“Dengar ya, Nak! Mama Miko cuma Mama Nita. Enggak ada yang lain,” tekanku.Walaupun Mbak Silvi berstatus Ibu tiri untuk Miko tapi aku tak pernah rela ia menyebut mama pada wanita selain aku. “Nenek enggak mampir?” ucap Miko pada Bu Fitri.“Besok nenek ke sini lagi ya, sayang.” Bu Fitri berjongkok lalu mencium kedua pipi Miko.“Hati-hati di jalan, Mas!” Aku mencium tangan Mas Rafi dan Bu Fitri bergantian. Sejenak Mas Rafi terpaku melihat tingkahku, mungkin ia bingung karena aku jarang sekali bersikap manis seperti itu. “Ayo, Fi,” panggil Bu Fitri yang telah duduk di dalam mobil.Mas Rafi berbalik dan segera berjalan, namun baru beberapa langkah dia berhenti lalu berbalik kembali.“Apa ada yang ketinggalan?”Bukannya menjawab Mas Rafi terus saja mendekat dan langsung mencium pipiku.“Jangan sampai Ibu tahu kalo menantunya enggak peka sama suaminya,” bisik Mas Rafi sebelum melengang pergi.Aku memegang pipi yang baru saja di cium Mas Rafi. Seperti biasanya hatiku selalu meleleh oleh s
“Aku enggak mau pindah, kamu tahu kan kalo Ibu enggak suka sama aku?” “Kalian enggak aman di sini. Rendi pasti akan terus datang kalo kalian belum pindah,” cerocos Mas Rafi sambil terus memasukkan baju Miko ke dalam koper.“Tapi, Mas!”“Stt... nurut aja.”Setelah mengemasi beberapa barang, akhirnya Aku dan Miko mengikuti Mas Rafi pergi. Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam akhirnya kami sampai di sebuah pusat pertokoan yang sebenarnya biasa aku kunjungi. Mas Rafi memelankan laju mobilnya saat kami memasuki deretan ruko yang suasananya cukup ramai.Kami berhenti di salah satu bangunan ruko berlantai tiga dengan nuansa cat warna ungu memenuhi dinding depannya. “Ayo turun,” perintah Mas Rafi mengambil alih Miko yang tertidur di pangkuanku.Dengan ragu aku turun dan mengikuti Mas Rafi yang sudah jalan terlebih dahulu. Kami bertiga berhenti saat lelaki berpakaian satpam tengah membuka pintu besi yang berada tepat di hadapan kami. Setelah menerima kunci, Mas Rafi segera masuk saat
"Jangan khawatir aku akan melakukan yang terbaik untuk Ari, dia adikku juga, kan?" Mas Rafi memelukku erat."Jangan berpikir macam-macam," ucapnya kemudian.Hari sudah hampir malam, tapi kondisi Ari masih juga belum ada perubahan. Bahkan sesekali kondisinya menurun. Aku masih mondar mandir di depan ruang gawat darurat tempat Ari di rawat. Sesekali aku mengintip dadi kaca jendela berharap Ari segera siuman.Mas Rafi juga masih sibuk mengurus segala sesuatu yang di minta pihak rumah sakit."Mama, aku nginep di rumah nenek, ya?" tanya Miko melalui sambungan telepon."Tapi, Nak ... " jawabku ragu."Boleh ya, Ma.""Tolong berikan teleponnya sama nenek," perintahku pada Miko."Halo." Suara di telepon sudah berganti dengan suara Ibu."Tolong titip Miko ya, Bu," ucapku lirih."Kamu tenang aja, Miko kan cucu Ibu."Sebenarnya aku tidak rela ia terlalu dekat dengan Ibu, tapi dengan kondisi saat ini aku tak mungkin melarangnya. Lagipula sudah bisa di pastikan aku tak akan bisa pulang malam ini.T
“Dasar pembawa masalah! Belum juga genap satu tahun, udah bikin satu toko melayang. Dasar perempuan miskin!” pekik Mbak Silvi yang tiba-tiba datang.Aku melirik sekilas lalu kembali fokus memeriksa stok barang.“Eh, wanita kampung! Semua uang yang Mas Rafi keluarkan untuk membiayai pengobatan adik kamu itu hasil dari usaha yang dia bangun sama aku. Jadi jangan mentang-mentang kamu juga istrinya bisa seenaknya aja ngabisin uang Mas Rafi.” Mbak Silvi terus nyerocos dan mengikutiku mengitari rak.Aku terus saja berjalan tanpa berniat menjawab omongan Mbak Silvi. “Kamu budeg, ya! Di ajak bicara dari tadi malah diam aja.” Mbak Silvi menarik pundakku hingga aku berbalik.“Aku dengar, Mbak, tapi aku enggak mau ribut. Jadi lebih baik sekarang Mbak pulang,” ucapku halus."Tau, enggak? Kamu sama adikmu cuma jadi beban buat Mas Rafi.""Kalo bukan Mas Rafi yang memaksaku tidak bekerja, aku juga tidak mau membebani dia.""Dasar benalu.”Aku memilih meninggalkan Mbak Silvi. Aku memang tak punya al
