“Bapak sama saja jahatnya sama pria tadi!” tudingku.
Sopir tak dikenal yang tadi menyuruh aku masuk ke dalam mobil sedikit terkejut. “Maaf, ya Neng, saya cuma disuruh!” Ia tampak kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa. “Tapi, Tuan bukan orang jahat kok Neng!” katanya menegaskan.
Aku ingin sekali tertawa. “Mana ada orang baik-baik yang membeli manusia! Saya memang bukan orang berpendidikan, Pak, tapi saya juga tahu yang benar dan yang salah!”
Aku bisa melihat si sopir itu mencengkram kemudi erat-erat. Ia melirik ke arah luar dan kemudian membuka sabuk pengamannya. “Percaya sama Bapak, dia bukan orang jahat! Sekarang kita turun dulu ya Neng!” ajak si bapak.
Ingin sekali aku berteriak tidak mau. Tetapi, berada di dalam sini hanya akan memutus kesempatannya untuk melarikan diri. Pemilik mobil ini pasti mengunciku di dalam. Jika keluar aku juga akan mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi sebenarnya.
Pelan-pelan aku mengangguk setuju.
“Nama Bapak, Prana. Kamu bisa panggil Pak Prana. Siapa nama kamu, Nak?”
Akh sudah berhenti menangis sekarang. Akh bisa merasakan matanya menonjol keluar seperti mata ikan mas. Sesekali aku masih terisak. Kini setelah lampu bagian tengah mobil menyala aku bisa melihat dengan jelas tampang Pak Prana. Pria itu mungkin seusia dengan mendiang ayahku jika masih hidup.
Sebagai catatan pria itu bahkan tidak terlihat jahat. Ia hanyalah pria tua kebanyakan yang hidup dengan bekerja keras.
“Ayu!”
Aku sedikit heran saat melihat kekagetan di wajah Pak Prana. Bibir pria di depannya itu terbuka dan tertutup beberapa kali, tetapi tidak ada sesuatu yang keluar dari sana.
“Ada apa Pak?” tanyaku.
“Bapak jadi ingat anak! Namanya juga Ayu seperti kamu!” Senyum Pak Prana yang tadi terasa formal kini sedikit melembut. Hingga aku yakin kalau biaa melarikan diri Pak Prana akan membiarkanku saja. “Ayo turun!”
Pak Prana menyentak gagang pintu dan kemudian mendorong pintu mobil ke arah luar hingga terbuka.
Aku juga melakukan hal yang sama, tetapi pintu itu tidak bergerak sama sekali. Pak Prana-lah yang dari luar menarik pintu hingga terbuka dan kembali menyuruhku untuk keluar.
Aku tidak pernah melihat istana sebelumnya. Namun, aku yakin kalau rumah yang kulihat hanya beberapa puluh meter di depan adalah istana. Rumah itu sangat besar dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi ke atas. Lampu-lampu crystal bersinar sangat indah di langit-langit. Jika kondisinya sangat baik aku pasti berpikir kalau aku sangat beruntung bisa melihat semua ini.
“Ayo kemari!” ajak Pak Prana padaku.
Akan tetapi, aku tidak mengindahkan ajakan Pak Prana. Aku memutar tubuh untuk mencari jalan keluar. Sekitar 500 meter dari tempat mobil parkir dilihatnya sebuah gerbang besar. di sisi-sisi gerbang tampak bangunan kecil yang di dalamnya ada dua orang. Aku menelusuri gerbang dan menemukan pagar-pagar yang tingginya hampir 5 m. Tidak ada tonjolan atau pohon yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk memanjat di dekat pagar.
“Jika Kamu berpikir untuk bisa melarikan diri dari sini, kamu melakukan kesalahan, Nak!” Pak Prana seolah bisa membaca apa yang aku dipikirkan. “Aku sama sekali tidak berkata kalau perbuatan yang dilakukan Tuan Gatra benar, tetapi berada di sini akan membuatmu aman. Jika kamu berhasil kabur dan berada di luar sana, kamu hanya akan menjadi sasaran kejahatan yang lebih buruk dibandingkan dibeli oleh Tuan Gatra.”
Aku menelan ludah dengan susah payah. Keinginanku untuk melarikan diri masih besar tetapi aku berbalik dan mengikuti langkah Pak Prana.
“Lewat sini!”
Pak Prana berbelok tepat beberapa meter sebelum undakan naik ke teras dengan marmer berkilauan. Jalan setapak itu terbuat dari beton yang sisi-sisinya ditaburi oleh batu-batu kapur putih. Sesudah itu juga ada bunga-bunga cantik yang bermekaran dan terawat dengan sangat baik.
