Share

7 Tetangga Baru

Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.

Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.

“Rhea.”

Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.

Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”

Rhea menggeleng cepat.

Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.

“Loh hp saya?”

“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.

‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’

“Ayo!” teriak lelaki itu kala menemukan Rhea yang masih tertegun di tempat, sementara ia sudah berhasil menutup dan mengunci pintu gerbang dengan sempurna.

Lelaki itu menggeram kesal karena Rhea masih bergeming. “Kamu mau telat ngantor? Kamu nggak mau hpmu balik?”

Dengan terpaksa Rhea mengikuti permainan lelaki itu.

“Saya udah duduk di dalam mobil nih, Pak. Boleh balikin hp saya?”

“Kan saya bilang nanti di parkiran kantor,” jawab Naren sambil tersenyum licik yang membuat Rhea susah payah menelan ludahnya.

“Pak Naren ngapain di rumah Bu Laras?”

“Oh, nama pemilik sebelumnya Bu Laras?”

Otak Rhea mulai berpikir cepat. “Pemilik sebelumnya? Maksudnya rumah itu bukan punya Bu Laras lagi?”

Naren mengedikkan bahu. “Yang jelas sekarang saya yang tinggal di rumah itu.”

“Kok bisa?” tanya Rhea sambil terpekik heran.

“Ya bisa, suami Bu Laras ngejual rumahnya dan saya beli. Udah, simple kan?”

Rhea menoleh ke arah kiri agar Naren tidak dapat membaca ekspresinya. Setelah—menurut Rhea—ekspresinya sudah sedikit terkontrol, ia menghadap ke depan dan menanyakan hal yang masih membuatnya penasaran.

“Maksud saya, kenapa Bapak tiba-tiba beli rumah di komplek perumahan yang sama kayak tempat saya tinggal?”

“Loh memangnya ada larangan buat saya beli rumah di perumahan yang sama kayak kamu?”

“Ya ... nggak, cuma aneh aja.”

“Kebetulan aja ah. Nggak usah kepedean.”

Rhea menatap Naren dengan tatapan horor. ‘Apa-apaan sih laki-laki ini?’

“Pacar kamu nggak pernah nganter kamu berangkat kerja?” tanya Naren begitu melihat Rhea sudah kembali diam tanpa mempertanyakan perihal kepindahannya ke depan rumah wanita itu.

“Dih, ngeledek, pacar yang mana coba,” sahut Rhea bersungut-sungut.

Naren mengulum senyumnya, “Loh ya yang pernah ketemu saya waktu kalian makan sama nonton di Metropole itu.”

Bodohnya Rhea yang lupa mengakui Ega sebagai pacarnya di depan Naren. Dan kini ia terjebak kebohongannya sendiri.

“Oh, dia lagi dinas.”

“Dinas? Bukannya dia dokter? Dinas ke mana?”

‘Shit! Rheaaaaaa ... calm down! Jawab pertanyaan dia dengan bener dong.’ Rhea mengumpati dirinya sendiri yang sering melakukan kebodohan, salah satunya ya seperti ini.

“Oh, maksud saya seminar di luar kota.”

Naren terlihat mengangguk-angguk. “Jangan digigit gitu bibirnya, nanti luka.”

Tangan Rhea melemas seketika, telapak tangannya mulai berkeringat. Otaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa Naren mengingatnya? Kenapa Naren menegurnya seperti dulu Naren sering mengingatkannya untuk tidak menggigit bibir?

“Dulu pacar saya sering gigitin bibirnya kalo gugup.” terang Naren, padahal tidak ada seorang pun yang menanyakannya.

Untungnya ucapan Naren itu justru membuat Rhea tertawa terbahak. “Pacar yang ke berapa, Pak?” Rhea kembali terkekeh. “Ups, sorry Pak. Soalnya kata Pak Dio mantan Pak Naren jumlahnya nggak keitung lagi. Kan nggak mungkin Pak Naren inget.” kilahnya.

Naren tidak menjawab, hanya melirik Rhea sekilas.

“Eh, ini pacar Pak Naren nggak marah kalo tau Pak Naren ngasih tumpangan ke saya?”

Naren mengedikkan bahu.

“Ini tanggal berapa Rhe?” tanyanya tiba-tiba.

“Hah?” Rhea melihat jam tangannya. Sejak dulu, memang ia selalu memilih jam tangan digital yang selain bisa menunjukkan waktu, bisa juga menunjukkan tanggal dan hari. “Tanggal 30 Pak.”

Naren menahan senyumnya. Ia takut Rhea menganggapnya aneh karena tiba-tiba tersenyum sendiri. Padahal di otaknya sedang menyusun rencana untuk memutuskan hubungannya dengan pacarnya yang sekarang, Danisha.

“Kamu udah sarapan Rhe?”

Rhea menatap Naren dengan tatapan yang tak terbaca. Oh God, Naren nggak berniat mengajaknya sarapan juga kan? Udah cukup jantungnya yang menggila gara-gara berada semobil  dengan Naren.

“Mampir sarapan di McD bentar mau nggak? Lagi pengen banget hash brown nih.” Naren tidak menunggu jawaban Rhea dan berniat tidak memedulikan jawabannya.

Dengan cuek, Naren sudah mengarahkan mobilnya ke gerai McD yang mereka lewati.

“Drive thru aja ya Pak, nanti telat.”

“Ok, lain kali makan di tempat ya.”

“Hah? Lain kali?”

Naren mengangguk. “Kamu kalo kagetan gitu bisa jantungan loh.”

Rasanya Rhea ingin saat itu juga keluar dari mobil Naren dan kabur sejauh-jauhnya, kalau saja ia tidak ingat ponselnya yang masih dibawa Naren.

Naren mengangsurkan sausage wrap dan hash brown untuk Rhea.

“Makasih, Pak.”

“Kamu suka itu kan?”

Rhea ingin menggeleng namun rasanya tidak mungkin karena memang benar sausage wrap dan hash brown adalah menu favoritnya untuk sarapan di McD, akhirnya anggukan pelan yang sanggup ia berikan sebagai jawaban.

“Dimakan aja nggak apa-apa. Saya bukan tipe yang ngelarang orang buat makan di mobil saya kok.”

“Nanti di ruangan aja, Pak.”

Mungkin Rhea tidak sadar bahwa otak Naren terus berputar untuk mencari topik pembicaraan. Naren terlalu takut debaran jantungnya bisa terdengar oleh Rhea.

“Dio sering nyuruh kamu lembur?”

Rhea menggeleng, “Kadang-kadang aja, Pak.”

Tanpa disadari, mobil yang dikemudikan Naren telah memasuki area parkir kantor mereka.

“Pak, boleh kembalikan hp saya?”

Naren mengalah, meletakkannya ke telapak tangan Rhea.

“Saya turun duluan ya, Pak. Nggak enak kalo ada yang ngelihat kita bareng.”

“Rhe.” Naren mencegah Rhea yang hampir membuka pintu mobil. “Nanti sore mau bareng saya lagi? Toh sekarang kita tetanggaan kan.”

“Maaf, Pak. Saya ada janji sama temen. Makasih ya Pak tumpangannya.” Rhea bergegas keluar dengan membawa paper bag yang berisi sarapan dari Naren.

Naren menyunggingkan senyum menyeringainya. Jika ada orang yang melihatnya tersenyum, niscaya orang itu akan lari terbirit-birit. “Jingga ... Jingga ... kamu masih punya utang sama aku, jangan kamu pikir bisa lari begitu aja!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status