo lupa juga. Udah deh, capek bikin lo inget. Intinya, sekarang lo lagi ada cewek nggak?”
“Ada. Danisha.”
“Siapa lagi itu Danisha?”
Naren mengedikkan bahu. “Cewek. Ketemu di car free day.”
“Anjir! Gue bener-bener harus berguru dari lo deh.” Dio menatap Naren dengan penuh harapan.
Naren membiarkan Dio mencari tempat duduk, sementara dia memesankan 2 mangkuk bubur ayam buatnya dan temannya itu.
“Lo bawa kopi dari tempat mahal, tapi sarapannya bubur ayam,” ledek Naren.
“Lah, siapa bilang ini isinya kopi?” Dio terbahak. “Orang isinya air putih. Go green, Ren.”
“Hmm ... apalagi kalo liat duit ya, mata lo juga go green.”
“Sialan! Jadi menurut lo departemen finance mata duitan?”
“Iya, emang gitu kan.”
Dua mangkuk bubur ayam beserta dua gelas teh tawar hangat kini terhidang di depan mereka.
“Eh Ren, lo udah denger belum sih kalo bakalan ada pegawai pindahan dari cabang?”
“Oh, yang program penghargaan itu jadi lanjut?” tanya Naren terlihat tidak terlalu tertarik.
“Iya, 2 orang, cewek, gue harap sih lo ngalah kali ini, biarkan cowok-cowok di kantor ini juga dapet kesempatan untuk deketin mereka. Dan salah satunya bakal masuk ke departemen gue. Awas aja lo mainin dia.”
“Kenapa gue harus ngalah?” senyum licik terpancar dari wajah Naren. “Ya tapi kan belum tentu juga gue tertarik.”
“Lo kapan tobatnya sih?”
Naren pun tidak pernah tahu kapan dia bisa bertaubat dari petualangan tiga puluh harinya.
“Jadi si Danisha ini sisa berapa lama lagi waktunya?”
Bagi yang tidak mengenal mereka berdua, percakapan mereka terdengar seperti membicarakan seseorang yang sedang sakit keras dan menghitung waktu hidupnya berapa lama lagi. Namun bukan itu. Waktu yang dimaksud Dio adalah hitungan masa pacaran Naren dan cewek yang bernama Danisha itu.
Naren mengeluarkan ponselnya dan mengecek aplikasi reminder yang dia gunakan juga untuk mencatat jadwal meetingnya.
“Gue jadian sama dia tanggal 5 bulan ini, karena bulan ini ada 30 hari, berarti gue bakal mutusin dia tanggal 4 bulan depan.”
Dio mendecakkan lidahnya, “Gue nggak habis pikir, dari mana sih lo terinspirasi pacaran tiga puluh hari gitu? Lo nggak takut kena karma?”
“Emang ada karma di dunia ini?” Naren tersenyum meremehkan. Ya, dia memang tidak pernah percaya adanya karma. Ibunya yang pergi meninggalkannya dengan lelaki lain dan ayahnya yang sering berganti perempuan membuatnya tidak mengakui adanya karma.
***
“Hai, boleh kenalan?” sapa seorang gadis berkaca mata. Gadis itu mengenakan celana kulot berwarna navy dan atasan blouse bermotif floral.
“Hai, Aku Kaira Felora. Panggil aja Kaira. Kamu yang pindahan dari kantor cabang juga kan?”
Gadis itu menyambut uluran tangan Kaira. “Aku Rhea.” Terlalu rumit baginya jika harus menyebutkan nama panjangnya, maka dia memilih mengenalkan nama panggilannya saja.
Hanya ada dua gadis itu di dalam ruang meeting. Entahlah ke mana pegawai yang tadi mengarahkan mereka ke ruangan itu.
“Deg-degan nggak sih?” tanya Kaira.
“Iya, kayak baru masuk kerja ya. Padahal aku di kantor cabang udah enam tahunan, apa lebih ya?” Rhea menggaruk tengkuknya sambil berpikir.
“Kamu dapet halangan nggak sih waktu ditawarin pindah ke kantor pusat? Dari keluarga, pacar, atau suami gitu?”
