Share

2. what?

𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶

【AFTERFALL】

Tangan gadis itu bergetar hebat. Ia terlihat sangat panik, matanya yang merah lantaran terus mengeluarkan air mata memandangi kerumunan sekelilingnya dengan panik. Ia berusaha memegang mereka namun tak berhasil. Suaranya yang terdengar serak itu terus berteriak, namun semua orang terlalu fokus pada gadis yang terbaring mengenaskan di atas aspal dingin itu.

Gadis itu sangat mirip dengan dirinya. 

"Ini saatnya kau pergi, Kaline." Seseorang tiba-tiba bersuara dengan lembut dari belakangnya. 

Kaline lantas berbalik. Seorang perempuan yang memanggilnya itu tak dapat ia melihat dengan jelas wajahnya. "Si-siapa kau?" tanyanya dengan hati-hati. 

Lengan perempuan misterius itu terulur. "Aku akan membawamu pulang."

"Kaline ...." Suara yang terdengar lirih itu mengalihkan perhatiannya. 

Ia berlari menghampiri Theo yang berjongkok, punggung pria itu bergetar hebat, tak kuasa menahan tangisnya saat melihat gadis yang terbaring di atas aspal itu. "Theo sadarlah ... aku ada si sini!" Kaline terus berteriak namun sama sekali tak dihiraukan kekasihnya hingga tenggorokannya terasa amat perih.

Kaline melirik kotak cincin kecil yang digenggam Theo dengan erat. Apa pria itu berencana melamarnya?

Pandangan gadis itu tertuju pada perempuan yang setia berdiri di belakang Kaline dengan lengan yang masih terulur. "Kau harus pulang sekarang, Kaline!"

"Tidak!" tolak Kaline dengan tegas. Ia menatap perempuan itu penuh dengan amarah. "Ini tidak adil! Bagaimana bisa aku mati di hari ulang tahunku sendiri!" teriak Kaline frustasi. Ia terduduk, menjambak rambutnya yang berantakan. Air matanya terus mengalir. Gadis itu tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya telah meninggal. 

Perempuan itu berjalan mendekat dengan tenang. "Jika kau tak segera pergi denganku kita akan terkena masalah, Kaline."

Kepala gadis itu terangkat, matanya yang membengkak itu menatap perempuan di hadapannya dengan tajam. "Biarkan aku hidup. Aku harus menemukan orang yang telah membunuhku."

***

Kaline berusaha membuka matanya yang terasa amat berat. Cahaya matahari yang menyalak menyilaukan matanya yang masih tertutup sempurna. Belum lagi kepalanya yang teramat sakit dan ditambah guncangan yang seseorang berikan pada tubuhnya menambah rasa sakit di kepala gadis itu bertambah, membuatnya semakin sulit membuka mata.

“Apa kita perlu memanggil tabib?” tanya seorang wanita. Meski terdengar sayup di telinganya, Kaline masih bisa mendengar nada panik yang keluar dari mulut wanita itu.

“Sepertinya Putri kelelahan. Biarkan dia istirahat selama beberapa jam. Jika masih belum bangun, kita hubungi tabib,” sahut suara yang terdengar jauh lebih tenang.

Tak ada suara lagi selepasnya selain langkah kaki yang berat perlahan-lahan memudar, meninggalkan Kaline sendiri di atas ranjang empuk yang bahkan tidak bisa ia nikmati lantaran rasa sakit yang menghujam seluruh tubuhnya.

Tampaknya, keheningan benar-benar membantu. Rasa sakit yang menyerang kepalanya perlahan mereda meski tidak sepenuhnya, pun dengan cahaya matahari yang tak lagi membuat matanya sakit.

Perlahan-lahan, Kaline membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah kelambu berwarna merah yang menembus langit-langit ruangan yang teramat tinggi. Lukisan abstrak berbagai warna menghiasi langit-langit ruangan bersama gantungan lilin yang dibuat sedemikian rupa, membentuk pola kelopak bunga yang tampak rumit. 

