“Hei, kenapa kamu seperti yang malu?” tanya Ken dengan alis yang terangkat sebelah. Kinan langsung membuang muka untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah tomat.“Nggak apa-apa. Maaf. Kemana pacarmu itu?” tanya Kinan lalu duduk berhadapan dengan Ken. Lelaki itu bersandar dan mengembus napas kasar.“Entahlah, mungkin dia marah karena kejadian tadi pagi,” jawabnya, lalu kembali mengambil sendok dan menyuap sesendok tongseng kambingnya.“Wow, masakan kamu selalu enak,” puji Ken dan mulai menyendok tongseng itu ke atas nasi. Hanya dalam waktu sekejap nasi dan tongseng itu sudah habis tak bersisa.“Mau nambah, boleh?” tanya Ken terdengar sopan. Kinan benar-benar melongo mendengarnya. Seumur-umur pernikahan mereka, tak pernah sekalipun lelaki itu bersikap baik padanya. Walau bersikap baik pun, itu hanya sekadar pura-pura saja.“Bo-boleh, tentu saja.” Kinan gegas bangkit dan mengambilkan lagi nasi dan tongsengnya.“Terima kasih,” ucap Ken saat menerima piring berisi nasi. Tangannya l
Kinan mematikan alat itu dan menyimpannya di meja rias. Lalu, matanya menangkap bayangan seorang lelaki di belakang sana dan sedang memperhatikannya dengan mata tak berkedip.“Aaarggh!” Kinan berteriak kaget sambil menutupi dadanya dengan kedua tangan.“Kenapa kamu masuk ke sini tanpa mengetuk pintu?” ujar Kinan yang langsung berbalik memunggungi. Setidaknya jika posisi seperti itu Ken tidak akan lagi melihat badannya karena tertutupi rambutnya yang panjang.“Mmh, maaf, tadi aku ketuk beberapa kali. Tapi … kamu nggak jawab. Ternyata kamu lagi pake hair dryer.”“Ya udah, sana kamu keluar dulu. Aku mau pake dulu baju,” usir Kinan sambil menggeser tubuhnya ke arah lemari.“I-iya, aku tunggu kamu di luar. Aku mau minta tolong,” katanya masih gugup. Namun, dia gegas keluar juga.Ken mengusap wajahnya berkali-kali untuk menghilangkan bayangan yang tadi dillihatnya. Sedangkan Kina dia buru-buru mengambil sweater juga bergo dari lemari dan segera memakainya.“Astagfirullah, kenapa aku sampai
Ken kembali berusaha melihat luka di kaki Kinan. Namun, gadis itu bersikukuh mempertahankannya untuk tidak dilihat.“Kinan, aku mohon. Aku hanya ingin melihat lukamu. Aku merasa bersalah karena aku yang tadi minta bantuan kamu, ” ucap Ken dengan wajah memelas.Kinan terlihat ragu. Namun, Ken bersikukuh jika dia hanya ingin membantunya mengobati.“Aku ingin lihat, takutnya serpihan kacanya masih ada. Bisa bahaya itu,” jelasnya seolah Kinan tidak mengerti. Betul juga, pikir Kinan. Lagi pula, tadi dia sudah coba melihatnya, tetapi sulit karena dia harus memelintir kakinya. Terlihat nggak, malah kakinya semakin sakit.“Aku lihat, ya?” pintanya lagi saat melihat wajah Kinan yang mulai bersahabat. Ken membetulkan posisi kaki Kinan menjadi selonjoran. Dia lalu mengangkat kaki kiri Kinan yang tertancap serpihan kaca. Ken meniliknya, tapi cahaya lampu kamar tidak begitu membantunya. Dia lalu minta izin pada Kinan untuk memakai ponselnya sebagai senter. Kinan pun mengiyakan.Ken mengambil bend
“Aku … ingin memperbaiki hubungan ini,” pungkasnya dengan tatapan dalam. Tangannya meraih jemari Kinan, lalu Ken beranjak maju dan menciumnya. Mata Kinan melebar seketika. Jantungnya berdebar tak karuan.“Kenapa? Kamu takut?” tanya Ken tersenyum tipis. Kinan langsung membuang muka karena malu. Ken semakin merasa di atas angin.“Apa aku boleh tidur di sini?” tanya Ken lagi.“Hah?” Kinan tersentak kaget dengan permintaan suaminya. “A-aku tidak bisa.”Ken tampak memberengut kecewa. “Apa kamu tidak ingin memperbaiki hubungnan ini?” telisiknya.“Eh?”“Ok, kalau kamu belum siap untuk melakukan ‘itu’, aku tidak akan memaksa. Aku akan menunggu sampai kamu siap,” ucapnya yang semakin membuat Kinan panas dingin.Itu? Itu apa maksudnya? Kinan ketakutan setengah mati.“Entah aku bisa menerimamu atau tidak. Kamu menganut sex bebas. Aku takut jika kamu membawa penyakit,” ungkap Kinan jujur.Ken tertawa kecil sambil mengacak rambut istri kecilnya. “Kamu pikir aku akan begitu ceroboh? Aku selalu mem