Rhea tersenyum mengingat saat-saat ia menyampaikan berita kepindahannya ke kantor pusat. “Boro-boro, papa sama mamaku malah seneng banget. Disuruh ngurus rumah yang di sini. Beberapa tahun lagi papaku pensiun, mungkin abis itu pada pindah ke sini. Oh iya, aku dulu sekolah di sini, cuma karena papaku sering pindah tugas, jadi ngikut Papa ke mana-mana.”
“Kalo pacar atau ... suami?”
Rhea menatap Kaira dan memahami maksud ekspresi yang ditunjukkannya, “Aku nggak ada pacar dan belum nikah. Nggak usah ngerasa nggak enak gitu ah, udah kebal aku dapet pertanyaan itu. Makanya orang tuaku udah resah dan gelisah.” Rhea terbahak. “Justru aku pindah karena capek denger omongan orang. Kamu gimana?”
“Aku ... sebenernya hampir lamaran beberapa bulan lalu, tapi gagal, dan yaaa ... sama kayak kamu, males denger omongan orang, makanya aku nerima tawaran ini.” Kaira mendadak terlihat sendu. “Eh ini kita baru kenalan kenapa udah ngomong yang pribadi banget gini ya?”
“Abisnya nggak mungkin kan kita ngomongin strategi perusahaan.”
Keduanya terbahak, lalu tiba-tiba terdiam ketika seorang lelaki yang diprediksi Rhea sebagai Direktur HRD masuk ke dalam ruang meeting diikuti beberapa orang di belakangnya.
Rhea dan Kaira berdiri dan mengangguk dengan sopan.
“Selamat pagi. Saya Radith, Direktur HRD.”
Keduanya menerima jabat tangan dari lelaki itu.
“Pertama, saya ingin berterima kasih atas kinerja yang kalian berdua berikan di kantor cabang, dan saya harap kalian bisa memberikan sumbangsih yang sama besar atau bahkan lebih besar di kantor pusat. Kedua, saya ucapkan selamat datang di kantor pusat, dan selamat bekerja, semoga betah ya. Boleh saya kenalan dulu?”
“Saya Rhea Pak.”
“Rhea, yang dari kantor cabang Batam kan?”
“Iya Pak.”
“Ok, nanti kamu ditempatin di divisi audit internal, di bawah Departemen Finance ya. Sesuai dengan keahlianmu. Dan kamu berarti Kaira?”
“Iya Pak, saya Kaira dari kantor cabang Surabaya.”
“Kamu nanti di bawah humas ya. Kayaknya kita cukupkan perkenalan kita ya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas kinerja kalian. Oh iya, hampir lupa, sebagai salah satu reward buat kalian, Pak Presdir ngajak makan siang nanti sama beberapa orang lainnya. Nanti biar sekretaris saya yang hubungi kalian ya.” Lelaki bernama Radith itu memberikan kode kepada sekretarisnya untuk membantu Rhea dan Kaira.
Usai perkenalan singkat itu, Rhea dan Kaira terpaksa berpisah karena lokasi departemen mereka yang berbeda.
Keduanya kembali bertemu saat Dinda—sekretaris Direktur HRD—memanggil mereka untuk berangkat menuju hotel tempat diadakannya makan siang bersama.
“Aku cuma ngantar kalian sampai sini ya.” ucap Dinda yang menitipkan mereka ke sekretaris Presdir yang terlihat sedang mangamati siapa saja yang belum sampai di restoran Hotel Pullman yang berada di kawasan bundaran HI itu.
“Loh, Mbak nggak ikut?”
“Nggak, itu kan acara buat para direktur sama kalian. Aku sih mau makan di GI sama temen.”
“Serius Mbak?” tanya Kaira yang mulai gelisah.
“Iya, beneran. Good luck ya. Nggak usah tegang. Direktur kita ganteng-ganteng kok. Lumayan buat cuci mata.” Dinda meninggalkan keduanya sambil terkekeh.
Erika--sekretaris Presdir yang bertugas mengatur jamuan itu—mengantarkan keduanya ke salah satu meja yang sudah di-booked.
“Santai aja, belum pada dateng, boleh kok kalo mau langsung ambil makanan yang ada. Buat ngemil-ngemil dulu. Aku tinggal dulu ke depan ya.”
