Share

2 Apa Dia Mengingatku?

“Rhea kenapa?” tanya Dio yang kaget melihat Rhea tiba-tiba menunduk. “Ada yang jatuh?”

“Oh, nggak, Pak. Lagi nyari lap buat kacamata saya, Pak.” Rhea berakting membuka tasnya dan mencari apa yang ia sebut tadi dengan asal.

‘Oh shit! Gue nggak mungkin buka kacamata gue, pasti bakal langsung ketahuan.’ Rhea merutuki kebodohannya.

“Kai, aku ke toilet dulu ya,” bisik Rhea ke Kaira.

“Pak, saya permisi ke toilet sebentar,” ucap Rhea meminta izin kepada atasannya.

Rhea merasa sedang beruntung, Naren sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena sedang sibuk memainkan ponselnya.

Setibanya di dalam toilet, Rhea langsung mengelurkan barang-barang bawaannya yang ada di dalam tas. Dia mengingat-ingat kembali bagaimana penampilannya saat SMA.

Rhea seketika tersenyum miris, tidak banyak yang berubah pada dirinya. Bahkan panjang rambutnya masih sama. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi penyelamatnya adalah kacamata. Dulu semasa SMA ia tidak memakai kacamata, jadi harusnya Naren tidak akan menyadari siapa dirinya kan. Ia pun mengoleskan lipstik dengan warna lebih cerah, mungkin hal itu juga bisa jadi salah satu kamuflasenya.

‘Rhe ... Rhe ... kepedean amat. Mana pernah dia inget sama pacar-pacarnya yang sekarang jumlahnya entah berapa puluh itu. Calm down Rhe!’ batin Rhea menenangkan diri sendiri.

Setelah berhasil menenangkan diri, Rhea kembali ke tempat duduknya semula dan tidak menemukan Naren di sebelah Dio. Saat itu, Rhea baru benar-benar bisa menghela napasnya dengan lega.

Meskipun dipenuhi rasa penasaran, Rhea menahan dirinya untuk tidak menanyakan keberadaan Naren kepada Dio ataupun Kaira.

Dalam jamuan makan siang itu, Radith selaku Direktur HRD memperkenalkan Rhea dan Kaira kepada Presiden Direktur perusahaan yang menyambut mereka dengan senyuman bangganya.

“Kalian balik ke kantor naik apa?” tanya Dio.

“Naik taksi Pak. Tadi sih berangkatnya dianter sama Mbak Dinda.” jawab Rhea.

“Bareng sama saya aja. Ke kantor juga kan, jangan ngabisin BBM, bahan bakar yang belum terbarukan loh.”

Rhea hanya mengangguk sambil menahan tawanya. ‘Lucu juga ini boss, lumayan lah, nggak terlalu kaku orangnya.’

Rhea dan Kaira berjalan mengekori Dio seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Dio berhenti karena disapa seseorang, maka mereka pun berhenti. Dio berhenti di depan lobby, maka mereka pun berhenti di belakangnya.

“Tunggu bentar ya, mobilnya lagi jalan ke sini.”

Keduanya hanya mengangguk lagi.

Sebuah BMW X4 membunhyikan klakson sebagai kode kepada Dio dan berhenti tepat di depan Dio.

“Ayo!” ajak Dio.

Dio membuka pintu mobil penumpang depan, dan membiarkan kedua wanita itu memasuki kursi penumpang belakang.

Rhea dan Kaira saling melirik, dengan pikiran yang sama. Mereka pikir, supir lah yang menjemput Dio, tetapi ternyata dugaan mereka salah. Naren yang duduk di belakang kemudi dan mengumpati Dio yang menjadikannya seperti supir, padahal Dio bisa saja jalan ke parkiran.

“Kan ada cewek-cewek, kasihan jalan ke parkiran.” Dio terbahak dan baru menyadari kalau kedua wanita di belakangnya tampak sedikit kebingungan. “Oh iya, kalian kan belum kenalan. Tadi Naren langsung cabut begitu aja, kebiasaan.” cibirnya.