Ternyata Ken menepati ucapannya. Dia kini sedang menunggu Kinan di depan sambil memanaskan mesin mobilnya. Lagi-lagi Ken menatapnya tak berkedip saat Kinan keluar dengan gaya barunya. Make up tipis dengan ootd yang kekinian.“Ayo,” ajak lelaki itu yang membukakan pintu untuk wanitanya. Kinan lagi-lagi terpaku tak percaya. Ok, fine. Dia mungkin memang sudah berubah, pikirnya.Seumur pernikahan mereka baru kali ini Ken membukakan pintu mobil untuknya. Seingat dia. Entahlah jika sedang di depan orang tua ataupun kakek neneknya. Hanya saja, yang kali ini terlihat begitu tulus.Mobil mulai meluncur di jalanan mulus. Sesekali Kinan melirik pada lelaki yang fokus menyetir. Menatapnya takjub dengan debaran jantung yang menghentak dadanya begitu kencang.‘Tidak salah, bukan, jika seorang istri mencintai suaminya?’ bisik hati Kinan. Ken sepertinya bisa merasa jika sedang diperhatikan. Dia kemudian menoleh sambil menaikan ssebelah alisnya.“Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum.Kinan serasa keperg
Selesai kuliah Kinan dan Sesyl seperti biasa langsung menuju tempat kebugaran. Kinan ikut-ikutan Sesyl menggunakan alat-alat yang disediakan di sana sambil menunggu waktu berlatih salsa.Mata Sesyl melebar. Dia juga langsung bangkit dari tempatnya melakukan sit up saat melihat kedatangan seseorang yang sangat dikaguminya. Badan tegap itu terlihat makin mempesona dengan stelan olahraganya. Sebuah celana pendek dan kaos putih. Sebuah tas besar tersampir di pundaknya.“Pak Dony?” sapa Sesyl tampak bahagia. Lelaki itu menautkan alisnya lantas tersenyum.“Lho, kalian olah raga di sini juga?” tanyanya, lalu menyimpan tas besarnya di lantai.“Iya, nih. Kebetulan banget ya, kita bisa latihan bareng di sini,” ujar Sesyl mengakrabkan diri. Sementara itu Kinan yang melakukan latihan yang sama dengan Sesyl hanya duduk dan mengangguk hormat.Sat
Tubuh Kinan diseret menjauh dari sana. Tenaga lelaki itu begitu kuat meski kerempeng. Kinan berusaha melepaskan diri dengan menendangkan kakinya. Namun, sebuah tangan lagi memeganginya. Mereka menggotong tubuh Kinan menjauh. Gadis ituberusaha membuka mulutnya dan menggigit telapak tangan yang membekapnya.“Aaww!” Lelaki kerempeng itu menjerit dan melepaskan sebelah tangannya hingga tubuh Kinan bagian atas terjatuh. Dia tak sia-siakan kesempatan untuk berteriak sekeras-kerasnya. Namun, baru saja Kinan akan membuka suaranya, terdengar lelaki kerempeng tadi kembali mengaduh kesakitan. Sepertinya ada seseorang yang datang dan menendang lelaki itu dengan kekuatan penuh.Begitu pula dengan lelaki satu lagi yang memegangi kaki Kinan. Dia terjengkang dan mengaduh kesakitan. Kinan gegas bangkit dan menoleh ke arah dua orangn yang tengah berkelahi. Tadi, Kinan mengira jika itu adalah Ken yang datang menolongnya, tetapi dari siluetnya lelaki itu sangat berbeda.Kinan menajamkan penglihatan dan
“Apa bener, kamu pertama kali ketemu sama si Dony itu di pinggir jalan?” telisik Ken yang buku-buku tangannya tengah dibersihkan oleh Kinan dengan handuk dan air hangat karena berdarah akibat perkelahian tadi.Kinan mengangguk. “Iya, kenapa memangnya?” dia melirik pada lelaki yang duduk di sofa, sementara dirinya di lantai.Ken menggeleng pelan. Dia merasa begitu aneh karena semuanya terasa begitu kebetulan, di saat Kinan butuh bantuan, lalu orang itu muncul dan menolong. Terlebih, Ken merasa pernah mengenalnya, meski entah di mana.“Aku minta kamu jangan dekat-dekat sama dia,” gumamnya dengan tatapn kosong. Pikirannya mencari-cari bayangan lelaki itu di masa lalunya yang kelam.“Bagaimana mungkin, dia itu dosenku. Aku pasti akan sering berhubungan sama dia.”Bener juga, pikir Ken. Mungkin dia harus lebih berhati-hati.“Memanngnya kenapa? Pak Dony itu orang yang baik. Kalau dia berniat jahat, mungkin sudah dia lakukan sejak pertama. Tapi, dia justru selalu menolong,” sahut Kinan yang