“Ini ngapain sih kita mesti diajak makan gini?” Rhea menghembuskan napas berat setelah Erika pergi.
Kaira hanya terkekeh melihat ketidaknyamanan Rhea.
“Pak Dio.” Rhea yang mengenali direktur di departemennya itu, merasa sedikit lega karena akhirnya melihat sosok yang dikenalnya.
Dio melempar senyumnya. Ia datang bersama Naren dan langsung mengambil posisi duduk di depan kedua wanita itu.
Pandangan Rhea tidak bisa beralih dari lelaki yang duduk di samping Dio. Rasanya seperti tersedot ke masa lalu. ‘Naren?’
Kesadaran itu seketika menamparnya dan membuatnya menundukkan kepala, berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya, ‘Kenapa ada dia? Dia inget gue nggak ya? Mampus gue.’
“Rhea kenapa?” tanya Dio yang kaget melihat Rhea tiba-tiba menunduk. “Ada yang jatuh?”“Oh, nggak, Pak. Lagi nyari lap buat kacamata saya, Pak.” Rhea berakting membuka tasnya dan mencari apa yang ia sebut tadi dengan asal.‘Oh shit! Gue nggak mungkin buka kacamata gue, pasti bakal langsung ketahuan.’ Rhea merutuki kebodohannya.“Kai, aku ke toilet dulu ya,” bisik Rhea ke Kaira.“Pak, saya permisi ke toilet sebentar,” ucap Rhea meminta izin kepada atasannya.Rhea merasa sedang beruntung, Naren sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena sedang sibuk memainkan ponselnya.Setibanya di dalam toilet, Rhea langsung mengelurkan barang-barang bawaannya yang ada di dalam tas. Dia mengingat-ingat kembali bagaimana penampilannya saat SMA.Rhea seketika tersenyum miris, tidak banyak yang berubah pada dirinya. Bahkan panjang rambutnya masih sama. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi penyelamatnya adalah kacamata. Dulu semasa SMA ia tidak memakai kacamata, jadi harusnya Naren tidak akan menyadari
“Sore Mel. Pak Dio ada?”Kedatangan Naren ke Departemen Finance bukan hal yang aneh, tapi juga bukan hal yang lumrah. Para pegawai tahu kalau Naren dan Dio berteman. Karena itu, memang beberapa kali mereka mendapati Naren di ruangan Dio atau sebaliknya.Sekretaris Dio menjawab dengan sapaan yang luar biasa ramah. Senyuman menghiasi bibirnya kala sahabat dari atasannya itu menyapanya. “Ada Pak.”Setelah lelah bekerja seharian, kehadiran Naren layaknya oase di gurun pasir. Bukan hanya bagi Amel, tetapi bagi pegawai wanita di departemen itu, entah itu masih single atau sudah bersuami.Naren mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba menemukan sosok yang dia cari, yang sebenarnya menjadi alasannya sore itu untuk datang ke ruangan Dio.“Pak Naren, ada yang bisa dibantu lagi?” tanya Amel, sekretaris Dio.“Oh, nggak, nggak, saya boleh langsung masuk?”“Selagi ngga ada tamu kan biasanya Pak Naren langsung masuk.”Menyadari keanehan sikapnya, Naren memutuskan menghentikan aksi pencariannya d
Rhea membuka pagar rumahnya dengan was-was. Ia mencoba mengabaikan omongan pemilik salon tentang orang yang menguntit rumahnya beberapa tahun silam, namun ternyata tidaklah mudah. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mencurigakan di sekitarnya, Rhea membuka pintu pagar dan segera menguncinya dengan gembok.Setelah membuka pintu rumah pun, Rhea kembali melakukan pengamanan lebih, dengan kunci ditambah dengan slot pintu yang selama ini jarang digunakannya.‘Kayaknya harus install CCTV,’ batinnya.Rhea masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Ingin rasanya Rhea menelepon orang tuanya, namun ia tidak ingin orang tuanya khawatir.Tanpa membuang waktu, Rhea mulai membuka ponselnya dan mencari jasa pemasangan CCTV. Belum juga ia menemukan penyedia jasa yang menurutnya cocok, sebuah pesan sukses menyela kegiatannya.Ega: Udah pulang Rhe?Rhea: Udah GaEga: Weekend bisa ketemu?Rhea: Kamu mau ke Jakarta?Ega: Iya, aku ada seminar di JakartaEga:
