“Jadi lo mau ngejar Rhea lagi?”Naren mengedikkan bahu. “Gue kayak ngerasa tertantang gitu buat menggenapkan hubungan gue dulu, sampe tiga puluh hari. Enak aja dia main ninggalin gue, padahal belum tiga puluh hari.”“Trus kalo udah genep tiga puluh hari, lo dapet apa sih emangnya?”“Ya ... nggak dapet apa-apa, tapi at least nggak ada kecacatan dalam hubungan gue sama semua cewek yang pernah gue pacarin.”Dio menggeram kesal. “Lo sadar nggak sih, kalo hubungan tiga puluh hari lo aja itu udah sebuah kecacatan. Kalo lo nggak bisa percaya cinta, kenapa lo ngelibatin orang lain dalam ketidakpercayaan lo itu?”“Gue mau curhat malah diomelin. Ya udah lah gue balik aja,” ucap Naren datar dan meninggalkan Dio dengan perasaan kesalnya.Begitu menutup pintu ruangan Dio, Naren menemukan Rhea yang tengah menyantap makan siang yang tadi dibawakannya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tidak menemukan ada karyawan lain di ruangan itu.“Enak kan?”“Uhuk ... uhuk ....” Rhea yang tidak menyadar
-Whatsapp Group Trouble Makers-Prasasta: @Narendra nggak pengen cerita perkembangan hubungan lo sama tetangga depan rumah?Rama: I'm waitingBrian: I'm waiting (2)Narendra: Kalian nggak pada kerja ya? Berisik amat kayak ibu-ibu komplekBrian: Banyak bacot! Cepet cerita!Narendra: Ogah!Brian: Oh, I see, belum bisa naklukkin berarti :pPrasasta: Malu gila, yang katanya casanova, tapi nggak bisa dapetin cewek yang dia sukaRama: Puk! Puk! #sing cintaku bertepuk sebelah tangan ...Narendra: Bangke! Gue nggak cinta ya! Di kamus gue nggak ada definisi cintaBrian: Ya ya yaPrasasta: Awas ketulah sama omonganRama: #sing Semoga waktu akan mengilhami sisi hatimu yang beku ...Narendra: Berisik ah. Gue cuma mau nagih 5 hari sisa waktu pacaran gue dulu sama diaPrasasta: Lah, lo pikir cuti tahunan, yang nggak kepake tahun ini bisa ditagih tahun depanBrian: Wah temen gue gila juga ya!Rama: #sing Terlalu sadis caramu ...Naren meletakkan ponselnya, malas meladeni ocehan teman-temannya. Bisa-
Suara alarm yang memekakkan telinga sengaja dipilih Rhea untuk membangunkannya pagi itu. Niatnya sudah bulat untuk bangun lebih pagi dari biasanya dan berangkat lebih cepat agar Naren tidak memiliki kesempatan untuk mengajaknya berangkat bersama.Dengan tergesa, Rhea segera bersiap dan berangkat. Beruntung niatnya terlaksana. Mobil Naren belum tampak ada di depan rumahnya, tempat yang biasa dipilih Naren untuk sengaja menunggunya.Rhea berhasil sampai kantor dengan aman, tanpa gangguan Naren dan tanpa pandangan penasaran orang-orang. Ia tersenyum senang, tapi tampaknya kebahagiaannya tidak bertahan lama.Semua itu akibat pesan dari Naren di ponselnya.Narendra: Rhe, udah berangkat?Rhea: udah di kantorNarendra: Yaaah padahal saya nungguin kamuNarendra: Ok, then, see youRhea berdecak pelan dan memilih mencari Kaira untuk mengajaknya sarapan.“Rhe, ada yang mau diceritain nggak?” tanya Kaira yang kini telah duduk di depannya menunggu salah satu pedagang di kantin mengantarkan nasi ud
Rhea merenggangkan otot-ototnya setelah menyelesaikan pekerjaannya—pekerjaan yang membuatnya harus pulang lebih lama daripada orang lain. Ia memang bukan orang yang suka menunda pekerjaan.Sebuah tepukan pelan di pundak sempat mengagetkannya.“Kupikir kamu udah pulang.”Rhea mencoba mengingat-ingat wanita yang baru saja mengajaknya bicara itu. Erika. Ya, Rhea ingat sekarang, Erika adalah sekretaris presiden direktur.“Ada apa ya, Mbak?” tanya Rhea bingung.“Pak Adityo, maksa aku buat ngecek kamu udah pulang belum.”“Pak Adityo?”“Iya, kamu dipanggil ke ruangannya.”“Hah?”“Udah, temuin aja, biar aku bisa cepet pulang nih.”Rhea teringat kembali ucapan Naren di lift siang tadi. Namun ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain kan? Siapa dia hingga bisa menolak panggilan pemilik perusahaan. Ia berjalan mengekori Erika yang berjalan di depannya.Baru pertama kali Rhea menginjakkan kaki di lantai 3, lantai di mana terdapat ruangan presiden direktur beserta sekretaris dan beberapa asistenn
