Share

4 Bolehkah Aku Mendekatinya?

Rhea  membuka pagar rumahnya dengan was-was. Ia mencoba mengabaikan omongan pemilik salon tentang orang yang menguntit rumahnya beberapa tahun silam, namun ternyata tidaklah mudah. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mencurigakan di sekitarnya, Rhea membuka pintu pagar dan segera menguncinya dengan gembok.

Setelah membuka pintu rumah pun, Rhea kembali melakukan pengamanan lebih, dengan kunci ditambah dengan slot pintu yang selama ini jarang digunakannya.

‘Kayaknya harus install CCTV,’ batinnya.

Rhea masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Ingin rasanya Rhea menelepon orang tuanya, namun ia tidak ingin orang tuanya khawatir.

Tanpa membuang waktu, Rhea mulai membuka ponselnya dan mencari jasa pemasangan CCTV. Belum juga ia menemukan penyedia jasa yang menurutnya cocok, sebuah pesan sukses menyela kegiatannya.

Ega: Udah pulang Rhe?

Rhea: Udah Ga

Ega: Weekend bisa ketemu?

Rhea: Kamu mau ke Jakarta?

Ega: Iya, aku ada seminar di Jakarta

Ega: Seminarnya cuma sampe sabtu pagi

Ega: Jadi dari sore sampe hari minggu kita bisa jalan-jalan

Rhea: Boleh boleh kabarin aku lagi aja ya nanti

Rhea meletakkan ponselnya, kemudian memutuskan mandi untuk menghilangkan penat dan pikirannya yang bercabang.

Tanpa Rhea tahu, saat ia menikmati waktunya dengan mandi air hangat, sebuah mobil beberapa kali terlihat bolak-balik di depan rumahnya.

***

Dengan kewaspadaan tinggi, sebelum berangkat kerja, Rhea memastikan pintu rumahnya telah terkunci dan pagarnya telah tergembok sempurna. Ia berjalan menuju gerbang komplek perumahan untuk menunggu ojek online yang telah dipesannya. Sebenarnya, ia bisa saja menunggu di depan rumah, tapi lebih cepat rasanya bila ia menunggu di depan gerbang perumahan, daripada driver ojeknya harus mencari-cari lagi alamat rumahnya.

Saat Rhea mengamati ponselnya untuk melihat di mana posisi driver ojek yang dipesannya, sebuah mobil berhenti di depannya. Mobil yang sempat dia naiki dalam perjalanannya setelah perjamuan makan siang dengan Presiden Direktur menuju kantornya.

Rhea memejamkan mata dan menghela napas.

Benar sangkanya, wajah Naren muncul setelah kaca mobil di sisi kiri terbuka.

“Kamu stafnya Dio kan?”

“Pagi, Pak.

“Kamu potong rambut?”

“Eh, iya Pak.”

“Kamu naik apa? Bareng saya aja.”

“Makasih Pak, saya udah pesen ojek online.”

“Cancel aja.”

“Jangan Pak, kasihan pagi-pagi mutus rezeki orang.”

Rhea menghela napas lega ketika driver yang dipesannya berhenti di depan mobil Naren.

“Ojek saya udah datang, makasih tawarannya. Permisi Pak.”

Sepanjang jalan, Rhea berpikir apa yang baru saja terjadi dan kenapa Naren berada di depan perumahannya?

“Udah lama, Kai?” Rhea yang sudah berjanji untuk sarapan bersama dengan Kaira langsung menghampiri Kaira yang sudah memesankannya semangkuk bubur.

“Sepuluh menitan lah.”

“Sorry ya.”

“Iya, santai aja, udah kupesenin tuh.”

“Makasih ya.”

“Kursinya kosong? Boleh duduk di sini?” Dio yang sudah tidak mendapati ada kursi kosong, meminta persetujuan kedua wanita itu.

“Oh boleh, Pak. Silakan,” jawab Rhea.

Kaira hanya mengangguk dan melemparkan senyumnya.

“Kalian ngobrol aja loh, abaikan aja saya.” Dio membuka ponselnya dan fokus kepada benda persegi panjang itu agar kedua wanita di sebelahnya tidak merasa sungkan.

“Astaga, aku baru nyadar, kamu potong rambut?”

“Iya, semalem.”

“Ekstrim juga, dari sepinggang jadi sebahu gitu, kayak lagi stres. Tapi tetep cantik kok.” ledek Kaira.

 Dio tidak sanggup untuk tidak melirik. “Rhe, kamu nggak terlalu stres sama kerjaan yang saya kasih kan?”

“Hah? Nggak kok Pak. Cuma biar nggak gerah aja. Panas Pak di Jakarta.” jawabnya.

