“Tak ada wanita yang bisa benar-benar ikhlas berbagi suami. Yang ada terpaksa menjadi terbiasa.”Desi bergeming memandang bantal motif bunga yang ada di pangkuannya. Sesekali ia terlihat menarik nafas dan mengembuskannya perlahan. Kasihan sekali Desi, ia pasti selalu merasa takut jika suatu saat nanti suaminya berniat mendua.“Banyak yang bilang, keluargaku terkena karma karena sempat tak mau menerima Mbak dulu. Kami bahkan berniat membunuh bayi tak berdosa yang seharusnya menjadi tanggung jawab kami. Dan sekarang kami terkena karma .... ““Stt..., jangan di teruskan! Ini hanya cobaan, bukan karma,” sahutku.“Maafkan kami, Mbak.”Aku meraih wanita cantik dengan rambut berponi itu ke dalam pelukanku. Di satu sisi aku senang karena keluarga Mas Rafi benar-benar telah mendapatkan balasan atas perlakuannya terhadapku dulu, tapi disisi lain aku merasa tak rela jika ada seorang wanita yang seolah menjadi tumbal atas kelakuan keluarganya di masa lalu.“Aku sudah memaafkan kalian. Jangan berp
“Maaf, Mbak. Aku dari ngecek toko,” jawabku tertunduk.“Halah, alasan!” ketus Mbak Silvi kemudian berlalu mengikuti beberapa petugas medis yang lebih dulu membawa Ibu.Aku menatap nanar beberapa orang berlalu mengikuti Mbak Silvi. Sebenarnya Ibu kenapa? Saat ini memang sedang Mengapa tak sehat, tapi bukankah tadi pagi Ibu terlihat baik-baik saja. Bahkan saat aku tak berniat mengunjungi toko, Ibulah yang memaksaku pergi. “Maaf, Bik. Apa tadi Ibu pingsan?”“Iya, Mbak Nita.”“Kenapa Bibik enggak hubungin aku?”“Maaf, tadi Bibik ...”“Enggak apa-apa, Bik. Pasti Bibik panik, ya? Aku ke rumah sakit dulu, ya. Titip Miko ya, Bik,” pamitku kemudian bergegas menyusul ibu ke rumah sakit.**Aku menelusuri lorong panjang sebuah rumah sakit swasta tak jauh dari rumah Ibu. Dari kejauhan kulihat Mas Arman dan Mbak Silvi sedang berbincang di sebuah bangku panjang. Di sekitarnya juga terlihat beberapa saudara Ibu beserta keponakan yang telah beberapa kali kutemui. Juga beberapa wanita cantik dengan d
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan keluarga ini?” batinku.Semakin hari keadaan di keluarga Mas Rafi semakin aneh. Apa benar keluarga Mas Rafi menumpang hidup dengan Mbak Silvi seperti rumor yang beredar. Yang paling jelas, Ibu hanya bisa diam saat tahu Mbak Silvi adalah dalang dari bangkrutnya toko yang kukelola. Semua serba membingungkan.“Desi...! Desi...!” panggilku saat melihat Desi masuk dan berlari ke kamar Ibu. Sadar tak mendapat respons, aku bergegas mengikutinya. “Bagaimana keadaan Ibu, Des? Apa sudah siuman?”“Entahlah, Mbak,” jawabnya cuek sambil terus memasukkan baju ke dalam koper.“Hubungi aku kalo ada kabar apa-apa y, Des.”“Iya, Mbak.” Aku menatap nanar kepergian Desi yang begitu terburu-buru. Mengapa orang-orang di rumah ini begitu cepat berubah sikap? Semoga saja tak ada hal buruk yang baru saja terjadi. Mereka hanya kaget dan khawatir dengan keadaan Ibu.Hari sudah menjelang petang namun tak satu orang pun menghubungiku. Berkali-kali aku melihat ponsel berharap
POV RafiAku memandang garang lelaki tua tak tahu malu yang berdiri di hadapanku. Ya dia adalah Bahri Suseno, adik kandung ayahku. Lelaki yang sejak dulu selalu saja membuat keluargaku berantakan. Walaupun kami saudara dekat, tapi kedekatannya dengan keluargaku selalu saja membawa petaka. Namun anehnya Ibu selalu saja menuruti keinginannya.Sejak meninggalnya Bapak, Om Bahri adalah satu-satunya saudara yang selalu membantu keluargaku terutama masalah ekonomi. Bahkan dialah yang membuatku dan Desi dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Atas jasanya tersebut Ibu menempatnya ia sebagai salah satu orang terpenting di keluarga kami.Walaupun Om Bahri selalu ikut campur masalah keluarga kami, tapi aku anggap itu adalah sebuah bentuk perhatian dari paman kepada keponakannya. Tapi semua berubah ketika Om Bahri bercerai dengan istrinya. Banyak rumor yang beredar jika penyebab perceraiannya adalah kedekatannya dengan Ibuku. Aku dan Desi yang saat itu sedang fokus dengan pendidika