Rumah itu besar. Saat aku mencapai pintu samping kakinya sedikit letih. Ia mendaki undakan menuju pintu samping dengan bersemangat. Ruangan yang menyambutku begitu cantik jika dibandingkan dengan ruangan-ruangan yang pernah dilihatnya di televisi. Sama sekali tidak ada apa-apanya.
“Bik Er!” Pak Prana meneriakan nama seseorang.
Aku sama sekali tidak melihatnya tadi saat masuk, tetapi ternyata di sisi kanannya ada pintu dan dari sanalah perempuan dengan hijab instan berwarna putih keluar.
Perempuan yang dipanggil Bik Er itu berhenti di dekat meja dengan marmer yang tampak seperti diukir. Tatapannya seperti mengulitiku yang berdiri diam tak jauh dari pintu masuk.
“Siapa Pak Prana? Pekerja baru? Kok dandannya begitu?” tanya Bik Er.
“Nanti kamu akan tahu! Ini tamunya Tuan Gatra, beritahu yang lain tentang dia! Namanya Ayu!”
“Tamu Tuan Gatra?” Bi Er membelalakan mata dan menarik Pak Prana mendekat. Ia berbisik, tetapi bisikannya bisa didengar jelas olehku. “Nyonya nggak akan cemburu?”
“Nyonya juga tahu soal Ayu! Kamu akan dikasih tahu sama Nyonya dan Tuan nanti, jadi jangan sok tahu!” Pak Prana memperingatkan.
Bi Er menonjolkan bibirnya sedikit. Lalu ia bersedekap dengan mata menyipit.
“Ke sini Ayu, aku akan tunjukkan kamarmu mulai sekarang!”
Aku mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Namun, aku masih bisa merasakan tatapan milik Bi Er di punggung.
Lantai di bawah kakiku terasa nyaman. Seolah-olah aku tengah berjalan di atas kaca yang di bawahnya adalah air. Aku takut melangkah cepat-cepat dan kemudian tenggelam di tengah-tengah.
Pak Prana membawaku jauh masuk ke dalam rumah. Setiap kali aku berpikir kalau tempat yang dilewati adalah kamarku, aku merasa seperti telah melakukan kesalahan. hingga akhirnya PakPPrana mendorong sebuah pintu besar yang tampaknya sangat berat dan menunggu aku masuk ke dalam.
“Ini kamar kamu mulai sekarang!”
Aku mengucek mata. Kamar itu bahkan lebih besar dari rumah kontrakan sang Paman jika semua ruangan tanpa batas. “Di sini?” tanyaku takut.
“Ya, di sini!” jawab Pak Prana sambil tersenyum.
“Pak Prana pasti salah! Nggak mungkin orang jahat itu kasih Ayu kamar besar begini!” tolaklu.
Pak Prana tersenyum penuh arti. “Ini kamar kamu! Mulai sekarang kamu akan berada di sini! Aku akan meninggalkan kamu sekarang, tutup pintunya dan tidur!”
Pak Prana berbalik, menutup pintu besar yang kelihatan berat itu dengan mudah.
Seperti yang disuruhkan kepadanya, aku mengunci pintu. Setelah sendirian aku jadi merasa takut di dalam ruangan. Aku tidak tahu apa yang akan muncul di tempat itu.
Hati-hati aku melangkahkan kaki di atas karpet empuk berwarna coklat yang terhampar hampir di seluruh ruangan. Aku menanggalkan alas kakinya ketika menginjak karpet.
Kini setelah sendirian dan merasa sangat nyaman, tiba-tiba saja aku merasa lelah. Aku menguap beberapa kali, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan luas itu.
Bulu-bulu halus di karpet menggelitiki kakiku. Aku lalu duduk bersila di atas karpet di dekat sofa empuk. Aku seharusnya bisa saja duduk di atas sana, tetapi aku takut merusak benda-benda di dalam ruangan.
“Aku bisa mencari jalan keluar besok!” Lalu aku merebahkan kepala di lantai yang beralaskan karpet. AKU yakin kalau bisa tertidur nyenyak.