Hal lain yang Kaline sadari setelahnya adalah ... ini jelas bukan kamarnya.

"Apa-apaan ini?" bisiknya tak percaya.

Mata abu-abunya yang setara dengan awan mendung membelalak, lekas bangun dari kasur empuk itu, menatap seluruh penjuru ruangan yang amat luas dengan waspada. Pilar-pilar tinggi yang menghiasi setiap sudut, patung-patung batu yang tampak artistik dan menyeramkan secara bersamaan, lemari besar dengan pintunya terbuka, menampilkan setumpuk gaun mewah beserta korset-korset.

Sekali lagi, ini jelas bukan kamarnya.

“Putri sudah bangun?” Suara seseorang mengalihkan perhatiannya. Sorot pandangan gadis itu semakin waspada tatkala seorang perempuan mengenakan gaun aneh yang mengembang di bagian bawahnya menghampiri Kaline sembari membawa sebuah nampan berisi teko dan sebuah cangkir teh di atasnya.

 “Si-siapa kau?” tanya Kaline hati-hati, tangannya menggenggam bantal empuk di dekatnya dengan erat, berjaga-jaga jika orang itu hendak menyakitinya.

Perempuan itu mengerjap beberapa saat, tampak sama bingungnya dengan Kaline. “Putri tidak mengingat saya?” tanyanya balik, menatap Kaline dengan sorot tak percaya sementara yang ditatap tampak semakin bingung.

 “Jawab saja pertanyaanku. Siapa kau?” Kaline berusaha menahan suaranya agar tak terdengar bergetar lantaran ketakutan. 

Ia tampak tidak tersinggung mendengar nada bicara Kaline yang terkesan meninggi. Ia meletakkan nampan yang dibawanya di atas nakas kecil dari kayu dengan sabar, lantas kembali menatap Kaline dengan sorot teduh. “Saya Narin, Putri. Lady-in-waiting Anda.” Perempuan itu menundukkan tubuhnya, hampir seperti sujud di hadapan Kaline.

Lady apa?” tanya Kaline semakin kebingungan.

Lady-in-waiting, Putri. Saya pelayan Anda,” ulang perempuan bernama Narin dengan amat ramah.

Kaline menatap perempuan, ah ... tidak. Mungkin lebih cocok jika dipanggil gadis karena usia mereka tak jauh berbeda. Surai pirangnya terikat rapi, membentuk sanggulan sederhana. Gaun berbahan satin yang dikenakannya tampak sangat tua untuk dikenakan di zaman sekarang. Dari penampilannya, gadis bernama Narin itu tampak seperti ... pelayan di abad pertengahan.

“Di mana aku?” tanya Kaline lagi, tampak tak menurunkan rasa waspadanya.

Narin kembali kebingungan. Ia terlihat mengerutkan keningnya sebelum kembali tersenyum. “Anda berada di Istana Eargard, Putri.”

“Eargard? Istana? Putri? Omong kosong macam apa ini!” Kaline tak kuasa menahan rasa kesalnya. Bagaimana bisa seseorang mengerjainya tatkala seluruh tubuhnya terserang rasa sakit seperti habis tertabrak sesuatu. Jika dia benar-benar dikerjai, Kaline bersedia mengorbankan reputasi baiknya untuk memaki orang itu.

“Mungkin Nyonya Alden benar.” Narin kembali bersuara, membuat Kaline menoleh ke arahnya. “Putri sepertinya kelelahan dan perlu istirahat. Saya selalu ada di depan pintu jika Anda membutuhkan saya. Selamat beristirahat, Putri.” Tanpa bersuara lagi, Narin melangkah keluar, menutup pintu ganda yang amat kokoh itu dengan rapat.

Putri. Kata itu terus menghantui pikirannya. Apa jangan-jangan dia adalah anak dari pemimpin Kerajaan Eargard? Tidak, itu tidak mungkin. Kaline jelas hanya gadis biasa. Kedua orang tuanya bukan keturunan darah biru. Ia bahkan masih ingat tulisan di akta kelahirannya yang tertulis jelas ia anak dari kedua orang tuanya, bukan pemimpin Kerajaan Eargard atau apa pun itu.

