"Kalo saja kamu bukan Ibu kandung Miko, sudah sejak lama kuusir dari sini," ucap Ibu, menarik bajuku."Ada apa ya, Bu?" "Sudah kuduga dari awal, wanita bodoh kayak kamu enggak bisa diandalkan buat ngelola usaha. Atau jangan-jangan kamu yang menghabiskan modal toko ini untuk keperluan pribadi kamu," cecar Ibu berkacak pinggang."Duduk dulu, Bu. Nanti darah tingginya kumat," jawabku santai."Kalo sampai toko ini benar-benar tutup kamu bertanggung jawab untuk membayar kerugian rafi.""Tenang dulu, Bu." Aku menarik kursi dan segera menuntun Ibu untuk duduk dan memberinya sebotol air mineral."Halah... sok perhatian," ketusnya namun tetap menerima air minum yang aku sodorkan.."Ibu pengin tahu apa yang bikin toko ini sepi?" tanyaku pada Ibu yang sudah sedikit tenang."Ibu lihat toko baru di depan yang sangat ramai itu?" Aku menunjuk toko kepunyaan Mbak Silvi di seberang jalan."Halah bilang aja kamu yang enggak becus.”“Selain lebih lengkap di sana semua barang didiskon tiga puluh sampai
Maksudnya kamu hamil?” sahut Ibu yang ternyata sudah berdiri di belakang kami.“Belum tahu, Bu. Belum di cek,” jawabku ragu.“Cepat cek! calon cucuku harus dapat asupan gizi terbaik dari perkembangan awalnya,” tekannya seraya berlalu menuju arah tangga.“I-iya, Bu.” Aku dan Vera terus memandang Ibu hingga ia sampai di lantai dua.Kuelus perlahan perutku yang masih rata. Apa aku benar-benar hamil? Betapa cerobohnya aku jika itu terjadi. Walaupun memiliki anak adalah dambaan setiap pasangan, tapi ini berbeda. Bahkan selama aku dan Mas Rafi menikah belum pernah sekalipun kami membahas masalah anak.Sebenarnya aku ingin menyembunyikan ini semua, sebelum tahu kebenarannya. Aku takut jika Mas Rafi belum siap memiliki anak lagi, apalagi saat ini kami tengah menghadapi masalah ekonomi. “Kamu udah damai sama Ibunya Mas Rafi?” tanya Vera menelisik.Aku menggeleng.“Kok kelihatannya dia perhatian banget sama kamu?”“Mungkin dia mengira aku benar-benar hamil. Ibu kan sayang banget sama cucunya.
"Oh, ternyata toko ini berubah jadi warung jajanan kuno," sindir Mbak Silvi sembari mengitari rak-rak yang berisi makanan ringan."Mantan kuli mana bisa diandalkan mengelola toko, yang ada bangkrut kayak gini. Kasihan keluarga Rafi yang sebentar lagi pasti toko ini di jual," imbuhnya.Aku memilih diam, dan terus menata brownis lumer di loyang."Emang jual kayak gini untung berapa, sih?" Mbak silvi mencomot brownis dengan topping keju dan menyendoknya sedikit."Itu harganya dua puluh lima ribu. Mbak," ujarku. "Oh, cuma dua lima, pantes aja rasanya aneh. Gulanya pasti pakai pemanis buatan, terasa banget di tenggorokan," cela Mbak Silvi namun terus memakannya."Lapar, Mbak?""Mubazir kalo enggak di habisin," ucapnya setelah menelan suapan terakhirnya."Kalo kurang, masih banyak varian kue yang lain kok, Mbak." Aku menunjuk beberapa macam kue yang ada di dalam etalase."Enggak, aku enggak bisa makan makanan sembarangan. Aku harus menjaga bentuk tubuhku biar tetap bagus.""Kalo gitu di k
“Arghhh...” Aku melempar kasar ponsel ke atas ranjang. Sepertinya aku sudah tahu siapa pengirim pesan itu. Laki-laki sama yang datang saat aku mengandung Miko dulu. Tak ingin memperpanjang urusan, aku segera memblokir nomor tersebut. Rasanya aku lagi enggak mau berpikir berat. Merasa bosan di kamar, aku beranjak turun ke lantai dua untuk memasak sarapan. Baru ingin mengambil bahan di kulkas, dari dalam perutku terasa sesuatu yang melesak ingin keluar. Aku segera lari ke wastafel pencuci piring dan keluarlah cairan tak sedap dari mulutku. “Mama sakit, ya?” tanya Miko sembari menarik-narik bajuku dari bawah.“Enggak sayang, mama cuma masuk angin.” Aku menoleh dan tersenyum pada Miko.“Aku telepon Ayah ya, Ma?”“Ayah kan lagi sibuk kerja,” ujarku beralasan.“Kerja kok enggak pulang-pulang.” Miko mengerucutkan bibir sambil berjalan menuju meja makan.Sudah hampir setengah jam aku dan Miko duduk di depan gerbang toko. Bukan tanpa alasan, kami sedang menunggu makanan yang aku pesan dari