Aku sudah mengutus Pak Prana untuk mengurus gadis yang baru dibawa. Aku yakin kalau sopir yang bekerja sudah lama di rumah ini akan melakukan tugas dengan baik. Semalam aku sudah meminta asistenku untuk menghubungi pengacara yang akan membuatkan surat kontrak untuk Ayu. Aku hanya membutuhkan gadis itu untuk mengandung anakku. Setelah anakku lahir, akan kukeluarkan dari rumah ini gadis itudan diberi fasilitas untuk hidup dengan nyaman. Syaratnya Ayu tidak boleh muncul di hadapan anakku nanti dan memberitahu tentang dirinya. “Pak, Tuan Erlan sudah ada di ruang tengah!” Asistenku memberitahu saat ia telah meminum kopiku sampai habis. “Terima kasih!” jawabku. Aku menarik serbet dan mengelap sedikit bibirku. Asistenku mundur memberi jalan. Aku berpapasan dengan nenekku di lorong. Wanita tua itu memalingkan wajah ke arah lain saat aku mendekat. Bagiku itu semua sesuatu yang luar biasa, karena dengan begitu aku tidak harus memikirkan apapun. Erlando Atmajaya adalah temanku sejak masih
Kontrak yang aku baca untuk kedua kalinya itu sudah terasa sempurna. Ini adalah penanganan yang tepat untuk seseorang yang akan memberiku dan Alina anak.Aku belum melihat Alina sejak pagi. semalaman aku memang berada di kantorku di lantai 1. Mungkin setelah pulang dari ulang tahun temannya Alina langsung naik ke kamar kami. Lagi pula keberadaannya di kantorku sama sekali tidak membantu.Gadis yang kusuruh panggil oleh Pak Prana rasanya begitu lama datang. Apakah seharusnya aku menempatkannya di kamar tamu yang dekat dengan segala ruang utama?Begitulah, saat aku memikirkan kemungkinan memindahkan gadis itu pintu ruang tengah ini diketuk. Pintu terbuka lebar, aku menoleh ke belakang begitu juga dengan Erlan.Lalu gadis itu muncul dengan cara yang biasa. Hanya saja tepat saat gadis itu berdiri dengan malu-malu dan canggung beberapa langkah dari pintu, seperti muncul cahaya di belakangnya. Seolah-olah Pak Prana menaruh lampu sorot untuk memperkuat esensi gadis itu.Aku terpana. Dan keti
Dokter yang menjemputku ke lobi menyuruhku untuk mengganti pakaian di ruang ganti. Seorang perawat masuk saat ia menutup pintu dan menyerahkan pakaian berwarna putih padaku. Perawat yang sama kemudian memasangkan gelang di tangan kiriku dan memintaku untuk mengikutinya.“Kita akan melakukan serangkaian tes, saya harap Anda mematuhi semua yang dikatakan perawat dan dokter yang bertugas!” dokter yang merupakan kenalan dari tuan memberikan instruksi yang cukup jelas.Hanya saja bukankah seharusnya mereka bertanya kepadaku Apakah aku mau atau tidak melakukan semua tes ini?“Mari lewat sini!” Si perawat menunggu di pintu selanjutnya yang harus kumasuki.Aku dengan sengaja berjalan lambat-lambat ke arah pintu. Tepat sebelum aku melewati pintu tersebut, seorang wanita muncul. Wanita tak dikenal itu sangat cantik.Rupanya hanya aku saja yang tak kenal dengan wanita itu. Dokter yang datang bersamaku menyalami wanita yang datang dengan ramah.“Nyonya Alina! Apakah Anda akan menemani Nona Ayudi
Alih-alih Pergi bersama ke ruang kerja, Alina berbelok di ruang tengah menuju tangga ke lantai dua. Aku menghentikannya.“Alina, tunggu!”Ia berdiri di bawah anak tangga sambil melipat tangannya di atas perut. Ia tampak tidak senang. padahal aku rasa ia cukup bergembira saat mengetahui ada seorang gadis yang mau menjadi ibu dari anak kami.“Ada apa? Gadis itu mengatakan sesuatu padamu?” Aku tahu kalau Ayu sangat polos. Ia adalah gadis bodoh yang dengan mudah percaya saja pada pamannya yang lebih mirip iblis. Manusia mana yang akan menjual keluarganya untuk mendapatkan uang?“Aku tidak tahu kalau gadis itu secantik itu!”“Siapa?”“Gadis bernama Ayu itu! Dia seorang gadis yang cantik dan sangat muda. Kamu memilihnya karena itu kan?” Alina menuduhku tanpa alasan.“Hanya dia saja yang bisa kita dapatkan! Kamu pikir ….”“Kamu bisa cari gadis lain, kan? Ada banyak wanita penghibur di luar sana! Mereka pasti akan bersedia mengandung anak kita dengan uang sebanyak itu!”Aku mundur dua langkah
