Share

5 Seseorang yang Tak Pernah Lebih dari Sahabat

“Halo, Ga.”

Sesuai janjinya dengan Ega beberapa hari sebelumnya, sabtu siang itu Ega menghubungi Rhea untuk mengatur janji bertemunya.

“Halo, Rhe. Acara seminarku udah kelar nih. Jadi ketemu kan?”

“Jadi dong. Mau ketemu di mana?” tanya Rhea.

“Share loc aja alamat rumahmu, Rhe. Aku jemput kamu,” jawab Ega.

“Eh? Nggak ketemuan di mana gitu, biar kamunya gampang.”

“Aku bawa mobil kok, Rhe. Dipinjemin sepupuku yang tinggal di sini.”

“Oh gitu? Ya udah abis ini aku share loc, kalo nyasar atau ada apa-apa langsung kabarin aku ya.”

“Iya, santai, Rhe. Kayak aku baru pertama kali ke Jakarta aja.”

Rhea hanya terkekeh mendapati kenyataan itu. Ega bukanlah anak daerah yang baru pertama kali ke Jakarta. Bahkan ia mengenyam pendidikan S1 kedokterannya di salah satu universitas negeri di Jakarta.

Suara klakson mobil terdengar samar dari dalam kamarnya tidak lama setelah Rhea selesai bersiap dengan mengenakan celana white jeans dan crop over top berwarna peach.

“Hai, Pak Dokter.”

Ega menatap Rhea dalam diam.

“Ga! Woi!”

“Ya ampun Rhe, kamu ada masalah?” tanya Ega sambil berjalan ke arah pintu penumpang dan membukakanya untuk Rhea.

“Masalah apa?”

“Itu.” Ega menunjuk rambut Rhea dengan dagunya. “Kamu baru 2 mingguan di sini, dan udah langsung motong rambutmu sependek ini.”

“Oooooh, nggak pendek-pendek banget kok, Ga. Mungkin karena kamu biasa ngelihat rambutku yang panjang, jadi kaget. Aneh ya?”

“Nggak kok, tetep cantik. Cuma ... beda aja.”

Mengabaikan reaksi Ega, Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan, “Mau ke mana kita?”

“Ke Kota Tua mau nggak?”

“Kayaknya enak sore atau malem deh, Ga, kalo ke Kota Tua. Jam segini masih panas.”

“Ya udah, malem ya anterin aku ke sana.”

“Mau ngapain emangnya ke Kota Tua?”

“Kamu inget keponakanku, Nata, kan? Dia minta dibeliin oleh-oleh baju dari Jakarta yang ada tulisannya gitu deh. Khas baju-baju kalo kita ke tempat wisata.”

“Udah bisa minta macem-macem dia ya. Banyak kok kalo oleh-oleh begitu di Kota Tua, di Monas juga ada sih. Trus sekarang kita mau ke mana?”

“Nonton aja yuk,” ajak Ega.

“Boleh, boleh. Sejak aku ke sini, aku belum nonton sama sekali.”

Ega melajukan mobilnya seakan tau  pasti ke mana ia akan mengajak Rhea pergi menonton.

“Rhe ....” panggil Ega memecahkan keheningan di dalam mobil. “Kamu kangen aku nggak?”

Rhea mengangguk. “Kangen semuanya, kangen Mama Papa, kangen temen-temen.”

Ega tersenyum miris. Masih saja wanita itu tidak menganggapnya lebih dari seorang sahabat.

“Ada yang udah mulai deketin kamu di sini?”

“Nggak usah mulai deh Ga.”

“Aku kan cuma nanya Rhe.”

“Nggak ada lah. Kita mau ke mana bioskop mana?”

“Metropole aja ya. Sekalian kita bisa mampir ke Roemah Kuliner yang ada di atasnya. Kata sepupuku udah direnov dan ambiance-nya bagus.”

Rhea hanya mengangguk.

