“Ibu boleh masuk, Neng?”
Tanpa menunggu persetujuanku wanita yang matanya membengkak juga kelopaknya yang menghitam itu, melangkah masuk. Jejak kesedihan terlukis jelas di wajah murungnya.“Oh, iya. Boleh!”
Saat itu pagar rumahku memang terbuka, karena tadi Mak Ipah tak menutupnya lagi saat keluar.
Entah kenapa perasaanku jadi tak enak. Apa lagi saat Mak Ipah menyebutnya wanita ular. Di antara tetanggaku yang lain, Mak Ipahlah yang paling perhatian. Ia bahkan tak segan membelaku, jika Bu Irah mempermalukanku di warung atau di pengajian.
Sampai hari ini juga hubungan mereka kurang harmonis, karena Mak Ipah kerap kali membantah apa yang dikatakan Bu Irah. Belakangan aku juga baru tahu kalau dulunya mereka bersahabat. Hanya saja mengingat sikap ibu mertuaku yang keras kepala dan tak mau disalahkan, lama-lama ia jengah juga.
“Neng, kok melamun sih?”
Suara Bu Odah seketika menarik kesadaranku ke
“Loh kok kamu di sana? Bukannya udah pulang dari tadi?”Kang Dadan malah kebingungan. Jelas-jelas aku baru pulang.“Akang ngapain pelukan sama dia? Mana berduaan enak-enak di belakang.”Saat itu perempuan yang menggunakan dress terusan selutut berwarna putih itu hanya menunduk. Rambut panjangnya yang tergerai dibiarkan menutupi wajahnya. Ia bahkan terlihat menyeramkan sekali.“Kamu siapa sih?” tanyaku.Kang Dadan yang mulai mendapatkan kendaraan sepenuhnya langsung mendorong wanita itu menjauh. Sayangnya yang membuatku tambah gemas adalah wanita itu malah mengencangkan pelukannya di pinggang suamiku.“Ih, lepas!”Kang Dadan bahkan harus menggunakan sedikit tenaga melepaskan wanita misterius yang terus menempel di tubuhnya. Pria itu sedikit bergidik, entah benar geli atau hanya pura-pura saja.Lagi pula laki-laki mana yang tidak menikmati saat dipeluk perempuan lain.
Sangat disayangkan kenapa Kang Dadan tak tegas pada Nining. Padahal, tenaganya jauh berkali-kali lipat dari Mak Ipah.Malam itu, meskipun tidur satu ranjang aku memilih untuk memunggunginya. Nyatanya dia juga masih menyimpan perasaan pada istri keduanya. Entah cinta atau sekedar kasihan. Hanya dia yang tahu.~Pagi harinya, aku terbangun sendirian. Kang Dadan sudah tak berbaring di sampingku. Padahal, ini baru saja azan subuh.Aku mencoba untuk tak peduli, memilih membersihkan diri dan menunaikan kewajiban kurasa itu lebih baik, dari pada menuruti nafsuku yang ingin selalu marah padanya. Lebih baik juga memang kita tak saling bertemu dulu, setidaknya bisa sedikit meredam kemarahanku padanya.~Obat paling mujarab di saat seperti ini, hanya mendekatkan diri pada Sang Pemilik Kehidupan. Hanya ia yang tahu takdir setiap makhluknya. Semakin hari, aku dibuat sadar, jika kehidupan tak selalu berjalan semau kita. Enggak ada yang abadi di duni
[Kamu ya, kebiasaan! Sekarang enggak tahu ibu ke mana.]Panggilan pun berakhir.[Ibu enggak tahu di mana Dan, di Nadia juga enggak ada.][Biarin aja, ibu juga bawa uang yang enggak sedikit. Dia juga enggak akan kelaparan di jalan.][Dan, Teteh ngerti kamu kecewa banget, tapi apa bener kamu enggak peduli sama ibu?][Enggak ada anak yang enggak peduli, aku juga perlu waktu buat nerima semuanya. Aku malu kesel, tapi juga enggak bisa berbuat apa-apa, karena dia orang yang melahirkan dan merawatku sejak kecil.][Ya sudah, kalian istirahat saja di sini. Sidangnya besok ‘kan? Kalau mau nginep aja di sini. Mbak juga lama kayaknya enggak kumpul keluarga.][Aku sih terserah Yasmin.][Boleh, kalau memang Mbak enggak keberatan.]Dari pada aku harus tinggal di sana sampai besok, lebih baik di sini. Setidaknya bisa menghindar dari Si Nining.~Esok hari, usai salat subuh kami memutuskan untuk pulang. Kami harus men