Naren melajukan mobilnya tanpa mengacuhkan ledekan dari Dio.

Melihat Naren yang masih belum membuka mulutnya untuk berkenalan, Dio memilih menjadi penyambung lidah di antara mereka.

“Ini Pak Naren, Direktur Legal. Temen saya dari kuliah jadi jangan kaget kalo kami sedeket ini. Nah sebutin deh nama kalian.”

“Saya Kaira Pak, di Departemen Humas.”

Naren hanya mengangguk singkat sambil melirik ke arah rear view mirror.

Jantung Rhea berdegup kencang saat tanpa sengaja matanya dan mata Naren bertatapan melalui rear view mirror.

Untuk sesaat, Rhea terhanyut pada tatapan itu. Tatapan yang masih tetap sama, dalam dan menenangkan.

"Rhe." Kaira menyikut Rhea yang masih terdiam.

"Eh, nama saya ... Rhea, staf Pak Dio." ucapnya dengan suara yang agak dibuat lebih berat, semoga saja dengan begitu Naren sama sekali tidak dapat mengenalnya.

Naren kembali menatap rear view mirror, kali ini lebih lama. 'Jingga?'

"Fokus Ren. Sayang mobil lo kalo kegores kendaraan lain di jalanan selagi lo ngelirik melulu ke belakang."

Naren mendengus kesal. Matanya masih ingin melirik ke belakang, ke arah seorang gadis yang membuatnya penasaran.

Dio meminta Rhea dan Kaira untuk turun lebih dulu sesampainya di area parkir kantor mereka. Rhea tentu saja menyambut perintah Dio dengan suka cita. Ia pun segera menarik tangan Kaira untuk turun dari mobil.

"Kayaknya ada yang nggak fokus sepanjang perjalanan. Lo ngincer Rhea? Gue lihat mata lo nggak lepas dari dia."

"Nggak. Kan masih ada Danisha," jawab Naren enteng.

"Ya siapa tau buat cadangan setelah Danisha. Ngaku lo! Staf gue itu, nggak usah macem-macem."

"Emang lo bokapnya apa, ngelarang cowok ngedeketin dia. Bawel ah. Udah sana turun. Apa perlu gue bukain pintu dari luar? Biar totalitas gitu kali ini gue jadi sopir lo."

“Tunggu deh, gue tadi itu mau nanya sesuatu.” Dio masih bertahan di kursinya meskipun sudah melepaskan seat belt.

“Apa lagi?”

“Hubungan lo sama bokap lo masih begitu-begitu aja?”

“Iya lah, berharap apa dari seorang bokap yang kayak dia?”

“Trus bokap lo nggak marah gitu ngeliat lo langsung pergi aja tadi?”

“Udah biasa, udah bosen juga gue denger omelan dia. Nggak ada efeknya buat gue.”

Dio menggelengkan kepalanya mengingat Naren yang langsung meninggalkan restoran saat papanya tiba.

Hubungan Naren dan ayahnya memang tidak selayaknya hubungan orang tua dan anak. Lagipula Naren tidak merasa ada yang perlu dicontoh dari orang tuanya, jadi untuk apa dia menjaga hubungan baik dengan orang tuanya. Pun dia masuk ke perusahaan karena permintaan kakeknya. Kalau tidak, mungkin dia akan memilih menjadi pengacara, konsultan hukum, atau bahkan mendirikan law firm-nya sendiri.

“Dio, beneran staf lo tadi namanya Rhea?” tanya Naren memastikan.

“Selama dia bukan anggota BIN atau intel yang lagi nyamar, gue yakin namanya Rhea. Kenapa sih? Naksir?”

“Nggak, mirip seseorang doang, mungkin ingatan gue yang salah. Lagian sejak kapan gue naksir cewek duluan?”

“Ingatan lo emang nggak pernah bener kalo masalah cewek. Tunggu aja karma lo Ren, beneran gue sumpahin lo.”

‘Tapi gue yakin ingatan gue kali ini bener, dia Jingga. Apa bukan? Oh shit! Gue jadi ragu sendiri,’ batin Naren yang semakin bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status