Kaline menutup matanya. Rasa pusing yang teramat itu kembali menyerangnya saat ia hendak mengingat lebih dalam tentang dirinya sendiri.

Mobil. Darah. Suara klakson.

Kilas balik itu terjadi begitu cepat. Sebuah mobil tanpa plat nomor melaju ke arahnya yang hendak menyebrang. Suara teriakan seseorang disusul suara klakson mobil yang memekakkan telinga membuat Kaline terdiam di tempat. Ia begitu panik, hingga tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya, bahkan jari-jarinya sekali pun.

Mobil itu menabraknya dengan cepat. Membuat tulangnya remuk. Kaline bisa merasakan satu jarinya terpisah, tercecer begitu saja entah ke mana. Belum lagi perutnya yang terlindas oleh benda yang amat berat, itu sangat sakit. Rasanya seperti organ di dalam tubuhnya keluar.

Darah. Kaline bisa melihat genangan darah yang mengelilingi tubuhnya yang terkulai lemas begitu saja. Ia bahkan bisa mencium bau anyir darah yang perlahan-lahan keluar dari hidungnya sebelum pandangannya benar-benar menggelap. Jiwanya sudah pergi, tak lagi ingin menyatu bersama tubuh yang sudah tercerai-berai di atas aspal yang dipenuhi noda darahnya sendiri.

Kaline membuka matanya dengan kasar. Napasnya terengah-engah, seakan-akan ia baru saja berlari dengan kencang. Kilas balik itu tampak begitu nyata. Kaline bahkan masih bisa merasakan betapa sakitnya tulang-tulang kaki yang patah, atau kepalanya yang pusing karena kehilangan terlalu banyak darah.

Memori terakhir yang ia miliki adalah saat dirinya tertabrak mobil. Ia benar-benar Kaline saat itu. Kaline Anata, seorang mahasiswi fakultas ekonomi. Hidupnya sangat bahagia. Tidak ada yang membencinya. Semuanya berjalan bak negeri dongeng tanpa tokoh antagonis.

Tapi anggapan Kaline salah. Bahkan dongeng pun selalu punya antagonisnya sendiri. Hidup indahnya tercoreng begitu saja, tergantikan dengan kematian tragis yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ia harus menutup matanya, membiarkan jiwanya pergi entah ke mana. Bahkan sebelum ia sempat berpikir siapa orang yang menabraknya.

Lalu keajaiban kembali muncul dalam hidupnya. Matanya kembali terbuka. Namun kali ini ia bukan lagi Kaline Anata seorang mahasiswi fakultas ekonomi. Ia adalah Putri Ralenia Kaline Gard, satu-satunya penerus tahta kerajaan manusia terbesar bernama Eargard.

Kaline tak tahu selanjutnya ia harus menganggap ini hanya bunga tidur atau kesempatan keduanya untuk menjalani kehidupan. Tapi satu hal yang pasti, Kaline bukan lagi Kaline Anata, pun kehidupan sempurnanya. Menjadi seorang putri penerus tahta bukan hal yang mudah. Pembunuh, penjilat, pengkhianat berdiri tepat di belakangnya. Beberapa bahkan dengan percaya diri berdiri di depannya, menyebut diri mereka teman, menjadi serigala berbulu domba.

Bayaran untuk kehidupan keduanya adalah kepercayaan. Ia tak bisa mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri. Tangan kirinya bisa saja menusuk jantungnya saat ia tertidur. Musuh-musuh tersembunyinya bisa saja menebarkan racun di atas makanan lezat.

»—————————–✄

𝙠𝙪𝙣𝙟𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙄𝙣𝙨𝙩𝙖𝙜𝙧𝙖𝙢 @𝙙𝙪𝙨𝙠𝙤𝙛𝙚𝙮𝙚 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙩𝙖𝙞𝙡 𝙘𝙚𝙧𝙞𝙩𝙖

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status