“Jangan liatin aku kayak gitu.” Aku menutup wajah seraya berjalan melewati Mas Rafi.“Terus maunya kayak gini.” Mas Rafi meraih pinggangku dan mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti di depan wajahku.Setelah kejadian tempo hari sikap Mas Rafi berubah menjadi sangat manis, hingga aku terkadang membuatku risih. Setelah hampir setahun akhirnya Mas Rafi berhasil mendapatkan haknya sebagai seorang suami. Walaupun ini bukan yang pertama untuk kami, tapi tetap saja berbeda karena sekarang kami adalah pasangan suami istri yang sah.Sebagai wanita normal, tentu saja aku merasa bahagia diperlakukan seperti itu. Bahkan sekarang aku tak segan mendekati dan bersikap manja pada Mas Rafi. Bibit-bibit pelakor juga perlahan tumbuh di hatiku, karena tak jarang aku berpikir untuk menghasut Mas Rafi agar meninggalkan istri pertamanya. Bak menjilat ludah sendiri, aku bahkan sudah benar-benar menjatuhkan hatiku kembali pada Mas Rafi. Rencana balas dendam yang semula kurencanakan sekarang hilang entah
"Kalo saja kamu bukan Ibu kandung Miko, sudah sejak lama kuusir dari sini," ucap Ibu, menarik bajuku."Ada apa ya, Bu?" "Sudah kuduga dari awal, wanita bodoh kayak kamu enggak bisa diandalkan buat ngelola usaha. Atau jangan-jangan kamu yang menghabiskan modal toko ini untuk keperluan pribadi kamu," cecar Ibu berkacak pinggang."Duduk dulu, Bu. Nanti darah tingginya kumat," jawabku santai."Kalo sampai toko ini benar-benar tutup kamu bertanggung jawab untuk membayar kerugian rafi.""Tenang dulu, Bu." Aku menarik kursi dan segera menuntun Ibu untuk duduk dan memberinya sebotol air mineral."Halah... sok perhatian," ketusnya namun tetap menerima air minum yang aku sodorkan.."Ibu pengin tahu apa yang bikin toko ini sepi?" tanyaku pada Ibu yang sudah sedikit tenang."Ibu lihat toko baru di depan yang sangat ramai itu?" Aku menunjuk toko kepunyaan Mbak Silvi di seberang jalan."Halah bilang aja kamu yang enggak becus.”“Selain lebih lengkap di sana semua barang didiskon tiga puluh sampai
Maksudnya kamu hamil?” sahut Ibu yang ternyata sudah berdiri di belakang kami.“Belum tahu, Bu. Belum di cek,” jawabku ragu.“Cepat cek! calon cucuku harus dapat asupan gizi terbaik dari perkembangan awalnya,” tekannya seraya berlalu menuju arah tangga.“I-iya, Bu.” Aku dan Vera terus memandang Ibu hingga ia sampai di lantai dua.Kuelus perlahan perutku yang masih rata. Apa aku benar-benar hamil? Betapa cerobohnya aku jika itu terjadi. Walaupun memiliki anak adalah dambaan setiap pasangan, tapi ini berbeda. Bahkan selama aku dan Mas Rafi menikah belum pernah sekalipun kami membahas masalah anak.Sebenarnya aku ingin menyembunyikan ini semua, sebelum tahu kebenarannya. Aku takut jika Mas Rafi belum siap memiliki anak lagi, apalagi saat ini kami tengah menghadapi masalah ekonomi. “Kamu udah damai sama Ibunya Mas Rafi?” tanya Vera menelisik.Aku menggeleng.“Kok kelihatannya dia perhatian banget sama kamu?”“Mungkin dia mengira aku benar-benar hamil. Ibu kan sayang banget sama cucunya.
"Oh, ternyata toko ini berubah jadi warung jajanan kuno," sindir Mbak Silvi sembari mengitari rak-rak yang berisi makanan ringan."Mantan kuli mana bisa diandalkan mengelola toko, yang ada bangkrut kayak gini. Kasihan keluarga Rafi yang sebentar lagi pasti toko ini di jual," imbuhnya.Aku memilih diam, dan terus menata brownis lumer di loyang."Emang jual kayak gini untung berapa, sih?" Mbak silvi mencomot brownis dengan topping keju dan menyendoknya sedikit."Itu harganya dua puluh lima ribu. Mbak," ujarku. "Oh, cuma dua lima, pantes aja rasanya aneh. Gulanya pasti pakai pemanis buatan, terasa banget di tenggorokan," cela Mbak Silvi namun terus memakannya."Lapar, Mbak?""Mubazir kalo enggak di habisin," ucapnya setelah menelan suapan terakhirnya."Kalo kurang, masih banyak varian kue yang lain kok, Mbak." Aku menunjuk beberapa macam kue yang ada di dalam etalase."Enggak, aku enggak bisa makan makanan sembarangan. Aku harus menjaga bentuk tubuhku biar tetap bagus.""Kalo gitu di k