Kepada siapa aku harus bertanya? Mataku terus saja mengeluarkan air mata sejak tadi. Aku tidak mengerti dan juga sangat ketakutan.Setalaht sampai di kamar yang aku lakukan hanyalah mondar-mandir saja. Itu berlangsung cukup lama hingga aku merasa sangat kelelahan.Pada akhirnya aku memutuskan untuk melarikan diri. Pasti ada caranya untuk bisa lari dari tempat ini. Tidak ada penjagaan yang sempurna di dunia ini.“Bagaimana caranya supaya bisa keluar dari rumah?”Rumah ini sangat besar hingga aku yakin langsung tersesat begitu keluar dari kamar. Jika bertanya pada Pak Prana yang selalu berada bersamaku di setiap kesempatan rasanya akan langsung ketahuan. Gerakku tidak boleh diketahui oleh Pak Tua itu.Aku bergegas untuk menengok keluar jendela besar yang ada di belakang kepala tempat tidur. Tirai-tirai besar berwarna jingga dan agak gemerlap itu diikat dengan pita-pita cantik yang rasanya begitu halus. Ada tirai putih nyari transparan yang terpasang di balik tirai besar. Dari sana bisa
Alina muncul, membuat asistenku terlonjak kaget dengan sikapnya dan kemudian memilih mundur.Aku sendiri lekas menyimpan berkas yang sedang aku kerjakan. “Duduklah! Ada apa?” Alina jarang datang ke kantorku di rumah. Kalau muncul itu artinya ada sesuatu yang mau disampaikannya padaku. Tawaranku diterima tanpa banyak bicara dan dengan telepon kupanggil pelayan untuk membawak teh dan kopi untuk kami. Sampai teh datang, Alina belum mengatakan apapun. Aku juga tidak mengusiknya sama sekali. Namun, lama kelamaan akhirnya aku tak sabar lagi menunggu. “Ada apa, Alina? Kalau tidak ada apapun aku akan kembali mengurus pekerjaan. Kamu bisa minum tehnya di ruanganku sendirian!” Aku berdiri, bermaksud untuk kembali ke meja. Asistenku yang berdiri di luar juga bersiap untuk masuk ke dalam. “Dia sudah membuat masalah, kan?” tanya Alina padaku. Aku cukup paham tentang siapa Alina bicara sekarang. “Dia tidak berhasil! Erlan sudah sejak pertama menemukannya dan memanggilku!” “Aku sudah bi
Aku tahu kalau aku termasuk pada definisi semua gadis itu. Hanya saja aku sama sekali tidak ingin mengakuinya. Aku benar-benar tidak mau mengakui dengan mengambil sepotong saja kue-kue yang dihidangkan dengan begitu cantik di atas meja.“Duduklah!” Gatra dengan lembut menyentuh tanganku dan menuntunku untuk duduk di kursi.Aroma manis yang hanya sesekali bisa kucium di rumah Paman bahkan saat di kampung dulu menguar. Semua berasal dari makanan yang ditata dengan begitu cantik tersebut.“Ciciplah! Mau aku suapi?”Aku kaget mendengarnya. Apa? Dia mau menyuapiku setelah semua hal buurk yang dikatakannya padaku. Aku masih belum lupa dengan isi surat kontrak yang dengan jelas menuliskan soal harrgaku di dalam sana.“Tidak! Aku tidak mau! Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Kamu mau menjadikan aku bagaimana lagi sekarang?” Mau tak mau mataku jadi berkaca-kaca saat mengingat bagaimana nasibku menjadi begitu buruk.Gatra tercenung sebentar kulihat dan kemudian ia melemparkan garpu kecilnya ke
Aku mencobanya beberapa kali, berpura-pura hanya jalan-jalan di sekitar halaman untuk mencari celah untuk bisa melarikan diri. Tetapi, para pekerja telah tersebar di sana. Dan pohon yang kupanjat waktu itu telah ditebang, bersama dengan pohon lainnya yang berada di sekitar pagar.“Kan kasihan kalau di potong?” tanyaku dengan polos pada salah satu tukang yang dipekerjakan.Dari belakang seorang pembantu rumah tangga menyahut dengan berani. “Ini kan salah kamu! Coba kalau kamu tidak memanjat sampai setinggi itu, semua pohon dekat pagar tidak akan ditebang!”Aku menoleh ke belakang dan menemukan wanita gendut yang kutemui tiga hari lalu saat memasuki rumah. Ia memandangku dengan angkuh dan marah.Aku tidak tahu kenapa dia membenciku. Aku jelas-jelas tidak melakukan kesalahan padanya.“Kalau kamu jadi aku, apa kamu mau tetap di sini?” tanyaku padanya karena kesal.Ia berkacak pinggang dengan marah dan mendorong bahuku. “Ya, aku akan tetap di sini! Kamu tahu apa yang berusaha kamu tolak?”