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kak Naren beneran nggak masalah nih pacaran sama aku?”Keduanya sedang berjalan beriringan menuju kantin, kali ini tanpa Amee dan Leny yang memilih memberikan waktu kepada mereka berdua di hari pertama mereka pacaran.“Emang mau lo cancel permintaan lo?”Jingga terdiam. Terlambat. Jingga terlanjur menyukai Naren. Ia tidak berani menilai perasaannya sebagai rasa ‘cinta’. Cinta monyet, mungkin kata orang.“Hei, nyesel?” tanya Naren yang masih menatap Jingga yang terdiam.“Takut Kak Naren terpaksa. Lagian kenapa aku bisa pede gila gitu minta kakak jadi pacarku! Udah gila aku kayaknya.”“Nggak bisa mundur ya, Ngga.”“Iya, iya. Kalo Kak Naren malu punya pacar aku, nggak apa-apa kok backstreet aja.”“Kenapa mesti malu?”“Siapa lah aku dibanding mantan-mantan Kakak yang cantik-cantik itu.”“Lo tau siapa aja mantan gue emangnya?”Jingga menatap Naren dengan malas. “Ini mau nyombong kalo mantan Kakak banyak apa gimana sih?”Naren terbahak sambil mengac
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kamu kenapa kepikiran minta aku jadi pacarmu sih, Ngga?” tanya Naren penasaran.“Bisa nggak sih Kak nggak usah nanyain itu. Malu tau.”“Kamu yang pertama loh, Ngga.”Jingga mengernyit bingung.“Kamu cewek pertama yang nembak aku. Biasanya selalu aku yang duluan.”“Wooow! Kok lebih terdengar sebagai celaan ya daripada pujian.”Naren tergelak melihat Jingga yang bertepuk tangan sarkastis. “Padahal bisa loh aku deket kamu terus tanpa kita perlu pacaran. Aku nyaman kok temenan sama kamu. Justru dengan pacaran gini, waktu kita jadi terbatas kan.”‘Tapi waktuku juga nggak banyak lagi, Kak. Aku nggak pengen nyesel,' batin Jingga."Waktu itu, Kak Naren bilang aku spesial. Spesial kenapa sih?""Ada deh."Jingga mengerucutkan bibir mendengar jawaban Naren.Naren sendiri juga tidak bisa menjelaskan apa spesialnya Jingga. Rasanya berbeda, seperti sudah mengenalnya sejak lama, walaupun mereka belum kenal lama.“Emang kenapa sih Kak, cuma mau pacaran tiga p
“Pagi, Rhe ....” Naren dengan santai bersandar di mobilnya demi menunggu Rhea.Rhea yang baru membuka pagar rumahnya kini tampak tak terlalu terkejut dengan keberadaan Naren. Hampir setiap pagi dia menemukan pemandangan serupa.“Kamu mau ngajak aku bareng lagi?”Naren mengangguk dengan santai, bahkan membukakan pintu mobil untuk Rhea.“Nanti muncul gosip lagi. Kayaknya aku naik ojek aja deh.” Padahal puluhan alasan sudah ia siapkan sebelum keluar rumah, tapi kini semuanya lenyap dari otaknya. Hanya alasan tidak mau ada gosip lagi, yang bisa ia gunakan untuk menolak ajakan Naren.“Nggak lah, nanti aku yang urus. Aku bisa bikin aturan larangan bergosip di kantor atau bakal kulaporkan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan,” jawabnya santai.“Nggak sekalian aja diancam dipecat?” ucap Rhea penuh sarkasme.“Bisa aja sih. Sebenernya perusahaan bisa aja nyari-nyari alasan buat mecat karyawannya. Tapi ribet nanti urusannya sama serikat pekerja. Lagian emangnya kamu tega?”“Ya nggak lah. A
15.30Narendra: Rhe, balik jam berapa? Jadi ikut aku kan?Rhea menghela napas ketika membaca pesan singkat dari Naren. Ia masih belum bisa memutuskan mengiakan ajakan Naren atau tidak. Lagipula Naren masih merahasiakan ke mana ia akan membawa Rhea.15.45Rhea: Disuruh lembur. Ngerapiin laporan keuangan sebelum dikirim ke kantor akuntan publik (KAP).Rhea sampai harus menjelaskan singkatan dari KAP, siapa tahu Naren yang orang hukum itu tidak paham, sekaligus agar Naren merasa pekerjaan Rhea sangat penting sampai-sampai tidak bisa ditinggalkan.Narendra: Beneran nggak bisa ya?Rhea: Sorry.Naren meletakkan ponselnya dengan malas. Padahal ia sudah meminta Bi Sri, ART di rumah keluarganya untuk memasakkan makanan kesukaan Rhea semasa SMA. Mau ditaruh mana mukanya, padahal ia terlanjur pamer ke Bi Sri kalau ia akan mengajak Jingga ke rumah.Bi Sri sendiri sudah kegirangan begitu tahu Jingga yang bertahun-tahun lalu sering main ke rumah majikannya itu akan berkunjung kembali setelah sekian