Padahal di dalam hatinya berkata, ‘Biar temenmu nggak ngenalin aku.’

“Hei, Bro, sini.” panggil Dio yang baru memasuki warung bubur. “Di sini aja ya, nggak ada tempat lagi.”

Gayung bersambut, tentu saja Naren tersenyum sumringah dengan ajakan Dio.

“Duluan kamu ya nyampenya.”

Dio dan Kaira menatap Naren bersamaan dengan ekepresi bingung. Sementara Rhea yang tahu pernyataan itu ditujukan untuknya hanya bisa menjawab, “Motor kan nggak kena macet, Pak.”

“Hah, apa maksudnya nih?” Dio terlihat semakin penasaran.

“Tadi gue ketemu dia lagi nunggu ojek, gue tawarin bareng gue, tapi nggak mau.”

“Emang rumahmu di mana, Rhe?”

“Di Cempaka Putih Pak.”

“Sejak kapan lo berangkat lewat Cempaka Putih?” tanya Dio yang jelas-jelas menyindir Naren.

“Gue kan sering nyari jalan-jalan dalem gitu, biar nggak kena macet.” Naren menjawab sindiran Dio dengan santai.

“Rhea, saya bilang ini sebagai atasan kamu dan sebagai orang yang tau sepak terjang si playboy kardus ini ya. Tolong kamu jaga jarak dari dia, jangan terjerat pesonanya meskipun itu memang hal yang sulit. Itu kalo kamu nggak mau berujung sakit hati seperti mantan-mantannya yang jumlahnya ... nggak tau deh siapa yang mampu ngitung jumlah mantannya.”

“Apaan sih lo, ngerusak reputasi gue aja.”

“Reputasi lo emang udah rusak.”

“Iya Pak, saya juga udah punya pacar kok,” ucap Rhea.

‘Nice try, Rhe. Berapa kebohongan lagi yang bakal lo ucapin hari ini?’ Rhea merutuki ucapannya dua hari belakangan yang dipenuhi kebohongan.

Naren menatap Rhea tanpa berkedip. “Gue nggak ngedeketin dia kok, kan lo tau gue juga punya pacar.”

Tanpa sadar, Rhea melemparkan senyum penuh ejekannya. ‘Iya lah, punya pacar, nggak usah diomongin juga semua orang udah tau.’

“Eh Rhe, tadi pagi aku sempet nanya ke ibu kostku, dia ada kontak orang yang masang CCTV buat kostan, kamu masih butuh? Nanti aku mintain.” Kaira memang sempat bertukar pesan dengan Rhea malam sebelumnya, dan Rhea menceritakan kegelisahannya.

“Boleh, boleh. Kirimin ya nanti kontaknya.”

“Rhea mau masang CCTV?” tanya Dio.

“Iya Pak, buat di rumah.”

“Ooooh iya bagus itu, buat keamanan. Sebelumnya pernah ada kejadian? Maling atau apa gitu?”

“Nggak sih Pak, cuma kata tetangga, dulu ada mobil yang sering bolak balik depan rumah.”

Rhea menutup mulutnya, hampir saja ia menceritakan hal-hal yang harusnya tidak ia ceritakan di depan Naren. Kalau mulut dan tingkahnya seperti ini, lama-lama Naren akan sadar siapa dirinya.

Usai sarapan, Dio tidak langsung menuju ruangannya. Ia mengikuti Naren dalam diam.

“Ngapain lo? Nggak kerja?” tanya Naren heran.

“Ada yang mau gue omongin sama lo.” Dio lebih dulu memasuki ruangan Naren dan menjatuhkan badannya di sofa single seater.

“Apa?”

“Jujur ke gue, ada apa antara lo sama Rhea?”

“Nggak ada apa-apa.”

“Nggak usah bohong. Tingkah lo beda banget. Lo naksir sama dia?”

“Berapa kali sih gue harus bilang, sejak kapan seorang Narendra naksir cewek duluan?” kilahnya.

“Dan berapa hari gue harus bilang, kalau suatu saat lo bakal kena karma, ya mungkin ini saatnya.” balas Dio.

Melihat Naren yang hanya terdiam, membuat Dio mengutarakan apa yang ada di otaknya, “Ok, ok, kalo lo emang nggak ada apa-apa, nggak naksir dia, bagus lah. Gue mau deketin dia. Boleh kan.”

Lagi-lagi Naren terdiam, Dio meninggalkan ruangan Naren dengan mengulum senyumnya.

“Shit! Shit! Aaarrggh ... apa-apaan sih Dio.” Naren menyugar rambutnya dengan frustrasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status