Tidak bisa dipungkirinya, ia merasa nyaman bersama dengan Ega, tapi ia tak pernah berhasil sekeras apa pun mencoba untuk menyukai lelaki itu lebih dari sahabat.

Usai membeli dua tiket dengan jadwal yang masih cukup lama, Ega mengajak Rhea untuk ke tempat makan yang ada di lantai 2. Sebenarnya ada juga tempat makan yang ada di depan bioskop dengan menu pempeknya yang terkenal, tapi rasanya Ega ingin memiliki sedikit privasi dengan wanita yang sudah disukainya beberapa tahun belakangan ini.

Rhea menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba saat melihat seseorang—yang duduk di sofa tidak jauh darinya berdiri—sedang menatapnya dengan tajam.

“Kenapa, Rhe?” Ega yang menyadari berhentinya langkah Rhea seketika ikut berhenti dan menoleh ke arah Rhea.

“Nggak apa-apa.” Ucap Rhea yang segera mengiringi langkah Ega dan melingkarkan tangannya di lengan Ega.

‘Eh?’ Ega terlihat cukup shock. Tidak pernah ada dalam bayangannya Rhea akan bersikap semanja ini padanya.

“Mau duduk di mana, Rhe?”

“Di sana aja.” jawab Rhea sambil menunjuk meja yang terjauh dari jangkauan seseorang yang belum melepaskan tatapannya.

Ega mengikuti Rhea dengan senyumnya yang mengembang karena gesture sederhana dari Rhea.

“Kamu kenapa gelisah banget?” tanya Ega.

“Ah, nggak kok. Ini pesennya mesti ke stan makanannya ya?”

“Iya. Yuk. Aku taruh jaketku aja di sini buat nandain tempat kita. Kamu mau makan apa?”

“Lihat-lihat dulu deh ya.”

Rhea berhenti di depan sebuah stan makanan, “Aku ini aja deh, soto lamongan nggak pake nasi,” ucapnya.

“Ya udah, aku pesenin, kamu duduk aja.”

“Aku pesenin minumnya aja deh ya, kamu mau apa?”

“Lemon tea aja, less ice.”

Rhea berjalan menuju stan minuman yang terletak di ujung kiri. Selagi ia menunggu minumannya disiapkan, seseorang menepuk bahunya.

“ ... Ng ... Rhea.” Hampir saja ia memanggil wanita di depannya dengan ‘Ngga’. ‘Jingga’. Nama yang dulu biasa ia panggil untuk wanita yang memiliki kemiripan dengan Rhea.

“Siang Pak.”

“Kamu sama siapa tadi?”

“Memangnya saya harus jawab ya, Pak? Kan urusan pribadi saya.”

Naren tersenyum meremehkan. “Ya kan kalo pacar tinggal bilang pacar, temen tinggal bilang temen, saudara tinggal bilang saudara, apa susahnya?”

“Ok, pacar saya, Pak.”

“Ooooh ....”

“Sayang, kamu ngapain? Mau nambah minum?” tanya wanita yang langsung bergelayut manja kepada Naren.

“Nggak, ini temen kantor, lagi ngobrol aja.”

Bertepatan dengan itu, segelas lemon tea less ice dan segelas es kunyit asam telah siap di nampan yang ada di depan Rhea. “Saya permisi balik ke tempat duduk saya ya, Pak.”

“Naren, bisa nggak sih kamu fokus ke aku?” rajuk Danisha saat melihat Naren masih menatap Rhea yang telah duduk manis.

“Aku dari tadi kan fokus ke kamu. Balik ke meja yuk, habisin dulu makanannya.”

Dari kejauhan, tanpa sadar Rhea menatap Naren sambil tersenyum. Jenis senyuman yang hanya mengangkat salah satu sudut bibir hingga terlihat seperti senyuman mencemooh.

‘Pacar yang ke berapa? Nggak berubah ternyata. Kenapa dulu gue tergila-gila sama dia coba?’

 “Jingga? Jingga kan?” Seorang wanita mendekati meja yang ditempati Rhea dan menatapnya dengan penasaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status