"Kamu tega ajak aku ke kandang macan, Mas?" bentakku berusaha mencegas Mas Rafi yang terus saja memasukkan barang ke dalam koper."Maksudnya?" Mas Rafi menoleh."Kamu mau aku tinggal dengan orang-orang yang membenciku?""Jangan menilai kalo belum pernah merasakan. Aku tidak mau ambil resiko jika itu menyangkut anak dan istriku. Lagi pula aku lihat selama ini Ibu baik sama kamu.""Tapi bagaimana dengan toko ini?" "Kan ada karyawan, lagi pula kamu bisa datang kapan saja," jelas Mas Rafi.“Tapi, Mas!” Aku mengusap wajahku kasar."Ini bukan saatnya berdebat, Nita. Yang terpenting sekarang bagaimana kamu dan anak dalam kandunganmu selalu dalam pengawasan. Aku enggak bisa terus memantau, jika kalian tetap tinggal di sini."Walaupun selama ini Ibu tak pernah berbuat macam-macan, tapi tetap saja aku belum siap jika harus satu atap dengannya.Kalo boleh memilih, aku ingin tinggal di rumahku yang lama. Tapi setelah di pikir-pikir, aku tak mungkin kembali ke sana, apa lagi dalam keadaan hamil
“A-apa kabar, Desi?” tanyaku ragu. “Baik, Mbak. Nah gitu dong, sekali-sekali main di ke sini.” Desi menuntunku untuk duduk di kursi ruang tamu. Melihat sambutan baik dari Desi, rasa takutku perlahan hilang. Paling tidak kedatanganku ke rumah ini tidak di sambut dengan penolakan. “Mulai hari ini Nita dan Miko akan tinggal di sini,” ujar Mas Rafi yang sedang berjalan ke araku.“Kamu yakin, Mas? Apa enggak jadi masalah buat Mama dan Mbak Silvi?” tanya Desi.“Nita hamil, aku enggak mau ambil risiko dengan membiarkan mereka tinggal sendiri,” jelas Mas Rafi.“Mbak hamil?” Desi berbalik memandangku. Aku mengangguk ragu. “Ih, selamat. Udah berapa bulan Mbak?” Desi mengusap lembut perutku.“Baru empat minggu.”“Wah, lagi rawan-rawannya. Mbak harus banyak istirahat, enggak boleh kerja berat. Mulai sekarang kalo ada apa-apa bilang sama aku, ya. Aku enggak mau keponakanku kenapa-kenapa,” ujarnya memperingatkan sebelum berjalan masuk.Entah mengapa raut wajah Desi seketika berubah saat tahu ka
“Bik, aku pergi dulu, ya.” Aku menghampiri Bibi di dapur.“Tapi, Bu! Nyonya besar sudah berpesan kalo Bu Nita enggak boleh pergi ke mana-mana,” cegah Bik Sumi.“Tenang aja, Bik. Aku Cuma mau nengokin adik di rumah. Mas Rafi sama Ibu udah ngizinin tadi. Lagi pula mereka enggak akan pulang kalo acara Mbak Silvi belum selesai.Aku bergegas meninggalkan rumah Mas Rafi. Untung saja ojek online yang barusan aku pesan sudah tiba di depan gerbang. Tanpa menunggu lama, aku sudah dalam perjalanan menuju rumah yang sudah lama aku tinggalkan.Menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku sampai di rumah masa kecilku. Aku memandang halaman yang luas yang di penuhi rumput. Miko yang barusan ku jemput dari sekolah langsung antusias begitu aku mengajaknya.Bak rumah tak berpenghuni, rumahku kini terasa dingin dan sepi. Walaupun Ari tinggal di sini tapi ia tak selalu rajin dalam membersihkan rumah. Hal itu terlihat dari kotornya teras dengan beberapa gelas bekas kopi yang tergeletak di meja teras.
"Oh, jadi ini kelakuan kamu di belakangku." Mas Rafi terus mendekat. Pandangannya tak lepas dari tanganku yang masih di genggam Rendi.Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangan Rendi, tapi nihil, ia malah mengangkat tangan kami seolah pamer pada Mas Rafi."Pantas saja selama ini kamu tak pernah marah saat aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Silvi. Jadi kamu bermain di belakangku.""Bu-bukan begitu, Mas.""Banyak alasan! Kalo kebetulan ketemu itu di jalan, kalo di rumah itu namanya janjian," cibir Mas Rafi."Ya, bisa di bilang seperti itu. Kami memang janjian bertemu di sini. Lagian kamu kan akhir-akhir ini sibuk ngurusin pestamu, jadi Nita pasti kesepian dong," ucap Rendi."Dasar manusia-manusia tak tahu diri!""Jangan sok suci, bukannya kamu yang lebih tak tahu diri. Apa sebutan yang pantas untuk lelaki yang berusaha merebut kembali anak yang tak di akuinya, selain pengecut.""Kamu enggak usah ikut campur! Masalah Miko adalah urusanku dan Nita.""Kamu tahu siapa yang menem