Share

3 Main Kucing-kucingan

“Sore Mel. Pak Dio ada?”

Kedatangan Naren ke Departemen Finance bukan hal yang aneh, tapi juga bukan hal yang lumrah. Para pegawai tahu kalau Naren dan Dio berteman. Karena itu, memang beberapa kali mereka mendapati Naren di ruangan Dio atau sebaliknya.

Sekretaris Dio menjawab dengan sapaan yang luar biasa ramah. Senyuman menghiasi bibirnya kala sahabat dari atasannya itu menyapanya. “Ada Pak.”

Setelah lelah bekerja seharian, kehadiran Naren layaknya oase di gurun pasir. Bukan hanya bagi Amel, tetapi bagi pegawai wanita di departemen itu, entah itu masih single atau sudah bersuami.

Naren mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba menemukan sosok yang dia cari, yang sebenarnya menjadi alasannya sore itu untuk datang ke ruangan Dio.

“Pak Naren, ada yang bisa dibantu lagi?” tanya Amel, sekretaris Dio.

“Oh, nggak, nggak, saya boleh langsung masuk?”

“Selagi ngga ada tamu kan biasanya Pak Naren langsung masuk.”

Menyadari keanehan sikapnya, Naren memutuskan menghentikan aksi pencariannya dan berlalu menuju ruangan Dio.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Dio saat melihat Naren masuk ke dalam ruangannya.

“Main.”

Dio mengernyit bingung atas jawaban Naren. “Lagi nggak sibuk lo?”

“Ya sibuk.”

“Lagi bosen lo ya? Nggak ada yang bisa digebet di departemen gue. Cuma Amel doang cewek yang belum nikah. Cewek lainnya udah pada nikah.”

“Serius lo? Staf lo yang baru juga udah nikah?”

Dio berpikir sesaat, dan baru teringat kalau dia memiliki staf baru, pindahan dari kantor cabang. “Oh, Rhea. Lo ke sini mau lihat dia?”

“Nggak lah,” ucap Naren mencoba cuek.

“Oh, ya udah, berarti nggak ada perlunya gue ngasih tau lo status dia udah nikah apa belum.”

‘Sialan, lo pikir gue nggak bisa cari tau sendiri.’ umpat Naren dalam hati.

***

“Kamu ngapain, Rhe?” tanya Danar yang posisi tempat duduknya berada di sebelah Rhea.

Begitu mengetahui Naren memasuki ruangan Departemen Finance sore itu, Rhea langsung menunduk dan perlahan bersembunyi di bawah mejanya.

“Perutku sakit, Mas. Biasa lah cewek, PMS.” Rhea mencoba memasang muka kesakitan.

“Istirahat aja di ruang santai.” Pasalnya perusahaan mereka memang menyediakan ruang santai untuk pegawai yang sedang butuh berpikir jernih atau sekadar istirahat.

“Nggak apa-apa, Mas. Kebiasaan gini kok, bentar lagi juga enakan.”

Rhea mengumpati nasibnya. ‘Ya ampun, harus berapa kali lagi gue bohong. Baru sehari aja udah bohong berkali-kali ditambah main kucing-kucingan gini.’

Setelah berpikir sesaat, Rhea merasa ucapan Danar ada benarnya, bukankah lebih baik kalau dia keluar dari ruangan itu.

Dengan mengendap-endap, Rhea menuju pintu ruangan Departemen Finance. Namun tanpa disadarinya, seseorang dengan suara khas menegurnya, dan sosok yang sedari tadi dihindarinya kini sudah berdiri tegap untuk membuka pintu.

“Jangan nunduk, nanti nabrak.”

‘Oh shit! Suara ini ....’

Rhea tidak perlu menoleh untuk mengetahui si empunya suara. Ia masih mengenali suara itu. Malahan masih sangat jelas mengingatnya. Suara yang dia kagumi semasa SMA, suara yang dulu mampu menenangkannya.  “Iya Pak, maaf, permisi,” ucapnya sambil berlari kecil tanpa menoleh.

Naren tersenyum melihat tingkah wanita itu. Namun seketika senyumnya luntur saat menatap layar ponselnya yang baru saja bergetar.

Sebuah pesan masuk dari Danisha benar-benar membuat moodnya jatuh ke dasar jurang. Tapi kenapa? Biasanya dia dengan senang hati meladeni wanita yang sedang berhubungan dengannya.

Danisha: Pulang kerja bisa ketemu, Beb?

Narendra: Ok, di mana?

Danisha: Aku lagi di sekitar Sarinah sih. Kalo di Ra-Cha Sarinah gimana?

Narendra: Ok

Danisha: Kamu jemput aku dulu kan nanti?

Naren menggeram kesal. ‘What’s wrong with me? Biasanya juga jemput dulu baru jalan. Tapi gue lagi males banget. Apa gue tolak aja ya?’

