Rhea berhenti mengunyah makanannya. Ia berpikir cepat untuk menjawab pertanyaan Naren agar Naren tidak semakin curiga."Di Malang," jawabnya singkat.Naren masih menatap Rhea, seakan meminta jawaban lebih.Tiba-tiba, alunan lagu Lazy Song dari Jason Mraz terdengar nyaring dari ponsel Rhea.Demi apa pun, baru kali ini Rhea hampir melonjak kegirangan hanya gara-gara ada yang meneleponnya. She should say thank you for her/him."Jingga, kamu di rumah?"Rhea tersenyum mendengar suara mamanya, ia hanya berharap Naren tidak mendengar panggilan mamanya kepadanya. "Iya, Ma.""Aman kan? Mama denger kabar dari Tante Juwi yang rumahnya di Blok C. Bener gitu ada maling di komplek?""Katanya sih gitu, Ma.""Aduh, kamu sendirian lagi. Kamu ngungsi aja di rumah temenmu.""Nggak usah khawatir Ma, tadi aku udah cek semua pintu sama jendela rumah, semua ruangan deh, aman sih sejauh ini.""Kamu nggak ngecek sendirian kan? Kalo ada maling yang sembunyi gimana?""Nggak, Ma. Tadi ditemenin ... tetangga." ja
“Rhe, please tidur aja.”Sudah satu jam Naren menatap Rhea yang berbaring dengan gelisah di sofa ruang tengah rumah Rhea.“Kamu tau pasti Rhe, saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu.” Naren mendengkus kesal. “Atau kamu mau saya pulang aja?”“Sorry. Masih berat ternyata.” Rhea tersenyum getir dalam kondisi gelap dan hanya mengandalkan flashlight dari ponsel Naren.“Berat kenapa? Sumpah, saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Tidur lah, besok kita mesti kerja. Saya juga nggak bisa tidur kalo kamu gerak-gerak gelisah gitu terus. Atau sebenernya kamu yang pengen ngapa-ngapain makanya kamu gelisah? Just say it, Rhe. Saya nggak bakal nolak kok.”Rhea mendengus kesal, memilih bangun dan duduk dengan posisi bersandar pada punggung sofa.“Saya udah bertahun-tahun nggak pernah menurunkan kewaspadaan saya di sekitar cowok.”Naren mendengarkannya tanpa berniat memotong ucapan Rhea. Lelaki itu paham ada yang ingin disampaikan Rhea dan itu bukanlah hal yang main-main.“Saya pernah hampir dikerjai mantan
Naren baru tersadar dan seketika melepaskan tangannya yang sejak tadi menggenggam tangan Rhea sambil menarik gadis itu menjauhi papanya.Beberapa mata yang menangkap kejadian itu, diam-diam melirik mereka dengan penasaran. Untung saja lift pegawai tiba-tiba terbuka. Rhea dengan tergesa memasuki lift itu, menekan tombol lantainya berada dan menuju pojok belakang lift demi berusaha menyembunyikan diri, walau tak benar-benar berhasil.Naren mengacak rambutnya dengan frustrasi. Bertemu dengan papanya memang layaknya malapetaka untuknya, tidak ada bagus-bagusnya, setelah ini pasti harinya akan terasa buruk, ditambah lagi Rhea yang kemungkinan besar marah padanya.Rhea menyampirkan blazer di punggung kursi begitu ia sampai di meja kerjanya. Ia mulai menghidupkan layar komputer dan langsung berkutat dengan pekerjaannya, toh sebelumnya ia sudah sarapan dengan Naren.“Pagi, Rhe.” Danar yang baru datang menyapa Rhea dengan hangat.“Pagi, Mas.”“Rhe, hari ini kamu jangan pergi ke mana-mana deh k
“Jadi lo mau ngejar Rhea lagi?”Naren mengedikkan bahu. “Gue kayak ngerasa tertantang gitu buat menggenapkan hubungan gue dulu, sampe tiga puluh hari. Enak aja dia main ninggalin gue, padahal belum tiga puluh hari.”“Trus kalo udah genep tiga puluh hari, lo dapet apa sih emangnya?”“Ya ... nggak dapet apa-apa, tapi at least nggak ada kecacatan dalam hubungan gue sama semua cewek yang pernah gue pacarin.”Dio menggeram kesal. “Lo sadar nggak sih, kalo hubungan tiga puluh hari lo aja itu udah sebuah kecacatan. Kalo lo nggak bisa percaya cinta, kenapa lo ngelibatin orang lain dalam ketidakpercayaan lo itu?”“Gue mau curhat malah diomelin. Ya udah lah gue balik aja,” ucap Naren datar dan meninggalkan Dio dengan perasaan kesalnya.Begitu menutup pintu ruangan Dio, Naren menemukan Rhea yang tengah menyantap makan siang yang tadi dibawakannya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tidak menemukan ada karyawan lain di ruangan itu.“Enak kan?”“Uhuk ... uhuk ....” Rhea yang tidak menyadar