“Halo, Ga.”Sesuai janjinya dengan Ega beberapa hari sebelumnya, sabtu siang itu Ega menghubungi Rhea untuk mengatur janji bertemunya.“Halo, Rhe. Acara seminarku udah kelar nih. Jadi ketemu kan?”“Jadi dong. Mau ketemu di mana?” tanya Rhea.“Share loc aja alamat rumahmu, Rhe. Aku jemput kamu,” jawab Ega.“Eh? Nggak ketemuan di mana gitu, biar kamunya gampang.”“Aku bawa mobil kok, Rhe. Dipinjemin sepupuku yang tinggal di sini.”“Oh gitu? Ya udah abis ini aku share loc, kalo nyasar atau ada apa-apa langsung kabarin aku ya.”“Iya, santai, Rhe. Kayak aku baru pertama kali ke Jakarta aja.”Rhea hanya terkekeh mendapati kenyataan itu. Ega bukanlah anak daerah yang baru pertama kali ke Jakarta. Bahkan ia mengenyam pendidikan S1 kedokterannya di salah satu universitas negeri di Jakarta.Suara klakson mobil terdengar samar dari dalam kamarnya tidak lama setelah Rhea selesai bersiap dengan mengenakan celana white jeans dan crop over top berwarna peach.“Hai, Pak Dokter.”Ega menatap Rhea dala
Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.“Panggil gue Rhea ya, Mee.”“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”“Iya, gue kerja di sini sekarang.”Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita y
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.“Rhea.”Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”Rhea menggeleng cepat.Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.“Loh hp saya?”“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’“Ayo!”
Naren masuk ke dalam ruangannya dengan senyum mengembang. Bersama Rhea (masih) menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya.Beda rasanya saat ia bersama dengan pacar tiga puluh harinya yang lain. Bukan berarti ia tidak senang menjalani hubungannya dengan wanita-wanita itu. Hanya saja ... rasanya berbeda. Dan ia sendiri masih kebingungan untuk mendefinisikannya.Ia tersenyum geli saat mengingat bagaimana ia bisa bersinggungan takdir dengan Jingga (yang sekarang mengganti nama panggilannya menjadi Rhea).***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Jingga menarik Amee dan Leny menuju kantin yang mulai dipenuhi murid-murid kelaparan.“Buruan sih. Nanti kantinnya penuh, nggak dapet tempat duduk kita.” ucap Jingga dengan tangan kanan menggenggam pergelangan tangan Amee dan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan Leny.“Lo laper banget apa gimana sih, Ngga? Ganas amat nariknya.” Leny mendengkus kesal mengikuti langkah tergesa Jingga.Jingga sama sekali tidak mengacuhkan ocehan Leny
“Bapak bilang apa barusan?” tanya Rhea yang baru saja menjatuhkan ayamnya di atas piring karena terlalu kaget.Naren ingin merutuki mulutnya yang kelepasan memanggil Rhea dengan nama panggilannya semasa SMA. “Makasih, nggaaak sia-sia saya nunggu kamu nggoreng ayam. Enak.” Untung ia bisa merangkai kata-kata untuk mencoba mengaburkan ucapannya yang sebelumnya.Walau masih dipenuhi rasa ragu dan penasaran, Rhea memilih menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Naren di satu ruangan yang sama.“Pak Naren sama Pak Dio katanya temen kuliah, tapi kan kalian beda jurusan, kok bisa?” Otaknya memerintahkannya untuk diam, tapi hatinya tidak tahan lagi dengan keterdiaman di antara mereka.“Dio sempet masuk fakultas hukum setahun. Tapi katanya bukan passion-nya. Tahun berikutnya dia ambil ujian masuk lagi, dan keterima di accounting.”“Pinter dong berarti Pak Dio.”“Itu namanya dia plin plan, atau otaknya nggak cukup mampu menelaah tentang hukum.”Rhea menggeleng melihat sifat Na