Tapi Naren tidak biasa menolak teman kencannya.

Narendra: Iya, nanti kabarin aja di mana jemputnya.

Helaan napas kesal menjadi satu-satunya penenang. Ia memang hanya menjalin hubungan selama tiga puluh hari, namun ia selalu memperlakukan pasangannya dengan penuh perhatian, layaknya seorang lelaki yang mencintai pasangannya, walau sebenarnya tidak ada perasaan cinta di hatinya.

Naren kembali ke ruangannya dan bersiap untuk menjemput pacar tiga puluh harinya, Danisha.

Bukan hal yang mudah melajukan mobilnya di kemacetan Jakarta. Setelah berjuang selama empat puluh menit, ia tiba di depan Wisma Mandiri.

“Hai Beb, macet ya?” tanya Danisha begitu memasuki mobil Naren.

“Biasa lah, namanya juga Jakarta. Jadi ke Ra-Cha Sarinah?”

“Jadi dong.”

“Ok.” Naren kembali melajukan mobilnya menuju tempat yang diinginkan Danisha.

“Kamu kenapa sih kok diem terus dari tadi?” Danisha mengamati Naren yang sejak memasuki restoran menunjukkan tatapan kosongnya. Bahkan ketika daging dan sayuran sudah siap di atas meja, Naren hanya menatapnya. “Mau aku yang masakiin?”

Restoran itu memang tempat makan dengan model self service. Pelanggan harus mengambil makanan pilihannya sendiri dan memasaknya sendiri.

“Nggak usah, aku bisa kok.”

‘Gue bukan sekadar bisa, tapi jago, kalo cuma urusan masak doang.’ Batin Naren.

“Trus kenapa kamu diem aja? Aku ada salah?”

“Nggak kok, sorry ya, lagi banyak kerjaan di kantor.” Sebuah senyuman yang dilemparkan Naren mampu membuat Danisha takluk seketika. Danisha tidak lagi bertanya-tanya mengapa Naren terlihat lebih diam dari biasanya.

Naren mengulum senyumnya. Rhea. Wajah gadis itu terus terputar di otaknya. Itu lah kenapa ia lebih banyak diam. Fokusnya telah teralihkan sepenuhnya oleh bayangan Rhea.

Belum lagi perdebatan di hati kecilnya, ‘Tapi Rhea bukan Jingga. Atau sebenarnya Rhea itu Jingga?’

***

Rhea memasuki sebuah salon khusus wanita yang tidak jauh dari kediamannya. Sebenarnya ia sudah sering ke salon itu, tapi dulu, semasa sekolah.

“Permisi, mau potong rambut, Mbak.” ucap Rhea kepada seseorang petugas salon yang sedang melayani service creambath untuk pelanggannya.

“Bentar ya, Mbak. Duduk dulu, Mbak. Saya panggilkan ibu pemilik salon yang biasa motong rambut.”

Pegawai itu berlalu meninggalkan Rhea dan seorang pelanggan yang sedang di-creambath. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya keluar dan memperhatikan Rhea cukup lama.

“Kamu anaknya Bu Dyah bukan ya?”

Rhea tersenyum kaku, kalau ibu pemilik salon saja bisa mengenalinya bahkan dengan kacamata yang dulu tidak ia kenakan, bagaimana dengan Naren?

“Iya, Tante. Tante masih inget saya?”

“Inget dong, kamu nggak berubah banyak kok. Jingga kan namamu kalo nggak salah?”

“Iya, Tante.”

“Ayok, mau dipotong gimana?”

“Yang bikin pangling, Tante. Biar nggak ada yang ngenalin aku, bisa nggak, Tan?”

Wanita pemilik salon itu terbahak. “Dibotakin mau?”

“Yah jangan dong, Tan. Dipotong bob pendek aja kali ya, Tan, pake layer gitu.”

“Boleh, boleh, cantik gini mah mau dipotong kayak apa juga tetep cantik.”

“Tante nih bisa aja.”

“Papa mamamu balik ke sini juga?”

“Belum, Tan. Nunggu Papa pensiun baru pindah ke sini.”

“Aduuuuh hati-hati loh, kamu anak cewek tinggal sendirian di rumah.”

“Hah, kenapa emangnya, Tan? Sekarang daerah sini jadi rawan?”

“Nggak sih. Ini dulu ya, setelah kalian pindah, ada mobil yang sering wara-wiri di depan rumahmu. Mobil yang sama, di jam yang sama, trus setiap lewat depan rumahmu tu jalannya jadi pelan-pelan gitu."

Rhea ternganga. “Serius Tante?”

“Iya, Tante masih inget banget, soalnya sempet bikin geger satu komplek. Tapi sekarang udah nggak ada kok. Tenang aja. Semoga aman.”

Rhea menggigit bibirnya, mencoba tidak memikirkan ucapan wanita pemilik salon itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status