Haryo Wicaksono dan Salindri membawa Galuh ke kediamannya, pasalnya kondisi gadis itu semakin melemah setelah mendapat serangan mematikan dari Dewi Wengi. Oleh sebab itu Haryo Wicaksono memutuskan menyelamatkan Galuh terlebih dahulu, ia yakin ada sesuatu yang menyebabkan merosotnya kekuatan tubuh Galuh. Bahkan, saat sampai di kediamannya bibir gadis itu sudah mulai membiru.“Romo, sepertinya gadis ini terkena racun dari Nyai Dewi Wengi, tetapi aku tidak melihat adanya luka di tubuhnya,” ujar Salindri kepada Ayahnya.“Bawa ke bilikmu, Nduk? Buka pakaiannya dan periksa semua, Romo yakin ada sesuatu yang melukainya.”Beberapa saat setelah memeriksa tubuhnya, Salindri menemukan kejanggalan di punggung galuh. Sebuah jarum perak menancap disana, melihat itu Salindri tidak langsung mencabutnya. Ia tidak mau mengambil resiko jika sembarangan melakukannya, melihat bagian yang tertancap membiru saja sudah menandakan jika jarum itu beracun.“Romo!” panggilnya kemudian.“Ada jarum yang menancap,
Api berkobar semakin tinggi. Bahkan, Roh Nogoweling yang membersamai Ajiseka masih memutari tubuh Dewi Wengi yang terbakar. Begitu juga dengan api yang tidak kunjung padam dan menyembur tanpa henti dari mulutnya. Sekalipun lengkingan terdengar menyayat dari Dewi Wengi, tetapi tidak menghentikan prosesi peleburan itu.Aroma daging terbakar menguar cukup lama dan kobaran api yang semakin besar, hingga akhirnya api menyusut seiring habisnya raga Dewi Wengi. Pertarungan yang menghabiskan waktu sehari semalam senyatanya menyisakan dua gundukan abu kematian yang mulai terkikis oleh hembusan udara. Ajiseka kembali ke wujud aslinya dan memastikan jika tidak ada keanehan yang mungkin bisa membangkitkan Dewi Wengi.“Maafkan aku makhluk Tuhan yang paling sempurna, kalian harus berakhir seperti ini.” ujar Ajiseka setelah memastikan tidak ada kejanggalan yang terjadi.Ia menundukkan kepala dan mendoakan mendiang musuhnya, memohon belas kasihan kepada sang pencipta agar di beri ampunan atas segala
Masih di wilayah selatan, tidak jauh dari padepokan Kembang Kenongo. Sekelompok orang dari padepokan Lowo Ireng bergerak menuju barat. Tujuannya adalah desa-desa yang berpotensi menentang keberadaan adanya padepokan yang berada dalam kendali sekte aliran hitam atau sesat.Tidak tanggung-tanggung, mereka tanpa segan melukai siapa saja yang di inginkan. Seperti halnya kelompok yang di pimpin oleh Brojolewo, merampok dan merampas paksa wanita yang di inginkan. Bahkan, mereka tanpa segan melecehkan wanita yang di inginkan di depan keluarganya.Seperti halnya saat ini. Desa yang menjadi targetnya porak-poranda, banyak mayat orang yang melakukan perlawanan. Akibatnya karena di dera ketakutan para warga terpaksa bergabung dengan mereka, sayangnya walaupun sudah bergabung tapi wanita-wanita mereka sama saja di minta oleh anggota sekte.Ternyata setelah meninggalnya Tanu, padepokan Lowo Ireng bertindak lebih brutal dari sebelumnya. Bahkan, terkadang dipimpin langsung oleh Roro Palupi, Sang ket
Ulas senyum merekah indah, seindah pagi yang menyapanya. Galuh, selama proses pemulihan luka dalam, beberapa hari ini dirinya selalu di temani adik kandungnya. Ya! Haryo Wicaksono dan Salindri, keluarga yang terpisah akibat peperangan melawan sekte aliran hitam di masa lalu.Sedangkan Ajiseka sendiri masih melakukan meditasi di ruangan khusus yang disiapkan oleh Haryo Wicaksono. Terhitung sudah tiga hari Ajiseka mengurung diri tanpa makan dan minum. Rupanya Ajiseka sedang bepergian ke alam lain dengan cara meraga sukma.Ia menemui beberapa pimpinan padepokan lelembut aliran putih, termasuk padepokan Balung Wojo. Dirinya meminta izin kepada gurunya dan meminta murid utama untuk berjaga jika terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Ajiseka juga menemui Ki Paksi Maruta dan mengajak Elang perak menemani dirinya mencari desa-desa yang menjadi korban anggota sekte Kembang Kenongo.Ajiseka ingin mengetahui letak pasti sebelum mendatangi perkampungan yang akan ia datangi, oleh sebab itu juga d