“To-tolong!”Aku masih berusaha berteriak, tetapi suaraku bahkan hanya bisa tercekat di tenggorokan. Saking takutnya aku bahkan tak berani membuka mata. Namun, pria itu malah semakin mendekat.Embusan nafasnya yang hangat mulai menerpa wajahku. Tepat saat kurasakan kami hampir nyaris tanpa jarak, aku refleks membuka mata dan bersiap menendang tepat di area vitalnya. Namun, pria yang memakai buff dan hoodie itu seketika menghindar dan membuka penutup wajahnya.“Kamu mau ngancurin masa depan kita?” teriaknya.Dalam kegelapan saja, meski wajahnya belum terlalu jelas, aku sudah bisa mengenali pemilik suara itu.“Ini Akang?”“Ya, kamu maen tendang-tendang aja.”“Ya lagian Akang datang-datang langsung seret aku ke tempat gelap. Siapa yang enggak panik.”“Kalau enggak begini, memangnya kamu mau pulang?”Sekarang tanpa basa-basi, pria
Tidak bisakah ia lembut sedikit. Ia bahkan membuat makanannya berantakan.Sekarang bukannya minta maaf, ia malah pergi dan mengancamku. Memangnya siapa yang akan makan dalam keadaan seperti ini. Aku hanya bersikap berdasarkan naluri.Kalau, hanya melihat ia menggendong wanita lain saja hatiku sudah sangat sakit, bagaimana jika ia benar-benar melakukan hubungan selayaknya suami istri. Akan sesakit apa nantinya aku.Tapi, sebentar bukankah saat itu Nining juga mengaku hamil, tetapi kenapa perutnya tak kunjung membesar?Ia pasti berpura-pura lagi. Untung saja aku tak mudah terkecoh saat itu. Kalau saja aku percaya padanya, ia mungkin akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil suamiku.Entah di mana pikirannya. Bisa-bisanya mengaku hamil, padahal ia tak pernah disentuh suamiku.Sekarang di kamar ini, aku hanya bisa melirik ke arah bungkusan makanan yang tergeletak di ranjang, sedikit berantakan, tetapi masih layak dimakan.Perutku m
“Akang aku mau keluar sebentar!”Aku tak bisa mengabaikan hal ini, sesakit apa pun luka yang ia torehkan, wanita itu tetap ibu kandung dari suamiku. Aku tak bisa menampik kenyataan itu. Lagi pula kalau memang benar ibu, kenapa dia berada di jalanan dengan penampilan lusuh seperti itu.“Enggak bisa Sayang! Sebentar lagi mau berangkat? Ada apa sih?”Aku melirik ke arah lampu rambu lalu lintas yang sudah berubah warna menjadi kuning.“Sayang? Mau ke mana? Bahaya!”Kang Dadan berteriak dari dalam mobil, tetapi ini sanga mendesak. Aku mungkin akan menyesal jika tak menuntaskan rasa penasaranku.Beberapa mobil mulai menekan klakson, karena mobil yang ditumpangi Kang Dadan enggan melaju. Mungkin ia masih menunggu, sayangnya aku juga tak punya waktu menjelaskan. Takut ibu buru-buru meninggalkan lampu merah.Kang Dadan hanya bisa melajukan mobilnya. Mencari tempat parkir yang aman, sehingga ia bisa menyusulk
Bahkan ketika kami telah tiba di Bandara Ngurah Rai Bali, aku masih saja tak bisa tenang. Pikiranku masih terfokus pada perhiasan itu.“Sayang jam berapa sekarang?”“Sebentar, Sayang!”Aku berniat untuk melihat jam di ponsel. Namun, ternyata aku baru sadar kalau sejak tadi ponselku masih menampilkan potret keluarga kami saat lebaran tahun lalu. Aku lupa belum mengembalikannya.Perhatianku sontak saja langsung mengarah pada giwang yang dipakai ibu. Model dan ukurannya terlihat sama persis dengan yang dipakai Teh Nadia.“Kamu ditanya jam malah mainan hp,” sindir Kang Dadan.“Jam 4 sore, Kang!”“Lihat apa sih, sampai segitunya?”Kang Dadan yang penasaran mulai mendekatkan kepalanya padaku, hanya untuk melihat apa yang sedang kuamati hingga membuatnya kesal.“Kamu beneran kangen sama ibu, Yas. Heran padahal, ibu cerewet banget loh.”Sekali lagi pr
Malam hari ketika kami masih menanti kabar dari suami Teh Nadia.[Hallo, saya udah ketemu sama orang yang katanya mirip ibu di lampu merah. Kayaknya bukan ibu, tapi emang orang itu perawakannya mirip sama ibu.]Sekarang Kang Dadan hanya bisa melihatku dengan wajahnya yang menahan kesal.“Kamu kalau kangen sama omelan ibu jangan halu dong, Sayang!”Sudahlah kalau memang bukan ibu, syukurlah. Setidaknya meskipun pergi entah ke mana ia tak sampai mengemis di jalanan hanya demi menyambung hidup.~“Terus sekarang ibu di mana, ya? Akang tetap enggak mau cari tahu?”“Kenapa Akang harus cari tahu?”“Karena dia yang melahirkan Akang, seberapa pun besarnya kesalahan ibu. Kita enggak bisa mengubah fakta itu. Dalam tubuhmu mengalir darahnya, tanpa ibu Akang juga enggak akan ada di dunia ini.”Pria itu menatapku dalam diam, sampai kemudian ia merapatkan tubuhnya padaku. Aroma