-Whatsapp Group Trouble Makers-Prasasta: @Narendra nggak pengen cerita perkembangan hubungan lo sama tetangga depan rumah?Rama: I'm waitingBrian: I'm waiting (2)Narendra: Kalian nggak pada kerja ya? Berisik amat kayak ibu-ibu komplekBrian: Banyak bacot! Cepet cerita!Narendra: Ogah!Brian: Oh, I see, belum bisa naklukkin berarti :pPrasasta: Malu gila, yang katanya casanova, tapi nggak bisa dapetin cewek yang dia sukaRama: Puk! Puk! #sing cintaku bertepuk sebelah tangan ...Narendra: Bangke! Gue nggak cinta ya! Di kamus gue nggak ada definisi cintaBrian: Ya ya yaPrasasta: Awas ketulah sama omonganRama: #sing Semoga waktu akan mengilhami sisi hatimu yang beku ...Narendra: Berisik ah. Gue cuma mau nagih 5 hari sisa waktu pacaran gue dulu sama diaPrasasta: Lah, lo pikir cuti tahunan, yang nggak kepake tahun ini bisa ditagih tahun depanBrian: Wah temen gue gila juga ya!Rama: #sing Terlalu sadis caramu ...Naren meletakkan ponselnya, malas meladeni ocehan teman-temannya. Bisa-
Suara alarm yang memekakkan telinga sengaja dipilih Rhea untuk membangunkannya pagi itu. Niatnya sudah bulat untuk bangun lebih pagi dari biasanya dan berangkat lebih cepat agar Naren tidak memiliki kesempatan untuk mengajaknya berangkat bersama.Dengan tergesa, Rhea segera bersiap dan berangkat. Beruntung niatnya terlaksana. Mobil Naren belum tampak ada di depan rumahnya, tempat yang biasa dipilih Naren untuk sengaja menunggunya.Rhea berhasil sampai kantor dengan aman, tanpa gangguan Naren dan tanpa pandangan penasaran orang-orang. Ia tersenyum senang, tapi tampaknya kebahagiaannya tidak bertahan lama.Semua itu akibat pesan dari Naren di ponselnya.Narendra: Rhe, udah berangkat?Rhea: udah di kantorNarendra: Yaaah padahal saya nungguin kamuNarendra: Ok, then, see youRhea berdecak pelan dan memilih mencari Kaira untuk mengajaknya sarapan.“Rhe, ada yang mau diceritain nggak?” tanya Kaira yang kini telah duduk di depannya menunggu salah satu pedagang di kantin mengantarkan nasi ud
Rhea merenggangkan otot-ototnya setelah menyelesaikan pekerjaannya—pekerjaan yang membuatnya harus pulang lebih lama daripada orang lain. Ia memang bukan orang yang suka menunda pekerjaan.Sebuah tepukan pelan di pundak sempat mengagetkannya.“Kupikir kamu udah pulang.”Rhea mencoba mengingat-ingat wanita yang baru saja mengajaknya bicara itu. Erika. Ya, Rhea ingat sekarang, Erika adalah sekretaris presiden direktur.“Ada apa ya, Mbak?” tanya Rhea bingung.“Pak Adityo, maksa aku buat ngecek kamu udah pulang belum.”“Pak Adityo?”“Iya, kamu dipanggil ke ruangannya.”“Hah?”“Udah, temuin aja, biar aku bisa cepet pulang nih.”Rhea teringat kembali ucapan Naren di lift siang tadi. Namun ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain kan? Siapa dia hingga bisa menolak panggilan pemilik perusahaan. Ia berjalan mengekori Erika yang berjalan di depannya.Baru pertama kali Rhea menginjakkan kaki di lantai 3, lantai di mana terdapat ruangan presiden direktur beserta sekretaris dan beberapa asistenn
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kak Naren beneran nggak masalah nih pacaran sama aku?”Keduanya sedang berjalan beriringan menuju kantin, kali ini tanpa Amee dan Leny yang memilih memberikan waktu kepada mereka berdua di hari pertama mereka pacaran.“Emang mau lo cancel permintaan lo?”Jingga terdiam. Terlambat. Jingga terlanjur menyukai Naren. Ia tidak berani menilai perasaannya sebagai rasa ‘cinta’. Cinta monyet, mungkin kata orang.“Hei, nyesel?” tanya Naren yang masih menatap Jingga yang terdiam.“Takut Kak Naren terpaksa. Lagian kenapa aku bisa pede gila gitu minta kakak jadi pacarku! Udah gila aku kayaknya.”“Nggak bisa mundur ya, Ngga.”“Iya, iya. Kalo Kak Naren malu punya pacar aku, nggak apa-apa kok backstreet aja.”“Kenapa mesti malu?”“Siapa lah aku dibanding mantan-mantan Kakak yang cantik-cantik itu.”“Lo tau siapa aja mantan gue emangnya?”Jingga menatap Naren dengan malas. “Ini mau nyombong kalo mantan Kakak banyak apa gimana sih?”Naren terbahak sambil mengac