“Sebelum kesabaranku habis, lebih baik Om pergi dari sini,” pekikku sembari menunjuk pintu keluar.Bukan soal mudah menghadapi makhluk gendut di hadapanku ini. Sebagai orang yang biasa terjun di dunia politik, ia pasti sangat pandai dalam mengolah kata-kaya, ia juga angat pandai bersilat lidah bahkan bisa membuat lawan bicaranya mati kutu.“Wah, wah. Udah berani sekarang kamu, ya.” Om Bahri bertepuk tangan kemudian menepuk pundakku beberapa kaki “Kalo saja Silvi tahu cinta kalian begitu erat, tentu ia segera mencabut semua fasilitas yang telah ia berikan pada keluarga ini.”“Akan lebih baik jika seperti itu.”“Om tunggu kesuksesanmu, atau kehancuranmu, Rafi.” Tawa Om Bahri menggelegar sebelum ia berjalan meninggalkan rumah.Aku mengalihkan pada wanita yang masih terdiam di sudut ruangan. Wanita yang paling ingin aku bahagiakan tapi nyatanya malah semakin membuatnya menderita. “Maafkan aku.” Kurengkuh Anita dalam pelukanku.Sejenak ia hanya mematung, namun tak berapa lama kurasakan
“Mama ..., mama udah ingat Nita?” Aku membantu mama bangun dan mengganjal punggungnya dengan dua bantal.“Mama selalu ingat Nita, andai saja dulu kita menerima dia, pasti keluarga kita tidak akan berantakan seperti ini.” Suara mama terdengar parau.“Bukankah kemarin Mama ...”“Mama sudah ingat semua, mama hanya sedang berpura-pura agar orang tua tak tahu diri itu tidak terus memaki mama.”“Maksudnya Om Bahri?”“Siapa lagi.”Mama benar, keluargaku mulai berantakan saat aku memutuskan untuk tak menikahi Anita. Kami memang hidup bergelimang harta, tapi ternyata itu hanya kebahagiaan semu belaka. Kami sadar saat masalah datang bertubi-tubi mulai dari saat Silvi, menantu yang dulunya sangat mama banggakan di nyatakan tak bisa mengandung. Entah berapa puluh kali kami berobat dan berapa ratus juta uang yang kami keluarkan namun hasilnya tetap nihil, Silvi tak sembuh hingga sekarang.Masalah berlanjut saat Desi juga mengalami masalah yang sama. Seolah Tuhan ingin menunjukkan betapa mahalnya
“Anita,” panggilku pada seorang wanita yang sedang serius berbincang dengan beberapa orang di pos satpam.“Mas, Miko ...” Ia langsung menghambur ke pelukanku. Wajahnya sembab dan penampilannya sangat kusut.“Sabar, nanti kita cari Miko sama-sama.” Aku mencoba menenangkannya.Aku bergegas mencari semua informasi pada guru dan petugas keamanan sekolah. Kami juga mengecek rekaman CCTV yang terpasang, namun tak banyak informasi yang kami dapatkan. Karena terkadang para orang tua harus parkir jauh dari sekolah karena banyaknya kendaraan penjemput.Memang di sekolah Miko pengawasannya cukup ketat, karena para siswa hanya boleh di jemput oleh seseorang yang biasa menjemput. Kalaupun ada penjemput baru, maka harus dengan konfirmasi orang tua kepada pihak sekolah. Namun terkadang pada jam pulang sekolah keadaan sangat ramai dan setiap orang tua akan mencari anaknya sendiri-sendiri.Pihak juga telah menghubungi beberapa wali murid untuk mengulik informasi tentang siapa orang yang menjemput Miko
“Benar-benar enggak waras. Apa jangan-jangan kamu dalang semua ini?” Aku menyelidik.“Aku tidak akan mengotori tanganku dengan hal-hal yang tidak penting seperti itu. Kalaupun aku mau, pasti kubawa keduanya, enggak Cuma anaknya.” Sanggah Ario.“Tolonglah, aku kesini mau minta bantuan bukan berdebat.”“Baiklah.” Ario menepuk punggungku sambil tertawa mengejek.Kulihat Ario mengambil ponselnya di dalam saku dan menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas aku sangat berharap orang-orang Ario bisa menemukan Miko secepatnya.“Ikut aku, kita jemput Miko,” ajak Ario.“Apa sudah ketemu?” Aku seakan tak percaya dengan apa yang Ario katakan, secepat itukah dia menemukan Miko? Atau memang dia yang menculik Miko?“Jangan buruk sangka, sudah kukatakan bukan aku yang membawa Miko. Aku sudah bertindak sejak kamu mengirim pesan di grup tadi siang,” ucapnya santai.“Kalo kamu sudah tahu, kenapa enggak bilang dari tadi?” “Kamu pikir nyari orang itu gampang. Aku juga baru dapat in