Paksi Maruta, sejatinya adalah gelar untuk siluman burung yang memiliki kecepatan terbang luar biasa cepatnya. Bahkan, sebelum nama itu tersemat. Bertahun-tahun Paksi Maruta menjalani tapa Brata di udara.Jadi, kecepatan lesatan siluman ular bernama Kadut tidak ada artinya jika di bandingkan dengan Paksi Maruta. Dan serangan yang dilakukan Kadut malah mengenai bangunan padepokan Wono Kelono. Akibatnya siluman ular itu mengalami luka yang luar biasa.“Apa maksudmu, Kadut? Mengapa tiba-tiba kau menyerang Ki Paksi Maruta?” tanya Wono Kelono.Bukan jawaban yang di dengar oleh pimpinan padepokan Wono Kelono, tetapi suara mirip Kokok induk ayam yang memanggil anaknya. Seketika ratusan ular siluman datang dari berbagai arah. Seringai licik dan penuh kemenangan tergambar jelas, dengan bantuan siluman yang berpihak padanya, Kadut merasa mampu menundukkan padepokan.“Ikutlah bergabung dengan diriku, Ki. Aku tau saat ini semua kalangan sedang bersitegang. Dan demi baktiku kepada padepokan ini, b
“Romo, semalam Aji bertemu Eyang. Eyang menyuruh Aji segera belajar Kanuragan supaya bisa menjaga keraton Setya Loka dan wilayah punden dari incaran wanita yang bernama Sariti.”Aktivitas Danuseka terhenti seketika saat putranya berbicara, “Oya? Kamu tau dimana keraton itu, Nak?”Sepuluh tahun yang lalu Ajiseka terlahir didunia, selama itu pula proses pengalihan digdaya dari sang Kakek berlangsung. Namun, Ajiseka harus menempa dirinya sendiri untuk menumbuhkan digdaya yang ia miliki. Sayangnya sang Kakek sudah mengasingkan diri sebelum Ajiseka dewasa.“Aji beberapa kali kesana, Romo. Tapi Aji tidak tau letaknya, yang Aji tau rumah disana besar dan berwarna kuning emas,”“Mulai sekarang, Aji harus belajar. Dengan Romo atau yang lainnya, Aji harus sungguh-sungguh.”Danuseka mengelus pucuk kepala putranya. Pikirannya langsung tertuju perihal pesan yang disampaikan pada Ajiseka. Pasalnya, tidak mungkin Ayahnya atau Kakek Ajiseka yang baru empat hari pergi itu kembali dari tapa bratanya. D
“Ki Danuseka!” Tiba-tiba saja Danuseka hadir di depan utusan yang memanggilnya, “Ada apa, Kang? Adakah sesuatu yang genting di bawah sana, Kang?” “Ketiwasan, Ki. Nyai dibawa makhluk selendang berkepala manusia, Ki!” Mendengar aduan itu dada Danuseka terasa sesak seketika, begitu juga dengan tubuhnya yang bergetar. Menandakan jika dirinya sedang dikuasai oleh amarah. Namun, ia mencoba menetralisir hal itu, sebab jika amarahnya memuncak hanya akan membuntukan pikirannya. Terlebih lagi, ia tidak bisa meninggalkan pertarungan begitu saja. “Kita selesaikan pertarungan dulu, Kang. Terlalu banyak siluman juga dedemit yang turut andil disini. Lalu, bagaimana keadaan di bawah, Kang?” “Saya tidak tau pasti, Ki. Tapi Ajiseka sudah diamankan oleh para tetua,” “Baiklah, waspadai sekeliling Kakang, jika ada yang mengganggu panggil saya secepatnya.” Tetua utusan mengangguk mengerti, sedangkan Danuseka sendiri segera kembali ke medan pertarungan. Kini fokus Danuseka adalah siluman selendang be
Wilayah Punden semakin mencekam. Obor-obor menancap di sembarang tempat, menerangi sebagian lokasi yang semula gelap gulita. Ya! Pasukan dari golongan manusia yang dipimpin oleh Sariti mulai beraksi, mereka berasal dari suatu daerah yang telah dikuasai oleh pengaruh pimpinan lelembut wilayah punden.“Merekalah yang harus kalian bersihkan, binasakan! Tunjukkan bakti kalian kepadaku!” ujar Sariti.Titahnya terdengar jelas di telinga para abdinya yang menyebar. Bersembunyi di balik pepohonan dan semak. Ya! Hanya mereka yang mendengar titah itu.Kelompok Danuseka mulai tersudut. Puluhan siluman ular dan penampakan kuntilanak yang tiba-tiba muncul membuat beberapa tetua panik. Pasalnya, bukan kekuatan silumannya yang merepotkan, tetapi kehadiran makhluk bergaun putih yang acapkali membuat mereka kehilangan fokusnya.“Ki, lakukan sesuatu agar mereka tidak mengganggu.” Titah Danuseka.Tetua itu bergegas melakukan sesuai perintah Danuseka. Dia lebih memfokuskan diri menghadapi makhluk astral.